Kehidupan demokrasi yang sejati bukan diukur dari riuhnya tepuk tangan penonton, melainkan dari berani atau tidaknya penonton meninggalkan kursinya untuk turut mengubah alur cerita. (Sumber foto: Arda Dinata).
Oleh: Arda Dinata
BLOG INSPIRASI - "Terlalu banyak yang mencari suara, terlalu sedikit yang mencari makna. Di antara kebisingan itu, kebenaran menjadi penonton yang kesepian."
Bayangkan sebuah panggung megah. Lampu sorot menyilaukan. Kursi-kursi penonton berjajar rapi mengelilingi arena pertunjukan. Tetapi aneh, tidak ada satu pun manusia yang duduk di sana. Yang hadir hanyalah kursi-kursi kosong dengan tatapan hampa. Sementara di atas panggung, seorang aktor membusungkan dada, berteriak-teriak memainkan monolog panjang yang dihafalnya semalam.
Begitulah negeri kita hari ini.
Begitulah para pemimpin kita saat ini.
Mereka berpidato kepada kursi-kursi kosong.
Demokrasi kita telah berubah menjadi teater absurd. Para penonton sudah lama pergi, meninggalkan arena dengan kekecewaan. Namun para aktor tetap melanjutkan pertunjukan seolah tidak terjadi apa-apa.
Saya teringat ketika masih kecil, ayah sering mengajak menonton wayang kulit semalam suntuk. Ada satu adegan yang tak terlupakan. Ketika Semar berbisik kepada Arjuna: "Raden, jangan pernah lupa bahwa seorang pemimpin sejati bukan yang paling keras suaranya, tetapi yang paling dalam pendengarannya."
Telinga pemimpin kita sepertinya sudah tersumbat ambisi.
Menurut survei terbaru dari Lembaga Kajian Demokrasi Indonesia (2024), tingkat kepercayaan publik terhadap institusi pemerintah telah menurun drastis hingga 37% dalam dua tahun terakhir. Angka ini mencerminkan jurang yang semakin dalam antara "panggung kekuasaan" dan "bangku penonton" yang ditinggalkan.
Kita telah menjadi penonton yang lelah.
Lelah menonton opera sabun politik yang sama. Setiap hari. Setiap minggu. Tokoh-tokohnya berganti kostum, tetapi naskahnya tetap sama. Klimaksnya dapat ditebak: skandal, bantahan, pembentukan tim investigasi, dan kemudian—seperti debu yang jatuh perlahan—dilupakan.
Saya masih ingat masa kecil di kampung. Ketika hujan deras mengguyur atap seng, kami berkumpul mendengarkan cerita kakek tentang pemimpin-pemimpin masa lalu. "Dulu, pemimpin itu takut pada rakyatnya," ujar kakek dengan tatapan menerawang. "Sekarang, rakyat yang takut pada pemimpinnya."
Berapa lama lagi kita akan menonton teater absurd ini?
Data dari Laboratorium Kajian Media dan Budaya Universitas Indonesia (2024) menunjukkan bahwa 68% konten media sosial yang terkait politik diisi oleh narasi-narasi polarisasi dan permusuhan. Kita telah menjadi bangsa yang lebih mahir berteriak daripada mendengarkan. Lebih cakap mencela daripada berdialog.
Panggung politik kita mirip dengan acara pencarian bakat di televisi. Juri-jurinya sibuk mencari kesalahan. Kontestannya sibuk menonjolkan diri. Penontonnya hanya diberi pilihan: mendukung atau mencemooh.
Tidak ada ruang untuk keraguan yang sehat.
Tidak ada tempat untuk pertanyaan yang jujur.
Sebuah studi dari Pusat Penelitian Psikologi Politik (Ardani, 2023) mengungkapkan fenomena menarik: semakin terpolarisasi pandangan politik seseorang, semakin rendah kemampuannya dalam menyelesaikan masalah kompleks. Kita telah menukar kebijaksanaan dengan kepastian semu.
Minggu lalu, saya membaca kisah di sebuah desa terpencil di Flores. Di sana, sang tokoh cerita bertemu dengan seorang kepala desa berusia 70 tahun. Setiap pagi, ia duduk di bawah pohon beringin di tengah desa. "Untuk apa Bapak duduk di sini setiap hari?" tanya sang tokoh. Dengan senyum teduh ia menjawab, "Untuk mendengarkan. Pemimpin yang baik harus lebih banyak mendengar daripada bicara."
Betapa sederhana. Betapa dalam.
Panggung politik kita sudah terlalu bising oleh monolog.
Menurut laporan tahunan World Democracy Index (2024), Indonesia mengalami kemunduran dalam indikator partisipasi politik substantif. Kita sibuk dengan prosedur, tetapi miskin substansi. Kita rajin memilih, tetapi malas mengawasi. Kita pandai berharap, tetapi kikir dalam keterlibatan.
Pada konteks ini, saya pernah membaca hasil diskusi dengan seorang profesor ilmu politik dari Jerman. Beliau bertanya dengan polos: "Mengapa demokrasi di negara Anda seperti pertunjukan teater di mana sutradara sudah menentukan akhir ceritanya sebelum tirai dibuka?"
Saya setelah menyimaknya terdiam.
Apa jawaban kita untuk anak cucu kelak?
Bahwa kita diam saja ketika panggung demokrasi disulap menjadi panggung sulap?
Penelitian dari Journal of Democratic Studies (Rahman et al., 2023) menunjukkan korelasi kuat antara kualitas diskursus publik dengan kesehatan demokrasi. Negara dengan ruang dialog yang sehat cenderung memiliki kebijakan publik yang lebih berpihak pada kesejahteraan kolektif.
Tetapi bagaimana kita bisa berdialog jika yang kita lakukan hanya berteriak?
Ada dialog menarik dalam film lama "12 Angry Men" (1957). Betapa menakjubkan melihat bagaimana sebuah dialog yang jujur dapat mengubah keyakinan 11 orang yang tadinya begitu yakin. Dialog membutuhkan kerendahan hati—kualitas yang semakin langka di ruang publik kita.
Lalu, di manakah letak kesalahan kita?
Mungkin kita terlalu nyaman menjadi penonton. Mungkin kita terlalu terbiasa duduk di kursi empuk, mengunyah camilan kritik, sambil menonton para aktor di panggung sana menentukan nasib kita. Kita lupa bahwa dalam teater demokrasi, tidak ada pemisahan antara penonton dan aktor. Kita semua adalah bagian dari pertunjukan itu sendiri.
Setiap kali kita memilih diam ketika kebenaran diinjak, kita turut menulis naskah teater absurd ini.
Setiap kali kita enggan terlibat dalam urusan publik, kita menyumbangkan satu kursi kosong di arena demokrasi.
Journal of Civic Engagement (Putri & Wibowo, 2024) melaporkan bahwa hanya 23% warga Indonesia yang pernah terlibat aktif dalam pengambilan keputusan di tingkat lokal. Panggung demokrasi kita tidak sepi karena tidak ada yang menonton, tetapi karena penonton enggan naik ke panggung ketika diundang.
Mungkin sudah waktunya kita berhenti menjadi penonton yang hanya bisa bertepuk tangan atau mencibir. Mungkin sudah saatnya kita menjadi sutradara bagi pertunjukan masa depan bangsa kita.
Beberapa hari lalu, saya membaca sebuah komunitas anak muda di Yogyakarta. Mereka membangun perpustakaan jalanan, mengajar anak-anak prasejahtera, dan mengadakan diskusi publik setiap minggu. Tanpa publikasi. Tanpa tepuk tangan. Mereka tidak menunggu panggung disediakan, mereka membangunnya sendiri.
Dalam sunyi, mereka bicara lebih lantang dari para pembual di atas panggung kekuasaan.
"Kehidupan demokrasi yang sejati bukan diukur dari riuhnya tepuk tangan penonton, melainkan dari berani atau tidaknya penonton meninggalkan kursinya untuk turut mengubah alur cerita."
Wallahu a'lam...
Arda Dinata, adalah Blogger, Peneliti, Penulis Buku dan Pendiri Majelis Inspirasi MIQRA Indonesia.
Daftar Pustaka:
Ardani, S. (2023). Polarisasi politik dan kemampuan penyelesaian masalah: Studi korelasional. Jurnal Psikologi Politik Indonesia, 8(2), 45-63.
Lembaga Kajian Demokrasi Indonesia. (2024). Laporan survei kepercayaan publik terhadap institusi pemerintah 2022-2024. Jakarta: LKDI Press.
Laboratorium Kajian Media dan Budaya, Universitas Indonesia. (2024). Analisis konten naratif politik di media sosial Indonesia. Depok: UI Press.
Putri, D. A., & Wibowo, A. (2024). Pola partisipasi warga dalam pengambilan keputusan publik di Indonesia. Journal of Civic Engagement, 12(1), 78-95.
Rahman, A., Hidayat, B., & Johnson, K. (2023). Quality of public discourse and democratic health: A comparative study. Journal of Democratic Studies, 18(3), 112-129.
World Democracy Index. (2024). Annual democracy report 2023-2024. London: EIU Publishing.
***
Jangan ragu untuk memberikan komentar di bawah artikel ini dan mengikuti kami di saluran WhatsApp "ProduktifMenulis.com (Group)" dengan klik link ini: WhatsApp ProduktifMenulis.com (Group) untuk mendapatkan info artikel terbaru dari website ini.
Arda Dinata adalah Penulis di Berbagai Media Online dan Penulis Buku, Aktivitas Kesehariannya Membaca dan Menulis, Tinggal di Pangandaran - Jawa Barat.