Oleh Arda Dinata
Pernakah Anda mendengar informasi bahwa ada seorang pasein rawat nginap di Rumah Sakit (RS), bukannya penyakit yang dideritanya menjadi sembuh tetapi sebaliknya justru penyakitnya bertambah parah. Usut punya usut, ternyata si pasein tersebut mendapat infeksi nosokomial. Apa itu infeksi nosokomial?
Dalam buku, “Komponen Sanitasi Rumah Sakit Untuk Institusi Pendidikan Tenaga Sanitasi” (1989: 21), infeksi nosokomial adalah penyakit yang terjadi akibat infeksi silang (cross infection) maupun swa infeksi (self infection). Infeksi silang ini adalah timbulnya penyakit pada diri seseorang akibat adanya faktor lingkungan (interaksi antara faktor host, agent, environment). Sedangkan swa infeksi berarti timbulnya penyakit atau makin parahnya kondisi penyakit seseorang (carier) karena faktor lingkungan.
Sementara itu, Prof. dr.H. Herry Garna SpAK, PhD. dalam pidato pengukuhan jabatan Guru Besar dalam Ilmu Kesehatan Anak di Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (Unpad) di Ruang Serba Guna (RSG) Unpad mengemukakan, secara umum infeksi nosokomial dapat didefinisikan sebagai infeksi yang didapatkan penderita selama perawatan di RS. Namun, penyakit tersebut belum ada atau tidak sedang dalam inkubasi pada saat penderita masuk RS, kecuali bila penyakit itu berhubungan dengan perawatan sebelumnya di RS.
Secara demikian, apa yang harus dilakukan untuk menjaga fungsi dan kedudukan RS sebagai institusi atau tempat pelayanan kesehatan terhadap individu pasein, keluarganya, dan masyarakat dengan inti pelayanan medik, baik preventif, kuratif, rehabilitatif, dan promotif yang diproses secara terpadu agar mencapai pelayanan kesehatan yang paripurna. Pertanyaannya, sejauh mana kondisi kasus infeksi nosokomial yang terjadi pada RS-RS di sekitar kita? Solusi apa yang bisa dilakukan untuk menghalau terjadinya kasus infeksi nosokomial itu.
Setidaknya, jika kita mengetahui aspek-aspek apa saja yang bisa menyebabkan terjadinya infeksi nosokomial, maka kita sedini mungkin bila ada seseorang (keluarga, saudara, teman, atau siapa pun) yang dirawat di RS dapat mengantisipasinya dengan baik. Begitu juga dengan pihak-pihak pengelola RS, jauh-jauh hari telah mengagendakannya dalam program manajemen pelayanan RS.
Kondisi Infeksi Nosokomial
Keberadaan RS dilihat dari aspek kesehatan lingkungan, pada dasarnya terdiri dari lingkungan biotik dan abiotik. Dalam kesehariannya lingkungan biotik dan abiotik ini akan melakukan interaksi, baik langsung maupun tidak langsung.
Atas dasar itu, maka di lingkungan RS dimungkinkan terjadinya kontak antara tiga komponen (pasien, petugas, dan masyarakat) dalam lingkungan RS dan benda-benda/alat-alat yang dipergunakan untuk proses penyembuhan, perawatan dan pemulihan penderita.
Hubungan tersebut bersifat kontak terus menerus yang memungkinkan terjadinya infeksi silang pasien yang menderita penyakit tertentu kepada petugas RS dan pengunjung RS yang sehat. Akan tetapi mungkin juga berfungsi sebagai carier kepada pasein, petugas dan pengunjung.
Kondisi kontak yang tinggi dari penderita dengan petugas RS maupun pengunjung itu, tidak menutup kemungkinan sejumlah bibit penyakit dapat berpindah (baca: menular) kepada orang yang sehat dan mungkin dapat juga mengakibatkan penularan yang meluas.
Keberadaan kasus-kasus infeksi nosokomial di RS, sayangnya ternyata tidak semuanya tercatat dengan baik. Tapi walaupun demikian, paling tidak ada beberapa data yang patut kita simak berkait dengan infeksi nosokomial di RS ini. Sebagai contoh seperti data yang terjadi pada ruang perawatan anak RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung, infeksi nosokomial terjadi antara 4,5 hingga 9,9 persen. Sementara di ruang perawatan intensif neonatus, infeksi nosokomial dapat terjadi hingga 65,1 persen.
Semakin lama penderita dirawat, angka kejadian infeksi nosokomial makin tinggi. Pada penderita yang dirawat hingga 6 hari, angka kemungkinannya sebesar 3,2 persen, 7-13 hari sebesar 16,7 persen, 14-20 hari sebesar 19,7 persen, sedangkan bila lebih dari 35 hari mencapai 48,8 persen. Selain itu, penderita yang mendapatkan infeksi nosokomial bisa dirawat 2,4 kali lebih lama dibandingkan penderita tanpa infeksi nosokomial.
Dari data di atas, dapatlah kita tarik garis merah antara lamanya penderita dirawat di RS dengan kemungkinan terjadinya infeksi nosokomial. Berkait dengan ini, sebenarnya penderita yang dirawat di RS tidak harus dibebani lagi dengan kemungkinan terjadinya infeksi nosokomial. Yakni dengan syarat kondisi sanitasi rumah sakit yang terjamin (baik) dan profesionalisme perawat yang terkait, tentu tidak hanya menerapkan asuhan keperawatan (kuratif), tetapi harus dipadukan dengan fokus aspek pencegahan (preventif) pada penderita.
Manajemen Sanitasi Rumah Sakit
Manajemen sanitasi rumah sakit merupakan tindakan pengelolaan dalam upaya pengawasan berbagai faktor lingkungan fisik, kimiawi dan biologis di RS yang mungkin menimbulkan/dapat mengakibatkan pengaruh buruk terhadap kesehatan jasmani, rohani, maupun sosial bagi petugas, penderita, pengunjung maupun masyarakat sekitar RS.
Dari sini, dapatlah disebutkan bahwa manajemen pelayanan sanitasi rumah sakit diselenggarakan dalam rangka menciptakan kondisi lingkungan RS yang nyaman dan bersih sebagai pendukung usaha penyembuhan penderita, disamping mencegah terjadinya penularan penyakit infeksi nosokomial kepada sesama pasein dan orang sehat baik petugas RS maupun pengunjung.
Secara demikian, penerapan manajemen sanitasi rumah sakit dapat dikatakan sebagai kunci awal untuk mencegah terjadinya infeksi nosokomial. Pencegahan infeksi nosokomial, dikatakan H. Herry Garna, selaku pejabat Wakil Ketua Panitia Infeksi Nosokomial RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung, sebagian besar dilakukan melalui asuhan keperawatan yang berfokus pada aspek pencegahan.
Aspek pencegahan tersebut, tidak lain adalah penerapan usaha sanitasi rumah sakit itu sendiri. Hal ini, tentunya cukup beralasan apabila para perawat harus memahami pentingnya usaha sanitasi rumah sakit dalam upaya pencegahan infeksi nosokomial, sebab para perawat inilah yang paling lama kontak dengan penderita, yaitu terjdi 24 jam sehari.
Rumah sakit sebagai unsur pelayanan kepada masyarakat, tentunya dalam penerapan sanitasi rumah sakit ini akan terkait erat dengan unsur pelayanan teknis medis dan teknis keperawatan penderita. Sebagai konsekuensi logis dari kedudukan ini, maka sanitasi rumah sakit juga merupakan integrasi dari administrasi/manajemen kesehatan lingkungan, rekayasa sosial (social engineering), epidemiologi, dan pendidikan kesehatan lingkungan bagi masyarakat. Pendek kata, penyelenggaraan sanitasi rumah sakit merupakan bagian integral dari program rumah sakit secara keseluruhan, penetapan sebagai bagian program berdasarkan pada perundangan yang berlaku di dalam rumah sakit.
Sanitasi rumah sakit juga harus merupakan satu kesatuan dan keterpaduan dari: pengetahuan dan teknologi rekayasa (engineering); pengetahuan dan teknologi kimia, pengetahuan bakteriologi dan mikrobiologi; pengetahuan dan teknologi perawatan mekanis; pengetahuan dan kemampuan khusus pengelolaan administratif maupun teknis (managerial skill) di bidang kesehatan lingkungan.
Berkait dengan prinsip-prinsip sanitasi rumah sakit yang diterapkan dalam rangkaian usaha pencegahan dan pengurangan infeksi nosokomial (baca: infeksi silang dan swa infeksi), dapat melalui: Pertama, penanganan kebersihan kerumahtanggaan untuk menciptakan lingkungan yang nyaman dan bersih dari investasi mikroorganisme, yang bebas dari jasad renik. Kedua, tersedia dan terlaksananya penanganan, pengumpulan limbah atau sampah yang memadai. Ketiga, tersedianya air bersih yang bebas dari kuman penyakit. Keempat, ventilasi udara yang baik, yang dapat memberikan udara bersih dan segar.
Kelima, teknik-teknik aseptic (pembebas kuman/ hama) bagi semua petugas rumah sakit. Keenam, tempat tidur dan perlengkapannya bersih dan bebas dari kuman. Ketujuh, makanan dan minuman yang sehat, bebas dari bahan pencemaran. Kedelapan, pencahayaan (termasuk alami dan buatan) yang cukup. Kesembilan, bebas dari serangga dan rodent penular penyakit.
Jadi, kemungkinan terjadinya penularan penyakit akibat infeksi nosokomial di RS adalah disebabkan karena pengaruh lingkungan Rumah Sakit yang kurang baik. Oleh karena itu, sebagai solusi untuk mencegah dan mengurangi kemungkinan tersebut, maka sangat diperlukan adanya penanganan di bidang manajemen sanitasi Rumah Sakit yang baik.
Akhirnya, dengan kondisi sanitasi Rumah Sakit yang baik akan membuat pasein rawat nginap di RS-RS tidak akan terbebani dan dihantui oleh bayang-bayang penyakit yang didapat dari Rumah Sakit dan tentu saja kondisi tersebut sangat membantu dalam mempercepat proses penyembuhan atas penyakit yang dideritanya.***
*Penulis adalah dosen di Akademi Kesehatan Lingkungan (AKL) Kutamaya Bandung dan tergabung dalam Himpunan Ahli Kesehatan Lingkungan Indonesia [HAKLI].
Arda Dinata adalah pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia, http://www.miqra.blogspot.com.
Pernakah Anda mendengar informasi bahwa ada seorang pasein rawat nginap di Rumah Sakit (RS), bukannya penyakit yang dideritanya menjadi sembuh tetapi sebaliknya justru penyakitnya bertambah parah. Usut punya usut, ternyata si pasein tersebut mendapat infeksi nosokomial. Apa itu infeksi nosokomial?
Dalam buku, “Komponen Sanitasi Rumah Sakit Untuk Institusi Pendidikan Tenaga Sanitasi” (1989: 21), infeksi nosokomial adalah penyakit yang terjadi akibat infeksi silang (cross infection) maupun swa infeksi (self infection). Infeksi silang ini adalah timbulnya penyakit pada diri seseorang akibat adanya faktor lingkungan (interaksi antara faktor host, agent, environment). Sedangkan swa infeksi berarti timbulnya penyakit atau makin parahnya kondisi penyakit seseorang (carier) karena faktor lingkungan.
Sementara itu, Prof. dr.H. Herry Garna SpAK, PhD. dalam pidato pengukuhan jabatan Guru Besar dalam Ilmu Kesehatan Anak di Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (Unpad) di Ruang Serba Guna (RSG) Unpad mengemukakan, secara umum infeksi nosokomial dapat didefinisikan sebagai infeksi yang didapatkan penderita selama perawatan di RS. Namun, penyakit tersebut belum ada atau tidak sedang dalam inkubasi pada saat penderita masuk RS, kecuali bila penyakit itu berhubungan dengan perawatan sebelumnya di RS.
Secara demikian, apa yang harus dilakukan untuk menjaga fungsi dan kedudukan RS sebagai institusi atau tempat pelayanan kesehatan terhadap individu pasein, keluarganya, dan masyarakat dengan inti pelayanan medik, baik preventif, kuratif, rehabilitatif, dan promotif yang diproses secara terpadu agar mencapai pelayanan kesehatan yang paripurna. Pertanyaannya, sejauh mana kondisi kasus infeksi nosokomial yang terjadi pada RS-RS di sekitar kita? Solusi apa yang bisa dilakukan untuk menghalau terjadinya kasus infeksi nosokomial itu.
Setidaknya, jika kita mengetahui aspek-aspek apa saja yang bisa menyebabkan terjadinya infeksi nosokomial, maka kita sedini mungkin bila ada seseorang (keluarga, saudara, teman, atau siapa pun) yang dirawat di RS dapat mengantisipasinya dengan baik. Begitu juga dengan pihak-pihak pengelola RS, jauh-jauh hari telah mengagendakannya dalam program manajemen pelayanan RS.
Kondisi Infeksi Nosokomial
Keberadaan RS dilihat dari aspek kesehatan lingkungan, pada dasarnya terdiri dari lingkungan biotik dan abiotik. Dalam kesehariannya lingkungan biotik dan abiotik ini akan melakukan interaksi, baik langsung maupun tidak langsung.
Atas dasar itu, maka di lingkungan RS dimungkinkan terjadinya kontak antara tiga komponen (pasien, petugas, dan masyarakat) dalam lingkungan RS dan benda-benda/alat-alat yang dipergunakan untuk proses penyembuhan, perawatan dan pemulihan penderita.
Hubungan tersebut bersifat kontak terus menerus yang memungkinkan terjadinya infeksi silang pasien yang menderita penyakit tertentu kepada petugas RS dan pengunjung RS yang sehat. Akan tetapi mungkin juga berfungsi sebagai carier kepada pasein, petugas dan pengunjung.
Kondisi kontak yang tinggi dari penderita dengan petugas RS maupun pengunjung itu, tidak menutup kemungkinan sejumlah bibit penyakit dapat berpindah (baca: menular) kepada orang yang sehat dan mungkin dapat juga mengakibatkan penularan yang meluas.
Keberadaan kasus-kasus infeksi nosokomial di RS, sayangnya ternyata tidak semuanya tercatat dengan baik. Tapi walaupun demikian, paling tidak ada beberapa data yang patut kita simak berkait dengan infeksi nosokomial di RS ini. Sebagai contoh seperti data yang terjadi pada ruang perawatan anak RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung, infeksi nosokomial terjadi antara 4,5 hingga 9,9 persen. Sementara di ruang perawatan intensif neonatus, infeksi nosokomial dapat terjadi hingga 65,1 persen.
Semakin lama penderita dirawat, angka kejadian infeksi nosokomial makin tinggi. Pada penderita yang dirawat hingga 6 hari, angka kemungkinannya sebesar 3,2 persen, 7-13 hari sebesar 16,7 persen, 14-20 hari sebesar 19,7 persen, sedangkan bila lebih dari 35 hari mencapai 48,8 persen. Selain itu, penderita yang mendapatkan infeksi nosokomial bisa dirawat 2,4 kali lebih lama dibandingkan penderita tanpa infeksi nosokomial.
Dari data di atas, dapatlah kita tarik garis merah antara lamanya penderita dirawat di RS dengan kemungkinan terjadinya infeksi nosokomial. Berkait dengan ini, sebenarnya penderita yang dirawat di RS tidak harus dibebani lagi dengan kemungkinan terjadinya infeksi nosokomial. Yakni dengan syarat kondisi sanitasi rumah sakit yang terjamin (baik) dan profesionalisme perawat yang terkait, tentu tidak hanya menerapkan asuhan keperawatan (kuratif), tetapi harus dipadukan dengan fokus aspek pencegahan (preventif) pada penderita.
Manajemen Sanitasi Rumah Sakit
Manajemen sanitasi rumah sakit merupakan tindakan pengelolaan dalam upaya pengawasan berbagai faktor lingkungan fisik, kimiawi dan biologis di RS yang mungkin menimbulkan/dapat mengakibatkan pengaruh buruk terhadap kesehatan jasmani, rohani, maupun sosial bagi petugas, penderita, pengunjung maupun masyarakat sekitar RS.
Dari sini, dapatlah disebutkan bahwa manajemen pelayanan sanitasi rumah sakit diselenggarakan dalam rangka menciptakan kondisi lingkungan RS yang nyaman dan bersih sebagai pendukung usaha penyembuhan penderita, disamping mencegah terjadinya penularan penyakit infeksi nosokomial kepada sesama pasein dan orang sehat baik petugas RS maupun pengunjung.
Secara demikian, penerapan manajemen sanitasi rumah sakit dapat dikatakan sebagai kunci awal untuk mencegah terjadinya infeksi nosokomial. Pencegahan infeksi nosokomial, dikatakan H. Herry Garna, selaku pejabat Wakil Ketua Panitia Infeksi Nosokomial RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung, sebagian besar dilakukan melalui asuhan keperawatan yang berfokus pada aspek pencegahan.
Aspek pencegahan tersebut, tidak lain adalah penerapan usaha sanitasi rumah sakit itu sendiri. Hal ini, tentunya cukup beralasan apabila para perawat harus memahami pentingnya usaha sanitasi rumah sakit dalam upaya pencegahan infeksi nosokomial, sebab para perawat inilah yang paling lama kontak dengan penderita, yaitu terjdi 24 jam sehari.
Rumah sakit sebagai unsur pelayanan kepada masyarakat, tentunya dalam penerapan sanitasi rumah sakit ini akan terkait erat dengan unsur pelayanan teknis medis dan teknis keperawatan penderita. Sebagai konsekuensi logis dari kedudukan ini, maka sanitasi rumah sakit juga merupakan integrasi dari administrasi/manajemen kesehatan lingkungan, rekayasa sosial (social engineering), epidemiologi, dan pendidikan kesehatan lingkungan bagi masyarakat. Pendek kata, penyelenggaraan sanitasi rumah sakit merupakan bagian integral dari program rumah sakit secara keseluruhan, penetapan sebagai bagian program berdasarkan pada perundangan yang berlaku di dalam rumah sakit.
Sanitasi rumah sakit juga harus merupakan satu kesatuan dan keterpaduan dari: pengetahuan dan teknologi rekayasa (engineering); pengetahuan dan teknologi kimia, pengetahuan bakteriologi dan mikrobiologi; pengetahuan dan teknologi perawatan mekanis; pengetahuan dan kemampuan khusus pengelolaan administratif maupun teknis (managerial skill) di bidang kesehatan lingkungan.
Berkait dengan prinsip-prinsip sanitasi rumah sakit yang diterapkan dalam rangkaian usaha pencegahan dan pengurangan infeksi nosokomial (baca: infeksi silang dan swa infeksi), dapat melalui: Pertama, penanganan kebersihan kerumahtanggaan untuk menciptakan lingkungan yang nyaman dan bersih dari investasi mikroorganisme, yang bebas dari jasad renik. Kedua, tersedia dan terlaksananya penanganan, pengumpulan limbah atau sampah yang memadai. Ketiga, tersedianya air bersih yang bebas dari kuman penyakit. Keempat, ventilasi udara yang baik, yang dapat memberikan udara bersih dan segar.
Kelima, teknik-teknik aseptic (pembebas kuman/ hama) bagi semua petugas rumah sakit. Keenam, tempat tidur dan perlengkapannya bersih dan bebas dari kuman. Ketujuh, makanan dan minuman yang sehat, bebas dari bahan pencemaran. Kedelapan, pencahayaan (termasuk alami dan buatan) yang cukup. Kesembilan, bebas dari serangga dan rodent penular penyakit.
Jadi, kemungkinan terjadinya penularan penyakit akibat infeksi nosokomial di RS adalah disebabkan karena pengaruh lingkungan Rumah Sakit yang kurang baik. Oleh karena itu, sebagai solusi untuk mencegah dan mengurangi kemungkinan tersebut, maka sangat diperlukan adanya penanganan di bidang manajemen sanitasi Rumah Sakit yang baik.
Akhirnya, dengan kondisi sanitasi Rumah Sakit yang baik akan membuat pasein rawat nginap di RS-RS tidak akan terbebani dan dihantui oleh bayang-bayang penyakit yang didapat dari Rumah Sakit dan tentu saja kondisi tersebut sangat membantu dalam mempercepat proses penyembuhan atas penyakit yang dideritanya.***
*Penulis adalah dosen di Akademi Kesehatan Lingkungan (AKL) Kutamaya Bandung dan tergabung dalam Himpunan Ahli Kesehatan Lingkungan Indonesia [HAKLI].
Arda Dinata adalah pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia, http://www.miqra.blogspot.com.