Kehausan jiwa manusia modern tidak akan terpuaskan oleh ribuan like atau followers. Jiwa kita merindukan makna, kedalaman, dan koneksi sejati—hal-hal yang hanya dapat ditemukan ketika kita berani menghadapi kesunyian dan menyelami kedalaman diri. (Sumber foto: Arda Dinata).
Oleh: Arda Dinata
BLOG INSPIRASI - "Manusia modern berlayar di lautan informasi namun tenggelam dalam kehausan makna."
Suatu petang di sebuah kafe di Bandung, saya memperhatikan sekumpulan anak muda berkumpul mengelilingi meja bundar. Enam orang, enam kepala, enam pasang mata. Namun tidak ada satu pun di antara mereka yang saling bertatapan. Semuanya tenggelam dalam dunia kecil di genggaman—layar ponsel masing-masing. Sesekali terdengar tawa kecil, namun bukan karena percakapan di antara mereka, melainkan karena konten digital yang mereka konsumsi secara terpisah.
Pemandangan ini mengingatkan saya pada cerita kuno tentang Narcissus—pemuda tampan yang jatuh cinta pada refleksi dirinya sendiri di permukaan air hingga akhirnya tenggelam. Bedanya, cermin air telah berganti menjadi layar sentuh, dan yang dipandangi bukan lagi wajah sendiri, melainkan jutaan fragmen kehidupan orang lain yang telah disaring, diedit, dan dikemas dalam bingkai kesempurnaan palsu.
Inilah paradoks zaman kita: tidak pernah dalam sejarah manusia begitu terhubung secara digital namun begitu terputus secara jiwa. Kita memiliki ribuan "teman" virtual, namun kerapkali merasa sendiri dalam keramaian. Kita berbagi begitu banyak momen hidup secara online, namun semakin jarang berbagi kehadiran sejati.
Filosof Jerman Martin Heidegger pernah memperingatkan tentang bahaya teknologi yang dapat mereduksi manusia menjadi sekadar "standing-reserve"—sumber daya yang siap dieksploitasi. Dalam konteks digital saat ini, peringatan ini terdengar nyaris profetik. Kita telah menjadi sumber data yang terus-menerus dipanen, dianalisis, dan dijual kepada penawar tertinggi. Lebih menyedihkan lagi, kita melakukannya dengan sukarela, bahkan dengan antusias.
Menurut riset dari Pusat Kajian Komunikasi Universitas Indonesia (2023), rata-rata orang Indonesia menghabiskan 7,5 jam sehari menatap layar ponselnya—hampir sepertiga dari seluruh waktu hidup kita. Bayangkan, sepertiga kehidupan dihabiskan untuk mengejar dopamin digital yang sekejap, sementara pencarian makna hidup yang lebih dalam terabaikan.
Ketika masih kecil di kampung halaman, saya ingat bagaimana langit malam dipenuhi bintang-bintang yang menghampar luas. Kami, anak-anak kampung, berbaring di atas rumput, memandang keluasan semesta, dan merasakan kekaguman yang memunculkan pertanyaan-pertanyaan mendalam tentang eksistensi. Kini, cahaya bintang telah kalah terang oleh kilau notifikasi. Pertanyaan-pertanyaan eksistensial telah tergantikan oleh kekhawatiran akan jumlah like dan komentar.
Psikolog humanistik Abraham Maslow mengajarkan bahwa manusia memiliki kebutuhan akan transendensi—pengalaman yang melampaui diri sendiri, yang memberi makna pada keberadaan kita. Namun alih-alih mencari transendensi, kita justru terjebak dalam lingkaran narsisisme digital yang tak berujung. Kita memamerkan kehidupan untuk divalidasi oleh orang-orang yang bahkan tidak kita kenal secara mendalam.
Imam Al-Ghazali, dalam magnum opusnya "Ihya Ulumuddin", mengajarkan tentang konsep tazkiyatun nafs (penyucian jiwa) dan pentingnya muraqabah (introspeksi diri). Dalam keheningan dan kesendirian yang sejati, katanya, manusia menemukan jalan menuju Ilahi. Tetapi bagaimana mungkin kita mencapai keheningan semacam itu jika setiap detik kekosongan diisi dengan deras informasi digital?
Dulu, kesunyian adalah ruang untuk bertumbuh. Kini, kesunyian dianggap sebagai musuh yang harus dihindari dengan segala cara. Kita telah lupa bagaimana cara untuk sekedar diam dan meresapi keberadaan tanpa gangguan.
Saya teringat kisah yang diceritakan oleh Gus Mus (KH. Mustofa Bisri) tentang seekor ikan yang kehausan di tengah samudra. Ikan itu berenang ke sana kemari mencari air, tanpa menyadari bahwa ia telah dikelilingi oleh air. Seperti itulah kita—haus akan koneksi sejati di tengah lautan hubungan digital.
Apakah ini berarti teknologi digital adalah musuh? Tentu tidak. Sebagaimana pisau yang dapat digunakan untuk memotong sayur atau melukai manusia, teknologi hanyalah alat. Masalahnya terletak pada bagaimana kita memperlakukannya.
Yang perlu kita lakukan bukanlah meninggalkan dunia digital sepenuhnya, melainkan menempatkannya pada porsi yang tepat. Mengembalikan teknologi ke fungsi aslinya—sebagai alat untuk meningkatkan kualitas hidup manusia, bukan sebagai pengganti kehidupan itu sendiri.
Beberapa komunitas di berbagai kota besar mulai menyelenggarakan "digital detox retreat"—perkemahan atau retret di mana peserta dilarang membawa gadget. Hasilnya mengejutkan. Banyak yang melaporkan mengalami kecemasan berat di hari-hari awal, tetapi kemudian menemukan ketenangan dan koneksi interpersonal yang lebih dalam.
Di keluarga saya sendiri, kami mempraktikkan "jam digital sunyi"—beberapa jam setiap hari di mana semua perangkat elektronik dimatikan dan kami hadir sepenuhnya untuk satu sama lain. Percakapan menjadi lebih bermakna, tatapan mata kembali bertemu, dan sentuhan manusiawi terasa begitu menyembuhkan.
Ada nasihat bijak dari tradisi Budha yang patut kita renungkan: "Bermeditasilah dengan mata terbuka." Artinya, kesadaran spiritual tidak harus dicapai dengan melarikan diri dari dunia, tetapi dapat ditemukan dalam kesadaran penuh saat menjalani kehidupan sehari-hari. Demikian pula, kita tidak perlu melarikan diri dari dunia digital, tetapi hadir di dalamnya dengan kesadaran penuh dan batasan yang sehat.
Sebagai individu, kita dapat mulai dengan langkah-langkah kecil: mematikan notifikasi yang tidak perlu, menyediakan waktu khusus untuk mengecek media sosial alih-alih membukanya setiap ada kesempatan, atau bahkan menetapkan "puasa digital" secara berkala. Sebagai komunitas, kita perlu menciptakan budaya yang menghargai kehadiran utuh dalam interaksi tatap muka.
Mari kita jadikan teknologi sebagai jembatan, bukan tembok. Jembatan yang menghubungkan manusia dengan manusia lainnya, bukan tembok yang memisahkan kita dari dunia nyata dan dari kedalaman diri sendiri.
Kehausan jiwa manusia modern tidak akan terpuaskan oleh ribuan like atau followers. Jiwa kita merindukan makna, kedalaman, dan koneksi sejati—hal-hal yang hanya dapat ditemukan ketika kita berani menghadapi kesunyian dan menyelami kedalaman diri.
Inilah barangkali makna sejati dari "terhubung" yang telah kita lupakan: bukan sekadar tautan digital yang menghubungkan akun dengan akun, melainkan jembatan hati yang menghubungkan jiwa dengan jiwa, dan pada akhirnya, menghubungkan diri kita dengan Yang Maha Pengasih, sumber segala kedamaian dan makna.
Wallahu a'lam bishawab.
Arda Dinata, adalah Blogger, Peneliti dan Pendiri Majelis Inspirasi MIQRA Indonesia.
***
Jangan ragu untuk memberikan komentar di bawah artikel ini dan mengikuti kami di saluran WhatsApp "ProduktifMenulis.com (Group)" dengan klik link ini: WhatsApp ProduktifMenulis.com (Group) untuk mendapatkan info artikel terbaru dari website ini.
Arda Dinata adalah Penulis di Berbagai Media Online dan Penulis Buku, Aktivitas Kesehariannya Membaca dan Menulis, Tinggal di Pangandaran - Jawa Barat.