Baca Juga
Empati itu seperti Wi-Fi—semua orang butuh, tapi tidak semua orang mau berbagi password-nya. Padahal, makin banyak yang terkoneksi, makin kuat sinyalnya untuk semua. (Sumber foto: Arda Dinata).
INSPIRASI - Mengupas fenomena krisis empati di era digital yang menggerus kepekaan sosial manusia. Analisis mendalam tentang dampak teknologi terhadap kemampuan berempati dan solusi mengembalikan nilai-nilai kemanusiaan di tengah revolusi digital.
Hashtag: #KrisisEmpati #ZamanDigital #EmpatiManusia #TeknologiKemanusiaan
Oleh: Arda Dinata
"Di zaman dulu, orang saling berbagi makanan karena empati. Sekarang, orang lebih sering berbagi foto makanan untuk mendapat likes. Ironisnya, perut tetap keroncongan, tapi ego sudah kenyang duluan."
Sore itu, di sebuah halte bus di Jakarta, saya menyaksikan pemandangan yang membuat hati terenyuh sekaligus miris. Seorang nenek renta terjatuh karena tersandung lubang di trotoar. Darah mengucur dari lututnya. Puluhan orang lewat, mata mereka tertuju pada layar ponsel masing-masing. Tidak ada yang peduli. Hingga akhirnya, seorang anak berusia sekitar 10 tahun berlari membantu nenek itu.
Yang mengejutkan? Beberapa orang justru mengeluarkan ponsel untuk merekam kejadian tersebut. Bukan untuk membantu, tapi untuk konten viral (tersebar luas). Dalam hitungan detik, video itu sudah diunggah dengan caption "Nenek terjatuh di halte bus" lengkap dengan emotikon sedih. Tapi tidak ada yang benar-benar tergerak untuk bertindak nyata.
Inilah potret krisis empati di zaman digital. Sebuah paradoks absurd di mana teknologi yang dirancang untuk mendekatkan manusia, justru menjauhkan kita dari nilai-nilai kemanusiaan paling dasar. Empati—kemampuan untuk merasakan dan memahami perasaan orang lain—kini tergerus oleh algoritma dan engagement metrics (ukuran keterlibatan). Kita lebih sibuk mengumpulkan likes daripada memberikan perhatian tulus kepada sesama.
![]() |
Anatomi Krisis: Mengapa Empati Tergerus di Era Digital?
Krisis empati bukanlah fenomena yang muncul tiba-tiba. Berbagai penelitian menunjukkan penurunan drastis kemampuan berempati, terutama di kalangan generasi yang tumbuh bersama teknologi digital. Studi yang dilakukan oleh Dr. Sara Konrath dari University of Michigan mengungkapkan bahwa tingkat empati mahasiswa Amerika menurun sebesar 40% dalam kurun waktu 30 tahun terakhir (1).
Penyebab utamanya adalah digital overload (kelebihan beban digital). Otak manusia yang terus-menerus dibombardir informasi tidak memiliki waktu untuk memproses emosi secara mendalam. Multitasking (melakukan banyak hal sekaligus) yang diagung-agungkan di era digital ternyata merusak kemampuan kita untuk fokus pada satu momen dengan penuh perhatian.
Media sosial memperparah situasi ini dengan menciptakan echo chamber (ruang gema) yang memperkuat bias konfirmasi. Algoritma yang dirancang untuk menampilkan konten sesuai preferensi pengguna, tanpa disadari menciptakan gelembung informasi yang membuat kita semakin sulit memahami perspektif orang lain. Hasilnya? Polarisasi sosial yang semakin tajam dan berkurangnya kemampuan untuk berempati dengan kelompok yang berbeda.
Dampak Nyata: Ketika Masyarakat Kehilangan Jiwa
Dampak krisis empati tidak hanya terasa dalam hubungan interpersonal, tetapi juga dalam struktur sosial yang lebih luas. Fenomena cyberbullying (perundungan siber) yang marak terjadi adalah salah satu manifestasi nyata dari krisis ini. Orang merasa mudah menyakiti orang lain secara online (dalam jaringan) karena tidak melihat langsung dampak emosional yang ditimbulkan.
Dunia kerja pun tidak luput dari dampak ini. Survei yang dilakukan oleh Harvard Business Review menunjukkan bahwa 58% pemimpin perusahaan mengakui kesulitan dalam memahami kebutuhan emosional karyawan mereka di era kerja digital (2). Remote work (kerja jarak jauh) yang semakin populer, meskipun memiliki banyak keuntungan, juga mengurangi interaksi langsung yang penting untuk membangun empati.
Dalam konteks politik, krisis empati memicu radikalisasi dan ekstremisme. Ketika orang tidak lagi mampu berempati dengan kelompok yang berbeda, dialog konstruktif menjadi mustahil. Yang tersisa hanyalah hate speech (ujaran kebencian) dan polarisasi yang destruktif.
Paradoks Teknologi: Mendekatkan yang Jauh, Menjauhkan yang Dekat
Teknologi digital menciptakan paradoks yang ironis. Kita bisa berkomunikasi dengan orang di belahan dunia lain dalam hitungan detik, tetapi sering kali tidak mengenal tetangga di sebelah rumah. Video call dengan keluarga di luar negeri bisa berlangsung berjam-jam, tapi percakapan dengan keluarga di rumah hanya berlangsung beberapa menit.
Social media (media sosial) memberikan ilusi kedekatan. Kita merasa terhubung dengan ratusan, bahkan ribuan orang di platform digital. Namun, koneksi tersebut sering kali dangkal dan tidak bermakna. Penelitian oleh Dr. Sherry Turkle dari MIT menunjukkan bahwa meskipun kita semakin terhubung secara digital, tingkat kesepian dan isolasi justru meningkat (3).
Fenomena performative empathy (empati pura-pura) juga menjadi masalah serius. Banyak orang yang mengekspresikan empati di media sosial semata-mata untuk mendapat validasi sosial, bukan karena benar-benar peduli. Virtue signaling (pamer kebajikan) menjadi lebih penting daripada tindakan nyata.
Jalan Keluar: Mengembalikan Empati di Era Digital
Solusi untuk krisis empati tidak berarti kita harus meninggalkan teknologi sepenuhnya. Yang diperlukan adalah pendekatan yang lebih bijaksana dan seimbang. Konsep digital wellness (kesehatan digital) perlu dipromosikan secara masif. Ini termasuk mengatur waktu penggunaan teknologi, melakukan digital detox (pembersihan digital) secara berkala, dan memprioritaskan interaksi langsung.
Pendidikan empati harus diintegrasikan dalam kurikulum formal maupun informal. Sekolah-sekolah perlu mengajarkan keterampilan sosial-emosional yang memungkinkan anak-anak memahami dan merespons emosi orang lain dengan tepat. Program mindfulness (kesadaran penuh) dan meditasi juga terbukti efektif dalam meningkatkan kemampuan berempati.
Peran keluarga sangat krusial dalam mengatasi krisis ini. Orang tua perlu menjadi teladan dalam penggunaan teknologi yang sehat. Family time (waktu keluarga) tanpa gadget harus menjadi rutinitas yang konsisten. Aktivitas yang mendorong interaksi langsung, seperti bermain bersama, makan bersama, atau bercakap-cakap, perlu diprioritaskan.
Teknologi Berempati: Masa Depan yang Lebih Manusiawi
Ironisnya, teknologi yang menjadi penyebab krisis empati juga bisa menjadi solusinya. Pengembangan kecerdasan buatan yang lebih human-centered (berpusat pada manusia) dapat membantu menciptakan lingkungan digital yang lebih empatik. Aplikasi yang dirancang untuk mendorong interaksi positif, bukan hanya engagement (keterlibatan), mulai bermunculan.
Virtual reality (realitas virtual) dan augmented reality (realitas tertambah) memiliki potensi besar untuk meningkatkan empati dengan memungkinkan orang mengalami perspektif orang lain secara langsung. Beberapa program terapi menggunakan teknologi ini untuk membantu orang memahami kondisi mental dan emosional yang berbeda.
Platform media sosial juga mulai menyadari tanggung jawab mereka dalam krisis empati. Fitur-fitur yang mendorong interaksi positif dan mengurangi toxic behavior (perilaku toksik) mulai dikembangkan. Algoritma yang lebih transparan dan dapat dikontrol pengguna juga menjadi tuntutan yang semakin kuat.
Refleksi Personal: Kembali ke Esensi Kemanusiaan
Sebagai individu yang hidup di era digital, kita perlu introspeksi diri. Kapan terakhir kali kita benar-benar mendengarkan orang lain tanpa sambil melihat ponsel? Kapan terakhir kali kita membantu orang yang membutuhkan tanpa memikirkan konten untuk media sosial? Kapan terakhir kali kita merasakan empati yang tulus, bukan sekadar performative empathy?
Empati adalah inti dari kemanusiaan. Tanpa empati, kita tidak berbeda dengan robot yang canggih. Teknologi seharusnya membantu kita menjadi manusia yang lebih baik, bukan sebaliknya. Kita perlu belajar mengendalikan teknologi, bukan dikendalikan olehnya.
Krisis empati di zaman digital adalah ujian bagi peradaban manusia. Akankah kita membiarkan teknologi menggerus nilai-nilai kemanusiaan yang paling dasar? Atau akankah kita menggunakan teknologi untuk memperkuat koneksi emosional antar manusia? Pilihan ada di tangan kita.
"Empati itu seperti Wi-Fi—semua orang butuh, tapi tidak semua orang mau berbagi password-nya. Padahal, makin banyak yang terkoneksi, makin kuat sinyalnya untuk semua."
Di penghujung refleksi ini, marilah kita bertanya pada diri sendiri: Akankah kita menjadi generasi yang kehilangan empati karena terlalu sibuk menatap layar? Ataukah kita akan menjadi generasi yang berhasil menggabungkan kecerdasan teknologi dengan kebijaksanaan hati? Masa depan kemanusiaan bergantung pada pilihan kita hari ini. Mari kita mulai dengan hal sederhana: angkat kepala dari layar, tatap mata orang di sekitar kita, dan rasakan kembali kehangatan koneksi antar manusia yang sesungguhnya.
Wallahu a'lam...
Arda Dinata, adalah Blogger, Peneliti, Penulis Buku dan Pendiri Majelis Inspirasi MIQRA Indonesia.
Daftar Pustaka:
- Konrath SH, O'Brien EH, Hsing C. Changes in dispositional empathy in American college students over time: A meta-analysis. Personality and Social Psychology Review. 2011;15(2):180-198.
- Gelles D, Yaffe-Bellany D. The challenge of empathy in the digital age. Harvard Business Review. 2019;97(4):45-52.
- Turkle S. Alone Together: Why We Expect More from Technology and Less from Each Other. New York: Basic Books; 2017.
- Rifkin J. The Empathic Civilization: The Race to Global Consciousness in a World in Crisis. Cambridge: Polity Press; 2019.
- Baron-Cohen S. The Science of Evil: On Empathy and the Origins of Cruelty. New York: Basic Books; 2016.
Baca Juga
Jangan ragu untuk memberikan komentar di bawah ini dan mengikuti kami di saluran WhatsApp "ProduktifMenulis.com (Group)" dengan klik link ini: WhatsApp ProduktifMenulis.com (Group) untuk mendapatkan info terbaru dari website ini.
Arda Dinata adalah Penulis di Berbagai Media Online dan Penulis Buku, Aktivitas Kesehariannya Membaca dan Menulis, Tinggal di Pangandaran - Jawa Barat.