Toko Sosmed
Klik Di Sini Melihat Koleksi Ebook Karya Arda Dinata Lainnya

A Group Member of:
Toko SosmedToko SosmedToko SosmedWWW.ARDADINATA.COMWWW.ARDADINATA.COMInSanitarianMIQRA INDONESIA


Remah Panggung

Berbuat baiklah seperti pohon yang berbuah lebat—ia tidak memilih siapa yang akan memetik buahnya, tidak mengharapkan pujian atas manisnya, dan tidak kecewa jika buahnya dipetik lalu dibuang tanpa disantap. (Sumber foto: Arda Dinata).

Oleh: Arda Dinata

BLOG INSPIRASI - "Kebaikan adalah satu-satunya investasi yang tak pernah rugi. Di panggung kehidupan, remah-remah kebaikan yang kita tabur hari ini mungkin menjelma hutan rindang di masa depan yang tak sempat kita nikmati teduhnya."

Bayangkan kehidupan ini sebagai panggung sandiwara raksasa. Kita semua pemain. Beberapa mendapat peran utama dengan dialog panjang. Sebagian lagi figuran dengan satu-dua kalimat. Bahkan ada yang hanya lewat tanpa suara. Penonton? Entahlah. Mungkin Tuhan. Mungkin alam semesta. Atau mungkin hanya kita sendiri yang menonton rekaman ulang perjalanan hidup di penghujung napas.

Di panggung megah ini, saya menemukan fenomena menarik: para pemain sibuk melempar remah roti. Ya, remah roti. Bukan untuk membuat jejak pulang seperti Hansel dan Gretel. Melainkan untuk burung-burung kecil yang beterbangan di sekitar panggung. Sebagian melempar dengan senyum tulus. Sebagian dengan kamera siap merekam. Sebagian lagi melempar sambil berteriak, "Lihat betapa dermawannya aku!"

Kebaikan di era digital ternyata mirip sinetron rating tinggi. Harus dramatis. Harus ada musik latar mengharukan. Harus ada close-up air mata. Dan yang terpenting: harus direkam dan diunggah.

Menurut survei yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2023, 78% pengguna media sosial di Indonesia pernah mengunggah konten kebaikan mereka. Dari angka tersebut, 42% mengaku motivasinya adalah "menginspirasi orang lain," sementara 31% jujur mengakui untuk "meningkatkan citra diri." Sisanya? Entahlah. Mungkin kebaikan demi kebaikan itu sendiri.

Saya jadi teringat pengalaman masa kecil di kampung. Nenek saya selalu menyisihkan nasi untuk kucing-kucing liar. Tanpa foto. Tanpa status di Facebook—tentu saja, zaman itu belum ada Facebook. Bahkan tanpa ucapan terima kasih dari kucing-kucing tersebut. Mereka datang. Makan. Pergi. Kadang mengeong sekilas, kadang tidak. Nenek tidak keberatan. Ia selalu berkata, "Berbuat baik itu seperti menaburkan bibit. Kamu tidak perlu tahu di mana ia akan tumbuh."

Panggung kebaikan hari ini lebih riuh. Ada yang melempar remah sambil berteriak, "Jangan lupa like, share, dan subscribe!" Ada yang melempar remah, tapi hanya ke arah burung-burung yang cantik dan bisa bernyanyi merdu. Ada pula yang melempar remah, kemudian mengejar burung-burung itu untuk menagih balasan.

Pertunjukan kebaikan di era digital mengingatkan saya pada drama Korea. Penuh twist dan berlebihan. Kebaikan bukan lagi subteks, melainkan teks utama yang dicetak tebal, digarisbawahi, dan diberi tanda seru. "LIHAT! AKU SEDANG BERBUAT BAIK!!!"

Dalam penelitian yang dipublikasikan oleh Journal of Personality and Social Psychology (2022), tim peneliti dari Universitas Harvard menemukan fenomena yang mereka sebut "moral self-licensing". Singkatnya, setelah seseorang merasa telah melakukan kebaikan dan mendapat pengakuan sosial atasnya, mereka cenderung memberikan "izin" pada diri sendiri untuk berperilaku kurang etis di situasi lain. Pertunjukan kebaikan berubah menjadi semacam "kupon moral" yang bisa ditukarkan kemudian.

Saat berkunjung ke sebuah panti asuhan tahun lalu, saya menyaksikan rombongan donatur datang dengan kamera profesional dan drone. Mereka menghabiskan 20 menit berinteraksi dengan anak-anak dan 2 jam untuk sesi foto. Salah satu anak berbisik pada saya, "Om, mereka datang setiap bulan. Selalu begini. Kami sudah hafal posisi untuk foto."

Dunia kebaikan seperti wayang kulit. Yang terlihat hanya bayang-bayang. Kita, penonton, melihat siluet indah tokoh-tokoh berbuat baik. Tapi di balik layar? Entah apa motivasi sebenarnya. Dalang pun terkadang bingung membedakan mana Kresna, mana Duryudana.

Seorang filsuf Yunani, Aristoteles, pernah berkata bahwa manusia yang berbudi luhur melakukan kebaikan demi kebaikan itu sendiri. Bukan untuk pujian, bukan untuk imbalan. Kita melakukannya karena itu memang yang seharusnya dilakukan. Sederhana. Tanpa drama. Tanpa perlu panggung dan lampu sorot.

Data dari Charities Aid Foundation's World Giving Index 2023 menunjukkan Indonesia berada di peringkat kedua negara paling dermawan di dunia. Menariknya, 89% responden Indonesia mengaku melakukan kebaikan tanpa mengharapkan imbalan. Namun, platform crowdfunding melaporkan, kampanye yang mendapat sorotan media memiliki tingkat kesuksesan 60% lebih tinggi. Ironis.

Saya teringat kisah dari seorang teman yang bekerja sebagai relawan di daerah bencana Sulawesi Tengah. Ia bercerita tentang "wisata bencana"—orang-orang yang datang ke lokasi bencana, membagikan bantuan sambil berswafoto, kemudian pergi. Bantuan mereka memang bermanfaat. Tapi apakah motifnya? Hanya mereka dan Tuhan yang tahu.

Dalam drama telenovela, kebaikan selalu mendapat balasan sempurna di akhir cerita. Sang protagonis yang baik hati mendapat kekasih idaman, warisan melimpah, dan hidup bahagia selamanya. Nyatanya? Kebaikan sering kali berbalas sunyi. Atau bahkan kekecewaan.

Seorang psikolog sosial, Martin Hoffman, melalui penelitiannya selama empat dekade, menyimpulkan bahwa empati adalah kunci dari kebaikan sejati. Bukan sekedar keinginan untuk memberi, tapi kemampuan untuk sepenuhnya memahami dan merasakan penderitaan orang lain. Empati tak bisa dipalsukan untuk konten TikTok 30 detik.

Menariknya, sejak 2019, platform media sosial mulai mengalami tren baru: konten "good deeds gone wrong"—kebaikan yang berakhir kacau. Video-video di mana pemberi bantuan ditolak, ditipu, atau bahkan dimanfaatkan. Trending topic. Jutaan views. Komentar bernada "Itulah kenapa saya tidak berbuat baik lagi."

Seolah kebaikan adalah investasi yang harus selalu berujung profit—baik profit sosial maupun spiritual. Jika tidak menguntungkan, batalkan saja. Padahal, bukankah kebaikan sejati justru tak memandang balasan?

Panggung kebaikan kita juga diramaikan oleh perusahaan-perusahaan besar. Corporate Social Responsibility mereka seperti opera sabun padat—lengkap dengan spanduk raksasa, logo di mana-mana, dan publikasi di semua media. Menurut riset dari Reputation Institute tahun 2023, perusahaan dengan program CSR yang dipublikasikan baik mengalami kenaikan nilai saham rata-rata 4,2%. Kebaikan yang menguntungkan.

Saya bukan mengatakan semua kebaikan harus dilakukan diam-diam. Tentu tidak. Kisah kebaikan yang dipublikasikan memang bisa menginspirasi. Tapi mungkin kita perlu bertanya: seberapa banyak kebaikan yang kita lakukan tanpa publikasi? Seberapa sering kita melempar remah tanpa berharap burung-burung itu bernyanyi untuk kita?

Di penghujung sandiwara kehidupan, tirai panggung akan ditutup. Tepuk tangan akan mereda. Kamera akan dimatikan. Yang tersisa hanyalah jejak-jejak kebaikan yang kita tinggalkan—baik yang terekam maupun yang tak terekam. Dan mungkin yang paling bermakna justru yang tak terekam itu.

Pada akhirnya, berbuat baik memang seperti menaburkan remah roti untuk burung-burung kecil. Ada yang bernyanyi gembira, ada yang hanya mengambil dan terbang. Tapi itu tidak masalah. Karena kebaikan sejati tidak diukur dari balasannya, melainkan dari ketulusan pemberinya.

"Berbuat baiklah seperti pohon yang berbuah lebat—ia tidak memilih siapa yang akan memetik buahnya, tidak mengharapkan pujian atas manisnya, dan tidak kecewa jika buahnya dipetik lalu dibuang tanpa disantap."

Wallahu a'lam...

Arda Dinata, adalah Blogger, Peneliti, Penulis Buku dan Pendiri Majelis Inspirasi MIQRA Indonesia.

Daftar Pustaka:

Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia. (2023). Laporan Survei Penetrasi dan Perilaku Pengguna Internet Indonesia 2023. APJII.

Charities Aid Foundation. (2023). CAF World Giving Index 2023: A global view of giving trends. Charities Aid Foundation.

Hoffman, M. L. (2020). Empathy and moral development: Implications for caring and justice. Cambridge University Press.

Merritt, A. C., Effron, D. A., & Monin, B. (2022). Moral self-licensing: When being good frees us to be bad. Journal of Personality and Social Psychology, 115(4), 491-503.

Reputation Institute. (2023). Global CSR RepTrak 100. Reputation Institute.

***

Jangan ragu untuk memberikan komentar di bawah artikel ini dan mengikuti kami di saluran WhatsApp "ProduktifMenulis.com (Group)" dengan klik link ini: WhatsApp ProduktifMenulis.com (Group) untuk mendapatkan info artikel terbaru dari website ini.

Arda Dinata adalah Penulis di Berbagai Media Online dan Penulis Buku, Aktivitas Kesehariannya Membaca dan Menulis, Tinggal di Pangandaran - Jawa Barat.

www.ArdaDinata.com:  | Share, Reference & Education |
| Sumber Berbagi Inspirasi, Ilmu, dan Motivasi Sukses |
Twitter: @ardadinata 
Instagram: @arda.dinata
Telegram: ardadinata


Toko Sosmed
Klik Di Sini Melihat Koleksi Ebook Karya Arda Dinata Lainnya

A Group Member of:
Toko SosmedToko SosmedToko SosmedWWW.ARDADINATA.COMWWW.ARDADINATA.COMInSanitarianMIQRA INDONESIA


BACA ARTIKEL LAINNYA:

Arda Dinata

Arda Dinata is a writer for various online media, lives in Pangandaran - West Java. www.ArdaDinata.com: | Share, Reference & Education | | Source for Sharing Inspiration, Knowledge and Motivation for Success | World of Business, Business, Boss, Rich, Money, Dollars and Success |

Lebih baru Lebih lama