Toko Sosmed
Klik Di Sini Melihat Koleksi Ebook Karya Arda Dinata Lainnya

A Group Member of:
Toko SosmedToko SosmedToko SosmedWWW.ARDADINATA.COMWWW.ARDADINATA.COMInSanitarianMIQRA INDONESIA


#Cerpen : Musim Kejujuran

"Terkadang keberanian terbesar bukanlah menghadapi musuh di medan perang, melainkan menghadapi kebenaran tentang diri sendiri di hadapan Sang Pencipta." — Malik bin Hashim (Sumber foto: Arda Dinata).

Oleh: Arda Dinata

BLOG INSPIRASI - "Kejujuran adalah pilihan paling berat ketika kebohongan terasa begitu mudah. Namun, hanya dengan kejujuranlah jiwa menemukan kedamaian sejatinya." — Malik bin Hashim

Senja itu terasa berbeda dari senja-senja sebelumnya. Langit Madinah berwarna jingga kemerahan, seperti darah yang mengalir pelan di ujung pedang yang baru selesai bertempur. Aku, Malik bin Hashim, duduk termenung di sudut rumah sederhana milikku, memandangi debu yang masih berterbangan dari arah utara kota—jejak kepulangan pasukan yang baru saja kembali dari Tabuk.

Suara langkah kaki berderap mendekat. Aku tahu suara itu. Abu Bakar, sahabat masa kecilku yang kini menjadi salah satu sahabat terdekat Rasulullah, berdiri di ambang pintu dengan wajah yang sulit kutebak.

"Malik," sapanya pelan, "Rasulullah memanggil seluruh umat untuk berkumpul di masjid. Ada yang ingin beliau sampaikan."

Jantungku berdetak tidak karuan. Selama berminggu-minggu sejak pasukan kembali dari Tabuk, aku hidup dalam ketakutan yang mencekik leher. Bukan karena aku takut mati—kematian adalah keniscayaan bagi setiap Muslim. Yang kutakutkan adalah tatapan mata mereka yang penuh tanya: mengapa aku tidak ikut dalam ekspedisi yang begitu penting itu?

Tiga minggu yang lalu, ketika Rasulullah mengumumkan rencana ekspedisi ke Tabuk untuk menghadapi ancaman Bizantium, seluruh Madinah bergejolak. Kaum Mukmin berbondong-bondong menyiapkan perbekalan, senjata, dan kuda. Yang kaya menyumbangkan harta, yang miskin menyumbangkan tenaga. Bahkan kaum wanita dan anak-anak ikut berkontribusi dengan cara mereka masing-masing.

Namun aku? Aku terdiam dalam keraguan yang tidak bisa kujelaskan kepada siapa pun.

Saat itu, aku bukan pemuda yang miskin harta. Warisan dari ayahku—seorang pedagang kurma yang sukses—cukup untuk membiayai perjalanan jauh ke Tabuk. Kuda-kudaku juga masih kuat dan sehat. Bahkan pedang pusaka keluarga masih tajam dan siap digunakan.

Lalu mengapa aku tidak berangkat?

Pertanyaan itu terus menghantuiku setiap malam. Dan malam ini, di hadapan seluruh umat, aku harus memberikan jawabannya kepada Rasulullah.

Kami berjalan menuju masjid dalam diam yang mencekam. Abu Bakar sesekali melirikku dengan pandangan yang sulit kutafsirkan—campuran antara keprihatinan dan kekecewaan.

Masjid Nabawi sudah penuh sesak. Para shahabat yang baru pulang dari Tabuk duduk di barisan depan dengan wajah-wajah yang terbakar matahari gurun. Mereka terlihat kurus dan lelah, namun mata mereka bersinar penuh kebanggaan. Di sisi lain, ada beberapa wajah yang kutahu juga tidak ikut dalam ekspedisi itu—namun mereka memiliki alasan yang jelas: sakit, terlalu tua, atau memang diminta Rasulullah untuk menjaga Madinah.

Rasulullah berdiri di mimbar sederhana yang terbuat dari kayu kurma. Wajahnya yang mulia memancarkan cahaya ketenangan, namun matanya yang jernih seakan bisa menembus hingga ke lubuk hati setiap orang yang hadir.

"Wahai umatku," suara beliau mengalir lembut namun tegas, "Allah telah memberikan kemenangan kepada kita di Tabuk tanpa pertumpahan darah. Musuh mundur sebelum bertempur, karena mereka tahu bahwa umat ini bersatu dalam keimanan."

Tepuk tangan dan takbir bergema di seluruh masjid. Namun aku tidak bisa ikut bertakbir. Tenggorokanku terasa tercekik oleh rasa bersalah yang semakin mengental.

"Namun," lanjut Rasulullah, dan suasana mendadak hening, "ada beberapa saudara kita yang tidak ikut dalam ekspedisi ini. Sebagian memiliki alasan yang Allah ridhai, namun sebagian lain..." Beliau terdiam sejenak, matanya menyapu seluruh hadirin. "Sebagian lain perlu menjelaskan alasan mereka."

Darah di seluruh tubuhku seakan berhenti mengalir. Ini dia saatnya.

"Ka'ab bin Malik," panggil Rasulullah.

Seorang pria paruh baya berdiri dengan gemetar. Aku mengenalnya—dia adalah penyair handal yang sering melantunkan syair-syair pujian untuk Rasulullah. Wajahnya pucat, tangannya bergetar, namun langkahnya mantap menuju ke hadapan Rasulullah.

"Ya Rasulullah," suaranya bergetar, "aku tidak memiliki alasan yang bisa kubanggakan. Aku sehat, mampu secara finansial, dan memiliki kendaraan. Namun aku... aku terlena dengan kenyamanan dunia. Aku terus menunda-nunda keberangkatan hingga rombongan sudah terlalu jauh untuk kukejar."

Seluruh isi masjid terdiam. Kejujuran Ka'ab yang telanjang itu seakan menampar pipi setiap orang yang hadir.

Rasulullah menatapnya lama, kemudian tersenyum tipis. "Syukurmu kepada Allah, Ka'ab, karena kau telah memilih kejujuran daripada kebohongan. Allah mencintai hamba-Nya yang jujur."

Kemudian mata Rasulullah beralih padaku. "Malik bin Hashim."

Kaki-kakiku terasa lemas saat berdiri. Setiap langkah menuju ke hadapan Rasulullah terasa seperti melangkah di atas bara api. Ratusan pasang mata menatapku—ada yang penuh harap, ada yang kecewa, ada pula yang penasaran.

"Ya Rasulullah," suaraku serak, hampir tidak terdengar.

"Mengapa kau tidak ikut ke Tabuk?"

Pertanyaan yang sudah kutakutkan selama berminggu-minggu akhirnya terlontar. Di hadapanku, wajah suci Rasulullah menunggu jawaban dengan sabar.

Sejuta alasan bisa kulontarkan. Aku bisa berkata bahwa aku sakit, atau ada urusan keluarga yang mendesak, atau kuda-kudaku sedang tidak sehat. Rasulullah tidak akan menyalahkanku jika aku memilih jalan yang lebih mudah itu.

Namun tatapan mata Ka'ab yang baru saja memilih kejujuran memberiku kekuatan aneh. Dan lebih dari itu, tatapan Rasulullah yang penuh kasih sayang membuatku sadar bahwa kebohongan hanya akan mengotori jiwaku sendiri.

"Ya Rasulullah," aku menarik napas dalam-dalam, "aku tidak memiliki alasan yang bisa membanggakan. Aku mampu berangkat, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki semua yang dibutuhkan untuk perjalanan itu."

Suaraku semakin mantap melanjutkan, "Namun aku terbelenggu oleh keraguan yang tidak bisa kujelaskan. Bukan keraguan terhadap agama atau kepada Rasulullah, tetapi keraguan terhadap diriku sendiri. Aku takut aku tidak akan mampu menjadi prajurit yang baik. Aku takut aku akan menjadi beban bagi yang lain. Aku takut... aku takut akan kematian yang tidak mulia."

Air mata mulai mengalir di pipiku. "Aku memilih tinggal dalam keamanan palsu, daripada menghadapi ujian sejati di medan jihad. Dan aku tahu, ini adalah bentuk pengecutanku."

Keheningan mencekam menyelimuti masjid. Tidak ada suara apa pun selain detak jantungku yang bergemuruh.

Rasulullah bangkit dari tempat duduknya, berjalan mendekatiku. Tangannya yang lembut menyentuh pundakku.

"Malik," suaranya begitu lembut, "syukurmu kepada Allah karena kau telah memilih jalan yang paling sulit—mengakui kelemahan diri di hadapan Allah dan manusia. Ini adalah langkah pertama menuju taubat yang sejati."

Kemudian beliau berbalik menghadap seluruh jamaah. "Wahai umatku, inilah contoh kejujuran yang Allah cintai. Ka'ab dan Malik telah memilih mengakui kesalahan mereka daripada bersembunyi di balik alasan-alasan palsu. Allah akan memberikan ampunan kepada mereka yang jujur kepada-Nya."

Tidak lama setelah peristiwa itu, turunlah ayat Al-Quran yang mengisahkan tentang taubat Ka'ab bin Malik dan dua temannya. Namun yang mengejutkanku, namaku juga disebutkan dalam berbagai riwayat sebagai salah satu dari mereka yang mendapat ampunan Allah karena kejujuran.

Bertahun-tahun kemudian, ketika aku sudah menjadi kakek yang uban, anak-anak cucu sering bertanya tentang kisah itu. Mereka heran mengapa aku tidak mencari alasan yang lebih "terhormat" untuk menjelaskan ketidakikutsertaanku dalam perang Tabuk.

"Kakek," tanya cucuku yang bungsu suatu hari, "bukankah lebih mudah kalau kakek berkata saja sedang sakit saat itu?"

Aku tersenyum, mengelus rambutnya yang masih hitam kelam. "Anakku, Allah telah menciptakan kejujuran dan kebohongan dengan tingkat kesulitan yang berbeda. Kebohongan mudah di awal, namun akan menjadi beban berat di akhir. Kejujuran berat di awal, namun akan menjadi ketenangan abadi di akhir."

"Ketika kakek memilih jujur di hadapan Rasulullah saat itu, kakek memilih jalan yang berat namun penuh berkah. Dan sampai hari ini, kakek masih merasakan ketenangan itu—ketenangan seorang hamba yang tidak pernah berbohong kepada Tuhannya."

Senja itu, seperti senja-senja sebelumnya di Madinah, langit kembali berwarna jingga kemerahan. Namun kali ini, warna itu tidak lagi mengingatkanku pada darah di ujung pedang. Warna itu mengingatkanku pada cahaya taubat—hangat, menenangkan, dan penuh harapan.

Kejujuran memang pilihan yang berat. Namun hanya dengan kejujuranlah, jiwa menemukan kedamaian yang sejati. Dan kedamaian itu, tidak akan pernah bisa dibeli dengan kebohongan mana pun di dunia ini.

"Terkadang keberanian terbesar bukanlah menghadapi musuh di medan perang, melainkan menghadapi kebenaran tentang diri sendiri di hadapan Sang Pencipta." — Malik bin Hashim

Arda Dinata, lahir di Indramayu, 28 Oktober 1973, penyuka prosa dan pendiri Majelis Inspirasi MIQRA Indonesia. Buku prosa terbarunya: Epos Aurora (novel, Juni 2024), Retakan (Kupcer, Maret 2025), dan Pecahan Cinta (Kupcer, Maret 2025). Kini bermukim di Pangandaran.

***

Jangan ragu untuk memberikan komentar di bawah ini dan mengikuti kami di saluran WhatsApp "ProduktifMenulis.com (Group)" dengan klik link ini: WhatsApp ProduktifMenulis.com (Group) untuk mendapatkan info artikel terbaru dari website ini.

Arda Dinata adalah Penulis di Berbagai Media Online dan Penulis Buku, Aktivitas Kesehariannya Membaca dan Menulis, Tinggal di Pangandaran - Jawa Barat.

www.ArdaDinata.com:  | Share, Reference & Education |
| Sumber Berbagi Inspirasi, Ilmu, dan Motivasi Sukses |
Twitter: @ardadinata 
Instagram: @arda.dinata
Telegram: ardadinata


Toko Sosmed
Klik Di Sini Melihat Koleksi Ebook Karya Arda Dinata Lainnya

A Group Member of:
Toko SosmedToko SosmedToko SosmedWWW.ARDADINATA.COMWWW.ARDADINATA.COMInSanitarianMIQRA INDONESIA


BACA ARTIKEL LAINNYA:

Arda Dinata

Arda Dinata is a writer for various online media, lives in Pangandaran - West Java. www.ArdaDinata.com: | Share, Reference & Education | | Source for Sharing Inspiration, Knowledge and Motivation for Success | World of Business, Business, Boss, Rich, Money, Dollars and Success |

Lebih baru Lebih lama