Toko Sosmed
Klik Di Sini Melihat Koleksi Ebook Karya Arda Dinata Lainnya

A Group Member of:
Toko SosmedToko SosmedToko SosmedWWW.ARDADINATA.COMWWW.ARDADINATA.COMInSanitarianMIQRA INDONESIA


Pertimbangan Waktu yang Kekal

Makna terdalam dari "Māliki yaumid-dīn"—pengakuan bahwa kita hidup dalam semesta moral di mana keadilan bukanlah konsep abstrak, melainkan hukum yang mengatur seluruh eksistensi. Dan dalam pengakuan ini, tersimpan tidak hanya rasa takut akan konsekuensi perbuatan buruk, tetapi juga harapan bahwa kebaikan, sekecil apapun, tidak akan pernah sia-sia. (Sumber foto: Arda Dinata).

Oleh: Arda Dinata

BLOG INSPIRASI "Dalam setiap detak waktu yang kita jalani, tersimpan catatan yang tak pernah pupus. Hari Pembalasan bukan sekadar pengadilan di masa depan, tetapi juga cermin keadilan yang telah kita ciptakan atau hancurkan hari ini."

Di sebuah desa terpencil di Sumatera Selatan, hidup seorang guru tua yang dikenal sebagai Pak Mahmud. Setiap pagi, ia mengeluarkan buku catatan usang dari laci mejanya, membukanya dengan hati-hati, lalu menuliskan beberapa kalimat dengan tinta yang hampir kering. Murid-muridnya sering penasaran dengan ritual hariannya ini, namun tak seorang pun berani bertanya.

Hingga suatu hari, saat kesehatannya memburuk, seorang murid bernama Zahra memberanikan diri bertanya tentang buku catatan itu. Dengan senyum lemah, Pak Mahmud menjawab, "Ini adalah catatan amal-amalku, Nak. Setiap malam sebelum tidur, aku mengingat-ingat perbuatanku seharian, lalu menuliskannya di pagi hari. Bukan untuk membangga-banggakan kebaikan atau meratapi kesalahan, tetapi sebagai pengingat bahwa setiap perbuatan kita tercatat dan akan dipertanggungjawabkan kelak."

Zahra terdiam sejenak, lalu bertanya lagi, "Bukankah Allah sudah mencatat semua perbuatan kita, Pak? Mengapa Bapak masih perlu mencatatnya sendiri?"

Sang guru tersenyum lebih lebar. "Benar, Allah Maha Mencatat. Tetapi catatan ini bukan untuk-Nya, melainkan untukku. Ketika kita menyadari bahwa setiap perkataan dan perbuatan kita dicatat, kita akan lebih berhati-hati dalam melangkah. Ini adalah caraku mempersiapkan diri menghadapi yaumid-dīn—hari pembalasan yang pasti datang."

Pak Mahmud wafat beberapa bulan kemudian. Buku catatannya kemudian ditemukan Zahra di antara barang-barang peninggalannya. Halaman pertama buku itu bertuliskan: "Bismillah. Buku ini adalah saksi bahwa aku telah berusaha menghisab diriku sendiri sebelum dihisab."

Kisah sederhana ini mengingatkan kita pada konsep yaumid-dīn, hari pembalasan, yang diajarkan dalam agama Islam. Dalam Surah Al-Fatihah, Allah menyebut diri-Nya sebagai "Māliki yaumid-dīn"—Pemilik hari Pembalasan. Sebuah pengingat bahwa akan ada masa ketika segala perbuatan manusia dipertanggungjawabkan, tanpa terkecuali.

Namun makna yaumid-dīn sebenarnya jauh lebih dalam dan relevan dengan kehidupan kita hari ini. Dalam tradisi sufisme, Ibn 'Arabi mengajarkan bahwa konsep akhirat dan hari pembalasan bukan sekadar peristiwa linear yang terjadi "nanti", tetapi juga realitas spiritual yang berlangsung setiap saat. Dalam kitabnya Futuhat al-Makkiyah, ia menjelaskan bahwa setiap momen adalah "kiamat kecil" bagi momen sebelumnya, dan setiap tindakan membawa konsekuensinya sendiri, baik yang segera terlihat maupun yang tersembunyi.

Pemahaman ini serupa dengan konsep karma dalam tradisi Timur, meskipun dengan nuansa teologis yang berbeda. Viktor Frankl, psikiater dan penyintas Holocaust, dalam bukunya "Man's Search for Meaning" menyimpulkan bahwa makna hidup manusia terletak pada kesadaran akan tanggung jawab. "Hidup adalah rangkaian pilihan," tulisnya, "dan setiap pilihan kita menorehkan jejak permanen dalam kanvas eksistensi kita."

Pada level sosial, konsep yaumid-dīn mengajak kita merefleksikan sistem keadilan yang kita bangun sebagai masyarakat. Filosof kontemporer John Rawls dalam "A Theory of Justice" mengajukan pemikiran tentang "keadilan sebagai fairness" dengan menggunakan metafora "veil of ignorance"—sebuah kondisi hipotetis di mana pembuat kebijakan tidak mengetahui posisi mereka dalam masyarakat, sehingga mereka akan menciptakan sistem yang adil bagi semua. Ini merupakan manifestasi sekular dari konsep universal bahwa keadilan harus mengatasi kepentingan pribadi dan kelompok.

Di Indonesia, konsep yaumid-dīn seharusnya menjadi landasan etis dalam berbangsa dan bernegara. Namun realitasnya, kita menyaksikan bagaimana nilai ini sering terdistorsi menjadi sekadar retorika tanpa implementasi nyata. Korupsi merajalela, ketidakadilan sistemik berlangsung, dan eksploitasi alam terjadi tanpa henti—seolah-olah tidak ada hari pembalasan yang akan datang.

Lebih memprihatinkan lagi, kita hidup di era "pembalasan instan" melalui media sosial. Kesalahan seseorang bisa dengan cepat viral dan dihakimi oleh pengadilan jalanan digital, sementara kesalahan sistemik yang lebih besar sering luput dari perhatian publik. "Cancel culture" menjadi semacam yaumid-dīn versi digital yang kerap kali tidak proporsional dan memotong proses refleksi dan pertumbuhan.

Pemikir muslim kontemporer Tariq Ramadan dalam bukunya "Radical Reform: Islamic Ethics and Liberation" menekankan pentingnya memahami konsep-konsep agama seperti yaumid-dīn dalam konteks kehidupan nyata. Menurutnya, keyakinan akan hari pembalasan seharusnya tidak membuat seseorang pasif menunggu keadilan Tuhan di akhirat, tetapi justru menjadi pendorong aktif untuk menegakkan keadilan di dunia.

Kalau kita renungkan lebih jauh, konsep yaumid-dīn dapat menjadi obat penawar bagi krisis eksistensial masyarakat modern. Filsuf Soren Kierkegaard menyebut bahwa kecemasan adalah hasil dari kebebasan tanpa tanggung jawab. Dalam masyarakat yang semakin sekular dan individualistik, di mana "Tuhan sudah mati" menurut Nietzsche, manusia kehilangan landasan etis yang kokoh. Akibatnya, relativisme moral merajalela, dan keadilan menjadi konsep yang fleksibel tergantung kepentingan.

Pada level mikro, implementasi nilai yaumid-dīn dimulai dari kesadaran individual. Psikolog Carol Dweck dalam penelitiannya tentang "growth mindset" menunjukkan bahwa orang yang menganggap kemampuan dan karakter sebagai sesuatu yang dapat dikembangkan—bukan bawaan tetap—lebih cenderung mengambil tanggung jawab atas tindakan mereka dan berusaha memperbaiki kesalahan.

Sedangkan pada level makro, nilai ini dimanifestasikan dalam kebijakan publik yang berkeadilan. Ekonom Amartya Sen, peraih Nobel Ekonomi, berpendapat dalam bukunya "The Idea of Justice" bahwa keadilan sejati bukan hanya tentang distribusi kekayaan, tetapi juga tentang pengembangan kapasitas manusia untuk menjalani kehidupan bermartabat. Perspektif ini sangat sejalan dengan konsep yaumid-dīn yang menekankan pertanggungjawaban komprehensif atas seluruh aspek kehidupan.

Dalam konteks krisis iklim global, konsep yaumid-dīn menjadi semakin relevan. Tindakan eksploitatif terhadap alam hari ini menciptakan "pembalasan" berupa bencana ekologis yang akan dirasakan oleh generasi mendatang. Teolog Kristen Jürgen Moltmann mengembangkan apa yang ia sebut sebagai "teologi harapan", di mana tanggung jawab terhadap masa depan menjadi bagian integral dari kehidupan iman. Dalam perspektif Islam, konsep khalifah (wakil Tuhan di bumi) menegaskan tanggung jawab manusia untuk menjaga, bukan merusak, ciptaan Allah.

Salah satu tantangan terbesar dalam memahami yaumid-dīn adalah kecenderungan manusia untuk menunda pertanggungjawaban. Psikolog Dan Ariely dalam penelitiannya tentang ketidakjujuran menemukan bahwa manusia lebih cenderung berbuat curang ketika konsekuensi terasa jauh. Fenomena "present bias" ini membuat konsep pembalasan di akhirat terasa abstrak dan tidak mendesak bagi banyak orang.

Untuk mengatasi tantangan ini, kita perlu mengembangkan apa yang disebut oleh filsuf Peter Singer sebagai "lingkaran etis yang meluas"—kemampuan untuk mempertimbangkan dampak tindakan kita bukan hanya pada diri sendiri dan orang-orang terdekat, tetapi juga pada komunitas yang lebih luas, lingkungan, dan generasi mendatang. Inilah esensi dari "takwa" dalam pemahaman Islam—kesadaran mendalam akan kehadiran Tuhan yang mendorong perilaku etis dalam semua aspek kehidupan.

Bagaimana kita dapat menerjemahkan kesadaran akan yaumid-dīn dalam tindakan nyata hari ini? Pertama, dengan memulai tradisi muhasabah atau introspeksi diri, seperti yang dilakukan Pak Mahmud dalam kisah di awal. Kedua, dengan membangun sistem akuntabilitas sosial yang transparan, di mana setiap tindakan—terutama yang menyangkut kepentingan publik—dapat dipertanggungjawabkan. Ketiga, dengan memperkuat pendidikan karakter yang menekankan integritas dan tanggung jawab sebagai nilai inti.

Di tingkat personal, kita juga dapat mengembangkan praktik mindfulness—kesadaran penuh akan momen sekarang—sebagai jembatan untuk memahami konsep yaumid-dīn. Jon Kabat-Zinn, pionir mindfulness di Barat, mendefinisikannya sebagai "kesadaran yang muncul dari memerhatikan dengan sengaja, di saat ini, tanpa penilaian." Ketika kita benar-benar hadir dalam setiap tindakan, kita menjadi lebih sadar akan konsekuensinya.

Dalam tataran politik dan kebijakan publik, pemahaman akan yaumid-dīn mendorong kita untuk memikirkan kembali konsep "pembangunan berkelanjutan" yang sering kali lebih mementingkan pertumbuhan ekonomi daripada keadilan sosial dan kelestarian lingkungan. Ekonom Kate Raworth dalam konsep "Doughnut Economics" menawarkan model alternatif yang menempatkan kebutuhan manusia dan batas-batas planet sebagai parameter utama ekonomi yang sehat—sebuah visi yang sangat sejalan dengan etika yaumid-dīn.

Pada akhirnya, kesadaran akan yaumid-dīn bukan sekadar tentang ketakutan akan hukuman atau harapan akan pahala. Lebih dari itu, ia adalah panggilan untuk hidup dengan integritas dan kesadaran penuh—menjalani kehidupan di mana setiap tindakan mencerminkan nilai-nilai tertinggi kemanusiaan. Seperti yang diajarkan oleh Imam Al-Ghazali dalam kitabnya "Ihya Ulumuddin", tujuan sejati kehidupan spiritual bukanlah menghindari neraka atau mengejar surga, melainkan mencapai ma'rifatullah—pengenalan sejati akan Tuhan, yang manifestasinya adalah hidup dalam kebenaran dan kasih sayang.

Dalam masyarakat Indonesia yang semakin terpolarisasi, pemahaman mendalam tentang yaumid-dīn dapat menjadi landasan untuk dialog dan rekonsiliasi. Ketika kita menyadari bahwa setiap tindakan akan dipertanggungjawabkan—baik secara spiritual maupun sosial—kita menjadi lebih berhati-hati dalam berkata-kata dan bertindak, lebih peka terhadap penderitaan orang lain, dan lebih bersedia untuk memaafkan dan memulai kembali.

Inilah barangkali makna terdalam dari "Māliki yaumid-dīn"—pengakuan bahwa kita hidup dalam semesta moral di mana keadilan bukanlah konsep abstrak, melainkan hukum yang mengatur seluruh eksistensi. Dan dalam pengakuan ini, tersimpan tidak hanya rasa takut akan konsekuensi perbuatan buruk, tetapi juga harapan bahwa kebaikan, sekecil apapun, tidak akan pernah sia-sia.

Wallahu a'lam bishawab.

Arda Dinata, adalah Blogger, Peneliti, Penulis Buku dan Pendiri Majelis Inspirasi MIQRA Indonesia.

Daftar Pustaka:

Al-Ghazali, A. H. (2010). Ihya Ulumuddin (terj.). Jakarta: Republika.

Ariely, D. (2012). The honest truth about dishonesty: How we lie to everyone—especially ourselves. New York: Harper Collins.

Dweck, C. S. (2006). Mindset: The new psychology of success. New York: Random House.

Frankl, V. E. (2006). Man's search for meaning. Boston: Beacon Press.

Ibn 'Arabi. (2002). Al-Futuhat al-Makkiyah (The Meccan revelations). Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah.

Kabat-Zinn, J. (2013). Full catastrophe living: Using the wisdom of your body and mind to face stress, pain, and illness. New York: Bantam Books.

Kierkegaard, S. (1980). The concept of anxiety (R. Thomte, Trans.). Princeton: Princeton University Press.

Moltmann, J. (2004). The coming of God: Christian eschatology. Minneapolis: Fortress Press.

Ramadan, T. (2009). Radical reform: Islamic ethics and liberation. Oxford: Oxford University Press.

Raworth, K. (2017). Doughnut economics: Seven ways to think like a 21st-century economist. London: Random House.

Rawls, J. (1999). A theory of justice (Rev. ed.). Cambridge, MA: Harvard University Press.

Sen, A. (2009). The idea of justice. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Singer, P. (2011). The expanding circle: Ethics, evolution, and moral progress. Princeton: Princeton University Press.

***

Jangan ragu untuk memberikan komentar di bawah artikel ini dan mengikuti kami di saluran WhatsApp "ProduktifMenulis.com (Group)" dengan klik link ini: WhatsApp ProduktifMenulis.com (Group) untuk mendapatkan info artikel terbaru dari website ini.

Arda Dinata adalah Penulis di Berbagai Media Online dan Penulis Buku, Aktivitas Kesehariannya Membaca dan Menulis, Tinggal di Pangandaran - Jawa Barat.

www.ArdaDinata.com:  | Share, Reference & Education |
| Sumber Berbagi Inspirasi, Ilmu, dan Motivasi Sukses |
Twitter: @ardadinata 
Instagram: @arda.dinata
Telegram: ardadinata


Toko Sosmed
Klik Di Sini Melihat Koleksi Ebook Karya Arda Dinata Lainnya

A Group Member of:
Toko SosmedToko SosmedToko SosmedWWW.ARDADINATA.COMWWW.ARDADINATA.COMInSanitarianMIQRA INDONESIA


BACA ARTIKEL LAINNYA:

Arda Dinata

Arda Dinata is a writer for various online media, lives in Pangandaran - West Java. www.ArdaDinata.com: | Share, Reference & Education | | Source for Sharing Inspiration, Knowledge and Motivation for Success | World of Business, Business, Boss, Rich, Money, Dollars and Success |

Lebih baru Lebih lama