Robot Jadi Bos, Manusia Jadi Asisten

Baca Juga

AI terpintar sekalipun tidak akan pernah bisa merasakan nikmatnya makan nasi kucing di warung tenda sambil diguyur hujan dan ditiup angin. (Sumber foto: Arda Dinata).

Oleh: Arda Dinata

INSPIRASI "Dahulu manusia membuat robot untuk melayani. Kini robot membuat manusia untuk mengikuti instruksi."

JAKARTA - Breaking news dari Silicon Valley melaporkan bahwa ChatGPT telah resmi diangkat menjadi CEO perusahaan teknologi multinasional dengan gaji 50 miliar dollar per tahun. Sementara manusia-manusia yang dulu menciptakannya kini bekerja sebagai "prompt engineer" dengan gaji UMR. Ironis? Belum tentu. Mungkin ini memang takdir evolusi digital yang sudah dinubuatkan dalam kitab suci algoritma.

Pak Bejo, tukang bakso keliling di kawasan Kemang, kini bangga bercerita bahwa warungnya sudah "AI-powered". "Saya sekarang pakai ChatGPT buat bikin menu, Mas. Kemarin saya tanya, 'Gimana caranya bikin bakso yang enak?' Eh, dia suruh saya pakai daging sapi premium, kaldu tulang sumsum, dan bumbu rahasia 17 rempah. Padahal modal saya cuma sejuta, baksonya tetap pakai tepung kanji dan micin."

Begitulah realita era digital: semua orang merasa jadi ahli setelah bertanya pada AI, padahal yang ditanya juga belum tentu pernah jualan bakso.

Sukses Instan

Dr. Hartono, psikolog gadungan dari Universitas WhatsApp, menjelaskan fenomena ini dengan teori "Instant Success Syndrome" atau ISS. "Manusia zaman now itu maunya sukses langsung jadi. Dulu orang belajar 10 tahun baru jadi ahli, sekarang belajar 10 menit dari YouTube udah merasa profesor," katanya sambil menunjukkan sertifikat online yang dia beli seharga 50 ribu rupiah.

Fenomena ini semakin parah ketika muncul para "digital entrepreneur" yang menjual mimpi sukses dengan modal smartphone dan kuota internet. "Gampang kok, tinggal buat konten viral, follower naik, endorse datang, langsung kaya raya!" teriak seorang influencer sambil mempromosikan kursus "Jadi Milyader dalam 30 Hari" seharga 3 juta rupiah.

Padahal, kesuksesan sejatinya seperti nasi liwet—butuh waktu lama, api yang tepat, dan kesabaran. Bukan seperti mie instan yang 3 menit jadi, tapi rasanya ya gitu-gitu aja.

Revolusi Kemalasan

Yang lebih mengkhawatirkan adalah bagaimana AI justru membuat manusia semakin malas berpikir. Dulu orang masih repot-repot buka kamus kalau tidak tahu arti kata. Sekarang tinggal tanya Siri, "Apa arti hidup?" dan Siri akan menjawab dengan percaya diri seolah dia sudah hidup 1000 tahun.

Seorang mahasiswa semester 8 mengaku sudah tidak pernah lagi menulis skripsi sendiri. "Semuanya saya minta tolong ChatGPT. Tinggal copy-paste, edit dikit, jadi deh. Dosbing saya juga pakai AI buat koreksi, jadi sama-sama enak," katanya dengan bangga.

Ini seperti dua orang buta yang saling memandu jalan. Mungkin sampai tujuan, mungkin juga nyasar ke jurang.

Filosofi Digital

Ada paradoks menarik di era AI ini: semakin canggih teknologi, semakin primitif cara berpikir manusia. Orang lebih percaya pada algoritma daripada intuisi, lebih mengandalkan aplikasi daripada akal sehat.

Nenek saya dulu bilang, "Kalau mau sukses, kerja keras, berdoa, dan sabar." Sekarang formula sukses versi digital: "Bikin konten, pancing engagement, monetize audience." Hasilnya? Banyak orang jadi sukses secara finansial tapi miskin secara spiritual.

Manusia Upgrade

Mungkin inilah saatnya manusia melakukan "upgrade" bukan pada gadget, tapi pada karakter. AI memang bisa mengerjakan banyak hal dengan cepat dan akurat, tapi AI tidak bisa merasakan kebahagiaan sederhana melihat matahari terbit, tidak bisa terharu mendengar tangisan bayi, tidak bisa merasakan kehangatan pelukan ibu.

Kesuksesan sejati bukan diukur dari seberapa viral konten kita, seberapa banyak follower, atau seberapa canggih gadget yang kita miliki. Kesuksesan sejati adalah ketika kita bisa menemukan kedamaian dalam keributan dunia digital, ketika kita bisa tetap menjadi manusia utuh di tengah gempuran teknologi yang mengikis kemanusiaan.

Jadi, mari kita manfaatkan AI dengan bijak. Jadikan dia asisten, bukan majikan. Jadikan dia alat, bukan tujuan. Dan yang terpenting, jangan sampai kita kehilangan kemanusiaan dalam mengejar kesuksesan digital yang semu.

Karena pada akhirnya, robot memang bisa menggantikan pekerjaan manusia, tapi robot tidak akan pernah bisa menggantikan hati nurani manusia—kecuali kalau hati nurani itu sudah dijual ke marketplace dengan diskon 90%.

"AI terpintar sekalipun tidak akan pernah bisa merasakan nikmatnya makan nasi kucing di warung tenda sambil diguyur hujan dan ditiup angin."

Penulis adalah Kolomnis dan Pendiri MIQRA Indonesia.

Tulisan Arda Dinata lainnya baca di sini: https://blog.ardadinata.com

Agar Saya Terus Berbagi Tulisan | Cerita | Videogram Inspiratif, Donasi Cuan Anda ke sini: 👇😍👇 https://saweria.co/ArdaDinata

Tagar: #ArdaDinata #PenulisKolom #AIvsManusia #SuksesDigital #FilosofiTeknologi #HumanityFirst #DigitalWisdom

Baca Juga

Jangan ragu untuk memberikan komentar di bawah ini dan mengikuti kami di saluran WhatsApp "ProduktifMenulis.com (Group)" dengan klik link ini: WhatsApp ProduktifMenulis.com (Group) untuk mendapatkan info terbaru dari website ini.

Arda Dinata adalah Penulis di Berbagai Media Online dan Penulis Buku, Aktivitas Kesehariannya Membaca dan Menulis, Tinggal di Pangandaran - Jawa Barat.

www.ArdaDinata.com:  | Share, Reference & Education |
| Sumber Berbagi Inspirasi, Ilmu, dan Motivasi Sukses |
Twitter: @ardadinata 
Instagram: @arda.dinata

Arda Dinata

Arda Dinata is a writer for various online media, lives in Pangandaran - West Java. www.ArdaDinata.com: | Share, Reference & Education | | Source for Sharing Inspiration, Knowledge and Motivation for Success | World of Business, Business, Boss, Rich, Money, Dollars and Success |

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Entri yang Diunggulkan



Toko Sosmed
Klik Di Sini Melihat Koleksi Ebook Karya Arda Dinata Lainnya

A Group Member of:
Toko SosmedToko SosmedToko SosmedWWW.ARDADINATA.COMWWW.ARDADINATA.COMInSanitarianMIQRA INDONESIA


Formulir Kontak

.