Toko Sosmed
Klik Di Sini Melihat Koleksi Ebook Karya Arda Dinata Lainnya

A Group Member of:
Toko SosmedToko SosmedToko SosmedWWW.ARDADINATA.COMWWW.ARDADINATA.COMInSanitarianMIQRA INDONESIA


#Cerpen : Jembatan Para Musafir

"Biarlah hartamu mendahuluimu ke surga melalui tangan-tangan para musafir dan penuntut ilmu, sebelum jasadmu dikebumikan dalam tanah yang dingin dan kesempatan berbuat baik telah tertutup selamanya." (Sumber foto: Arda Dinata).

CERPEN: Arda Dinata

BLOG INSPIRASI - "Kemuliaan seorang hamba tidak terletak pada berapa banyak dia meminta kepada Allah, tapi pada berapa banyak dia memberi kepada sesama."

Ketika muezzin mengumandangkan azan Maghrib, Khairul melangkah gontai memasuki pagar rumah kakeknya di Kampung Arab, Palembang. Bangunan tua bergaya kolonial dengan pilar-pilar tinggi dan ventilasi berpola geometris khas Timur Tengah itu menyambut dengan keheningan. Sudah sepuluh tahun Khairul tidak menginjakkan kaki di sini, sejak keluarganya pindah ke Jakarta. Namun kematian sang kakek memaksanya kembali, membuka lembaran kenangan yang selama ini ia tutup rapat.

"Tuan muda Khairul sudah datang," sambar Mak Leha, pembantu rumah tangga yang sudah bekerja untuk keluarganya selama tiga generasi. Wanita tua berkulit kecokelatan itu membungkuk hormat, kemudian menyodorkan sebuah kotak kayu berukir. "Ini titipan Tuan Hassan untuk Tuan. Beliau berpesan agar Tuan membukanya sendiri."

Khairul menerima kotak itu dengan dahi berkerut. Di tangannya terasa berat, seperti membawa beban masa lalu. Desain kotak itu tidak asing—ukiran-ukiran rumit berbentuk pola Arabesk dengan hiasan kaligrafi Arab di sekelilingnya. Kotak yang sama yang selalu dijauhkan dari jangkauannya ketika ia kecil dulu.

"Ini kunci kamar kakekmu," tambah Mak Leha sambil menyerahkan sebuah kunci kuno bermotif bulan sabit. "Beliau minta kamu menginap di kamarnya malam ini, sebelum jenazahnya dimakamkan besok."

"Mak Leha, kenapa Kakek meninggalkan kotak ini untukku? Bukannya untuk ayah?"

Mak Leha hanya tersenyum tipis, kerutan di wajahnya semakin dalam. "Tuan Hassan punya alasan tersendiri, Tuan. Mungkin jawabannya ada di dalam kotak itu."

Khairul melangkah menaiki tangga kayu yang berderit, menuju kamar kakeknya di lantai dua. Pintu kayu jati berukir itu terasa berat ketika ia dorong. Udara pengap dan aroma cendana segera menyergap indra penciumannya. Ruangan itu masih sama seperti dalam ingatannya—ranjang besar bertiang empat, lemari buku penuh kitab-kitab tua, meja kerja dengan tumpukan perkamen, dan jendela besar menghadap sungai Musi.

Ia meletakkan kotak kayu itu di atas meja, membuka kuncinya dengan tangan gemetar. Di dalamnya terdapat sebuah mushaf Al-Quran tua bersampul kulit, seuntai tasbih dari batu akik, dan sebuah buku harian kulit berwarna cokelat tua dengan aksara Arab yang sudah memudar. Bersama benda-benda itu, tergeletak sepucuk surat bersegel lilin merah.

Khairul membuka segel dan membaca tulisan tangan kakeknya yang rapi:

Bismillahirrahmanirrahim,

Cucuku Khairul,

Ketika kau membaca surat ini, ruhku mungkin sudah menghadap Allah SWT. Ada kisah yang harus kauketahui—kisah tentang leluhur kita yang mungkin tak pernah kaudengar dari ayahmu.

Nenek moyangmu, Abdullah bin Al-Mubarak Al-Marwazi bukanlah sekadar nama dalam silsilah keluarga kita. Dia adalah permata yang Allah pilih untuk menerangi zamannya. Buku harian ini miliknya, yang turun-temurun dijaga oleh keluarga kita.

Bacalah, dan pahamilah makna warisan sejati.

Kakekmu yang selalu mendoakanmu, Hassan bin Ahmad Al-Marwazi

Khairul mengernyitkan dahi. Abdullah bin Al-Mubarak? Nama itu tidak asing di telinganya. Sebagai lulusan sejarah Islam di Universitas Al-Azhar, ia tahu betul siapa tokoh besar itu. Namun tak pernah sekalipun ayahnya menyebut bahwa mereka adalah keturunannya.

Dengan hati berdebar, Khairul membuka buku harian tua itu. Tulisan Arab kuno memenuhi lembaran-lembarannya yang menguning. Terdapat pula sketsa-sketsa kasar perjalanan haji dan beberapa lokasi di Jazirah Arab. Ia membalik halaman demi halaman dengan hati-hati, sampai pandangannya tertumbuk pada sebuah catatan bertanggal 10 Dzulhijjah 180 H:

Alhamdulillah, kembali Allah izinkan hamba-Nya ini menyelesaikan ibadah haji. Tahun ini, kulihat lebih banyak wajah-wajah yang menderita dari Khurasan dan Transoxiana. Perang dan kelaparan telah membuat perjalanan mereka semakin berat.

Hari ini, kusediakan sepuluh unta dan dua puluh kuda untuk jamaah yang kelelahan. Kubangun sepuluh kemah dan kusediakan makanan untuk mereka yang kelaparan. Ya Allah, ini bukan apa-apa dibanding nikmat-Mu yang berlimpah.

Seorang pengemis tua dari Bukhara bertanya padaku: "Wahai tuan, mengapa engkau begitu baik pada kami, orang-orang asing yang tak pernah kau kenal?" Kujawab: "Karena kita adalah saudara dalam iman, dan kalian adalah tamu-tamu Allah. Bukankah memuliakan tamu Allah adalah kehormatan terbesar bagi seorang hamba?"

Khairul terus membaca, halaman demi halaman, sampai matanya terasa perih dan malam semakin larut. Kisah-kisah kedermawanan, kesederhanaan, dan kecintaan pada ilmu dari leluhurnya mengalir seperti sungai yang jernih, membasuh keraguan dan kesombongan yang selama ini bersemayam dalam hatinya.

Menjelang fajar, ia mencapai halaman terakhir. Tulisannya berbeda—lebih baru, kemungkinan ditambahkan oleh generasi setelah Abdullah bin Al-Mubarak:

Manakala Abdullah wafat, ia meninggalkan harta yang melimpah di berbagai negeri. Namun wasiatnya mengejutkan banyak orang: "Seluruh hartaku untuk para musafir di jalan Allah dan penuntut ilmu. Karena mereka adalah jembatan antara manusia dan pengetahuan tentang Sang Pencipta."

Di antara harta peninggalannya, terdapat sebuah peti berisi kitab-kitab dan satu kantung dinar. Di dasar peti itu tertulis: "Siapa pun keturunanku yang membaca kitab-kitab ini dan memahami maknanya, dialah pewaris sejatiku. Bukan yang mewarisi hartaku, tetapi yang mewarisi akhlakku."

Khairul tertegun. Air matanya menetes tanpa ia sadari. Selama ini, ia selalu membanggakan gelar sarjana dan pekerjaannya sebagai dosen sejarah Islam. Namun sejatinya, ia telah kehilangan esensi ilmu itu sendiri—berbagi dan memberi tanpa pamrih.

Ayahnya, Ahmad, telah meninggalkan tradisi keluarga. Ia memilih menjadi pengusaha sukses yang mengejar kekayaan duniawi. Khairul pun mengikuti jejak sang ayah—mengejar prestise, pangkat, dan nama besar. Keduanya memutus mata rantai spiritual yang telah dijaga selama berabad-abad oleh leluhur mereka.

Hanya kakeknya, Hassan, yang tetap mempertahankan warisan Abdullah bin Al-Mubarak—hidup sederhana dan mengabdikan diri untuk ilmu dan umat. Rumah tua ini sebenarnya adalah madrasah kecil dan tempat singgah para musafir yang melintasi Palembang.

Ketika sinar matahari pagi menembus jendela, Khairul berjalan ke balkon kamar. Dari sana, ia bisa melihat Sungai Musi yang berkilau keemasan. Perahu-perahu kecil para pedagang mulai hilir mudik. Tak jauh dari rumah, berdiri bangunan sederhana yang ia ketahui sebagai madrasah yang didirikan kakeknya.

"Tuan, sarapan sudah siap," suara Mak Leha mengejutkannya.

"Mak Leha, berapa murid yang belajar di madrasah Kakek?"

"Sekitar lima puluh anak yatim dan dhuafa, Tuan. Tuan Hassan mengajar mereka sendiri sampai sakitnya semakin parah."

"Dan... para musafir yang sering singgah di sini?"

"Masih banyak, Tuan. Terutama pada musim haji. Mereka yang transit di Palembang sebelum ke Jeddah sering menginap di pavilyun belakang."

Khairul terdiam. Ingatannya melayang pada kenangan masa kecil—bagaimana ia sering terbangun malam-malam karena suara orang-orang asing berbahasa Arab, Urdu, atau Melayu yang menginap di rumah kakeknya. Bagaimana meja makan selalu penuh dengan tamu-tamu dari berbagai penjuru Nusantara. Bagaimana kakeknya selalu mengajarkan bahwa rumah mereka adalah rumah Allah, terbuka bagi siapa pun yang membutuhkan.

"Mak Leha, apakah benar keluarga kami keturunan Abdullah bin Al-Mubarak?"

Mak Leha tersenyum lebar, menampakkan gigi-giginya yang menguning. "Tentu, Tuan. Itulah yang selalu dibanggakan Tuan Hassan. Beliau selalu berkata: 'Kemuliaan darah tak ada artinya tanpa kemuliaan perbuatan.'"

Setelah sarapan, Khairul mengunjungi madrasah kakeknya. Di sana, puluhan anak dengan seragam putih-putih sedang duduk bersila, membaca Al-Quran dengan suara lirih. Seorang guru muda memimpin mereka. Ketika melihat kedatangan Khairul, sang guru memberi isyarat pada murid-muridnya untuk berhenti.

"Assalamualaikum, Tuan Khairul," sapanya dengan hormat. "Saya Hamid, murid Tuan Hassan yang ditugaskan mengajar sementara selama beliau sakit."

"Waalaikumsalam," jawab Khairul. "Tolong lanjutkan saja pengajaran. Saya hanya ingin melihat-lihat."

Hamid mengangguk dan kembali membimbing anak-anak. Khairul berkeliling ruangan sederhana itu. Dindingnya dihiasi kaligrafi ayat-ayat Al-Quran dan hadits-hadits tentang keutamaan ilmu. Di salah satu sudut, terdapat lemari kaca berisi kitab-kitab tua.

Matanya tertumbuk pada sebuah plakat kayu berukir yang tergantung di dinding utama. Di sana tertulis dalam bahasa Arab:

"Barangsiapa memudahkan jalan menuju Baitullah, Allah akan memudahkan jalannya menuju surga." —Abdullah bin Al-Mubarak Al-Marwaziwazi*

Kata-kata itu menghantam kesadaran Khairul seperti gelombang pasang. Inilah warisan sejati yang telah ia abaikan selama bertahun-tahun.

Sore itu, ketika jenazah kakeknya dimakamkan, ratusan orang hadir untuk memberikan penghormatan terakhir. Para santri, musafir, tetangga, bahkan pejabat kota—semua berkumpul dengan air mata dan doa. Khairul berdiri di tepi makam, menatap peti yang diturunkan ke liang lahat dengan perasaan yang sulit dijelaskan.

"Beliau adalah jembatan bagi kami para penuntut ilmu," bisik Hamid yang berdiri di sampingnya. "Seperti leluhurnya, Abdullah bin Al-Mubarak, Tuan Hassan tidak pernah menolak siapa pun yang datang untuk belajar atau sekadar berteduh dari kehidupan yang keras."

Malam itu, Khairul kembali membuka kotak warisan kakeknya. Di dasar kotak, ia menemukan gulungan perkamen yang terselip di bawah lapisan beludru. Ketika dibuka, ternyata itu adalah silsilah keluarga mereka—garis keturunan yang tidak terputus dari Abdullah bin Al-Mubarak hingga dirinya.

Di bagian bawah silsilah itu, terdapat pesan yang ditulis oleh tangan yang berbeda-beda, seperti diwariskan dan ditambahkan oleh setiap generasi:

"Warisan sejati bukanlah harta atau darah, tetapi amal dan ilmu yang bermanfaat. Setiap dari kita adalah jembatan—bagi para musafir yang mencari tempat berteduh, bagi para pencari ilmu yang haus pengetahuan, dan bagi umat yang membutuhkan teladan."

Subuh itu, untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, Khairul melaksanakan shalat dengan khusyuk. Setelah berdoa, ia membuat keputusan yang akan mengubah hidupnya selamanya.

Seminggu kemudian, ketika ayahnya datang untuk membicarakan penjualan rumah dan madrasah kakeknya, Khairul menyambutnya dengan tenang di beranda.

"Ayah, saya sudah memutuskan untuk tidak kembali ke Jakarta," ujarnya mantap. "Saya akan menetap di sini dan melanjutkan perjuangan Kakek."

Ahmad terperangah. "Kau gila? Melepaskan karirmu sebagai dosen untuk mengurus madrasah kecil ini? Apa yang akan kau dapatkan?"

Khairul tersenyum. Tangannya menggenggam tasbih peninggalan kakeknya. "Justru apa yang telah kita dapatkan dari mengejar dunia, Ayah? Kekayaan? Jabatan? Tapi kehilangan warisan terbesar dari leluhur kita—menjadi jembatan bagi mereka yang membutuhkan."

"Omong kosong! Abdullah bin Al-Mubarak hanyalah cerita yang dibesar-besarkan Kakekmu!"

"Bukan sosoknya yang penting, Ayah, tapi nilai-nilai yang ia wariskan." Khairul menghela napas. "Dalam kitab peninggalannya, Abdullah bin Al-Mubarak pernah berkata: 'Jika engkau tidak mampu menjadi pelita yang menerangi jalan orang lain, setidaknya jadilah jembatan yang membantu mereka menyeberang.'"

Ahmad terdiam, matanya menerawang jauh. Untuk sesaat, Khairul melihat kilatan kenangan di mata ayahnya—mungkin ingatan tentang masa kecilnya di rumah ini, di bawah asuhan Hassan yang selalu menanamkan nilai-nilai leluhurnya.

"Menurutmu, apa yang akan didapat dari membantu para musafir dan santri miskin?" tanya Ahmad, suaranya melunak.

Khairul tersenyum. "Kakek percaya—dan sekarang aku juga percaya—bahwa setiap musafir yang kita bantu adalah doa yang berjalan. Setiap santri yang kita didik adalah amal jariyah yang mengalir. Bukankah itu investasi terbaik untuk akhirat kita?"

Sebulan kemudian, madrasah itu diperluas. Bukan hanya Khairul yang menetap di Palembang, tetapi Ahmad pun mulai rutin mengunjungi kota kelahirannya dan terlibat dalam pengembangan madrasah dan penginapan musafir yang kini diberi nama "Jembatan Para Musafir".

Saat musim haji tiba, rumah tua di tepi Sungai Musi itu kembali ramai oleh para jamaah dari berbagai penjuru Nusantara yang transit sebelum ke Tanah Suci. Di beranda rumah, Khairul sering duduk hingga larut malam, mendengarkan kisah-kisah mereka, persis seperti yang dilakukan kakeknya dan leluhurnya, Abdullah bin Al-Mubarak, berabad-abad lalu.

Di dinding madrasah yang baru, tergantung sebuah kaligrafi indah bertuliskan kata-kata Abdullah bin Al-Mubarak:

"Biarlah hartamu mendahuluimu ke surga melalui tangan-tangan para musafir dan penuntut ilmu, sebelum jasadmu dikebumikan dalam tanah yang dingin dan kesempatan berbuat baik telah tertutup selamanya."

Arda Dinata, lahir di Indramayu, 28 Oktober 1973, penyuka prosa dan pendiri Majelis Inspirasi MIQRA Indonesia. Buku prosa terbarunya: Epos Aurora (novel, Juni 2024), Retakan (Kupcer, Maret 2025), dan Pecahan Cinta (Kupcer, Maret 2025). Kini bermukim di Pangandaran.

***

Jangan ragu untuk memberikan komentar di bawah cerpen ini dan mengikuti kami di saluran WhatsApp "ProduktifMenulis.com (Group)" dengan klik link ini: WhatsApp ProduktifMenulis.com (Group) untuk mendapatkan info artikel terbaru dari website ini.

Arda Dinata adalah Penulis di Berbagai Media Online dan Penulis Buku, Aktivitas Kesehariannya Membaca dan Menulis, Tinggal di Pangandaran - Jawa Barat.

www.ArdaDinata.com:  | Share, Reference & Education |
| Sumber Berbagi Inspirasi, Ilmu, dan Motivasi Sukses |
Twitter: @ardadinata 
Instagram: @arda.dinata
Telegram: ardadinata


Toko Sosmed
Klik Di Sini Melihat Koleksi Ebook Karya Arda Dinata Lainnya

A Group Member of:
Toko SosmedToko SosmedToko SosmedWWW.ARDADINATA.COMWWW.ARDADINATA.COMInSanitarianMIQRA INDONESIA


BACA ARTIKEL LAINNYA:

Arda Dinata

Arda Dinata is a writer for various online media, lives in Pangandaran - West Java. www.ArdaDinata.com: | Share, Reference & Education | | Source for Sharing Inspiration, Knowledge and Motivation for Success | World of Business, Business, Boss, Rich, Money, Dollars and Success |

Lebih baru Lebih lama