"Sekali melangkah di jalan kebaikan, langkahmu sendiri akan membimbingmu untuk terus melanjutkan. Bukan karena kau yang menentukan arah, tapi karena kebaikan itu sendiri yang menarikmu seperti magnet raksasa." (Sumber foto: Arda Dinata).
Cerpen: Arda Dinata
BLOG INSPIRASI - "Harta sesungguhnya bukanlah apa yang kau simpan, melainkan apa yang kau berikan dengan ketulusan. Semakin banyak kau memberi, semakin luas singgasana jiwamu." — Ibnul Mubarak
Berkali-kali kupandangi peti tua berbahan kayu jati yang diselimuti ukiran khas Cirebon itu. Di atas tutupnya, tertera nama kakekku dengan kaligrafi Arab yang indah: Maulana Ibrahim. Peti itu kini menjadi warisanku—satu-satunya peninggalan berharga dari lelaki yang tak pernah kutemui, namun namanya selalu disebut dengan penuh hormat di setiap doa keluarga kami.
Sejak kecil, aku tumbuh dengan dongeng-dongeng tentang kakekku. Ia adalah pengurus masjid kampung sekaligus tabib yang terkenal karena kebaikan hatinya. Namun ada satu kisah yang selalu membuat mata ayahku berbinar saat menceritakannya—kisah kakekku yang membawa seluruh penduduk kampung menunaikan ibadah haji saat zaman kolonial Belanda, era di mana perjalanan haji adalah kemewahan yang nyaris mustahil bagi orang-orang kampung.
Tepat tujuh hari setelah pemakaman ayahku, aku memberanikan diri membuka peti itu. Gembok kuningnya yang usang mengeluarkan derit pelan saat kubuka. Aroma kayu cendana langsung menyergap indra penciumanku, berbaur dengan wangi kemenyan dan kertas-kertas usang. Di dalamnya, kutemukan buku catatan harian kakekku yang sudah menguning, beberapa lembar foto hitam-putih, tasbih dari batu akik, dan sebuah amplop tebal tertutup rapat.
Aku mendapati diriku tenggelam dalam catatan harian itu selama berjam-jam. Dari tulisan tangannya yang rapi, aku bisa merasakan bahwa kakekku adalah pribadi yang sangat teratur dan reflektif. Setiap halaman adalah perpaduan antara catatan sehari-hari, refleksi spiritual, dan renungan-renungan filosofis yang mendalam.
Namun, ada satu bagian yang menarik perhatianku—catatan perjalanan hajinya pada tahun 1928. Berbeda dengan cerita yang selama ini kudengar, ternyata kakekku bukanlah orang kaya yang mampu membiayai perjalanan haji seluruh penduduk kampung. Ia adalah seorang pemuda yatim piatu yang bekerja sebagai juru tulis di kantor administrasi kolonial Belanda.
Dalam catatannya tertanggal 12 Ramadhan 1346 H, kakekku menulis:
"Mimpi itu kembali datang untuk ketiga kalinya. Dalam mimpi itu, seorang lelaki tua berjubah putih datang padaku dan berkata, 'Ibrahim, tahun ini kau harus membawa delapan belas orang ke Baitullah. Kumpulkan mereka yang rindu, namun tak mampu. Bawalah mereka yang telah lama menabung harapan, namun tersandung kenyataan. Allah akan mencukupkan segala kebutuhanmu.' Aku terbangun dengan keringat dingin. Bagaimana mungkin aku—yang bahkan belum mampu membiayai hajiku sendiri—bisa membawa delapan belas orang ke tanah suci?"
Tulisan berikutnya mengisahkan bagaimana kakekku mulai mengumpulkan nama-nama orang kampung yang paling mendambakan perjalanan haji namun tak mampu secara finansial. Ia mendatangi mereka satu per satu, menawarkan untuk membawa mereka ke tanah suci. Tentu saja, mereka tidak percaya pada awalnya. Namun kesungguhan kakekku akhirnya meluluhkan keraguan mereka.
Kakekku kemudian menuliskan cara yang ia gunakan—menyerupai kisah Ibnul Mubarak:
"Aku meminta mereka mengumpulkan uang sesuai kemampuan, tidak harus cukup untuk biaya haji. Beberapa hanya mampu menyerahkan satu ringgit, yang lain dua atau lima. Aku menyimpan semua uang itu dalam peti jati, memberi nama pada setiap kantong sesuai pemiliknya. Aku bersumpah pada diriku sendiri: tak satu pun dari uang ini akan kugunakan. Ini adalah simbol komitmen mereka, bukti kesungguhan hati."
Yang paling mengejutkanku adalah bagaimana kakekku menyelesaikan masalah finansial ini. Ia menjual tanah warisan satu-satunya dari orangtuanya kepada seorang Tionghoa kaya bernama Tan Khe Liang. Namun bukan hanya itu, di halaman berikutnya, ia menuliskan detail yang tidak pernah diceritakan oleh ayahku:
"Tuan Tan tidak sekadar membeli tanahku. Setelah mendengar niatku membawa delapan belas orang ke tanah suci, beliau tersentuh. Dengan mata berkaca-kaca, ia bercerita bahwa dirinya adalah seorang Muslim yang menyembunyikan identitasnya karena keadaan politik saat itu. Nama aslinya adalah Taufik—pemberian ibunya yang seorang pribumi Muslim. Ia memberiku harga dua kali lipat untuk tanah itu, dengan syarat namanya juga harus kusertakan dalam doa di tanah suci."
Aku tercenung membaca kisah ini. Di halaman-halaman berikutnya, kakekku menceritakan berbagai kesulitan yang ia hadapi: mulai dari mengurus surat izin dari pemerintah kolonial, mencari kapal yang aman, hingga mempersiapkan logistik perjalanan yang akan memakan waktu berbulan-bulan.
Namun yang lebih mengejutkan, di antara lembaran-lembaran itu terselip beberapa lembar surat yang merupakan korespondensi kakekku dengan seorang pejabat Belanda bernama Willem van Hoogstraten. Dari surat-surat itu, aku mengetahui bahwa kakekku ternyata penerjemah rahasia untuk dokumen-dokumen penting pemerintah kolonial. Keahliannya dalam bahasa Arab, Melayu, dan Belanda membuatnya sangat berharga.
Di salah satu surat balasan, Willem menulis:
"Ibrahim yang baik, izin untuk perjalanan haji kamu dan delapan belas penduduk pribumi lainnya telah kuurus secara pribadi. Ini adalah hadiah perpisahan dariku, sebagai balasan atas kesetiaanmu selama lima tahun terakhir. Namun ingatlah, ini bukanlah tiket gratis untuk menyebarkan ide-ide pan-Islamisme yang akhir-akhir ini semakin meresahkan pemerintah. Pengawas kami akan terus memantau."
Aku tersentak. Apakah ini berarti kakekku adalah seorang mata-mata kolonial? Atau justru sebaliknya—ia menggunakan posisinya untuk membantu pergerakan kemerdekaan secara diam-diam?
Jawaban itu kutemukan di bagian akhir catatan hariannya. Kakekku mengisahkan bahwa selama di tanah suci, ia dan delapan belas jamaah dari kampungnya tidak hanya menunaikan rukun Islam kelima itu. Mereka juga bertemu dengan perwakilan dari berbagai negeri Muslim, termasuk aktivis kemerdekaan dari Mesir, India, dan Turki. Di antara jamaah yang ia ajak terdapat tiga orang pemuda yang kemudian menjadi tokoh pergerakan kemerdekaan di daerah kami.
"Di depan Ka'bah, kami delapan belas orang bersumpah: akan memperjuangkan kemerdekaan tanah air dengan cara masing-masing. Kebebebasan dari penjajahan bukan hanya soal politik, tapi juga spiritual. Dan kami baru saja mengalami secuil kebebasan itu di tanah suci ini."
Ketika semua pulang ke kampung halaman, seperti dalam kisah Ibnul Mubarak, kakekku mengundang mereka dalam sebuah jamuan. Ia mengembalikan uang yang mereka kumpulkan tanpa kurang sedikit pun. Namun ia meminta mereka berjanji satu hal—jika suatu saat mampu secara finansial, mereka harus mengulang kebaikan ini.
Kejutan sesungguhnya kutemukan dalam amplop tebal yang ada di dasar peti. Di dalamnya terdapat delapan belas surat bertanggal berbeda-beda, mulai dari tahun 1930 hingga 1970. Surat-surat itu berasal dari para jamaah yang dibawa kakekku atau keturunan mereka, yang menceritakan bagaimana mereka telah membawa orang lain untuk berhaji—melanjutkan tradisi yang dimulai kakekku.
Satu surat yang paling mengharukan berasal dari seseorang bernama Hasan Mahmud, yang ternyata adalah Tan Khe Liang atau Taufik. Ia menulis bahwa setelah kemerdekaan Indonesia, ia kembali ke identitas aslinya dan akhirnya bisa menunaikan ibadah haji pada tahun 1956. Ia membawa tujuh orang bersamanya, termasuk dua orang keluarga Tionghoa yang baru masuk Islam.
Tepat saat aku selesai membaca surat terakhir, terdengar ketukan di pintu rumahku. Seorang pria tua berdiri di sana, membawa kotak kayu kecil.
"Assalamualaikum. Saya Kariman, anak dari Mbah Joyo—salah satu dari delapan belas jamaah yang dibawa kakekmu dulu," ujarnya dengan suara bergetar. "Ayah saya berpesan untuk menyerahkan ini kepada keturunan Mbah Ibrahim saat tepat tujuh hari setelah kematian ayahmu."
Kotak kayu itu berisi selembar kertas usang bertuliskan nama-nama orang kampung, beberapa di antaranya kukenal sebagai tetangga-tetangga tuaku. Di bagian atas kertas itu, terdapat tulisan tangan kakekku:
"Daftar nama untuk perjalanan haji berikutnya."
Jantungku berdegup kencang. Tujuh hari yang lalu, sebelum meninggal, ayahku berpesan padaku untuk menjual rumah warisan yang selama ini kami tinggali. Saat itu aku tak mengerti, tapi kini semuanya jelas.
Malam itu, aku bermimpi. Kakekku yang tak pernah kutemui datang dengan wajah berseri, mengenakan pakaian ihram putih bersih.
"Sekarang giliranmu, Nak," ujarnya lembut. "Lanjutkan rantai kebaikan ini. Bukan hanya untuk pahala, tapi untuk menjaga api semangat persaudaraan yang telah kita nyalakan hampir seabad yang lalu."
Keesokan harinya, aku mulai membuat daftar baru—sembilan belas nama, termasuk namaku sendiri. Aku tidak tahu dari mana biayanya akan datang, tapi aku percaya, seperti kakekku dulu, bahwa ketika niat sudah dimurnikan, jalan akan dibukakan.
Peti tua itu kini kusimpan di sudut ruang tamuku. Setiap kali ada tamu yang bertanya tentangnya, aku menceritakan kisah kakekku—bukan versi legenda yang selama ini kudengar, melainkan versi nyata yang jauh lebih menakjubkan, tentang seorang pemuda kampung yatim piatu yang mengubah delapan belas nyawa, dan pada gilirannya, mengubah sejarah sebuah kampung kecil di tengah perjuangan kemerdekaan.
Dan setiap kali aku merasa ragu akan langkahku selanjutnya, aku membuka peti itu, menghirup aroma cendana dan kemenyan yang masih tersisa, dan membaca kembali tulisan tangan kakekku:
"Sekali melangkah di jalan kebaikan, langkahmu sendiri akan membimbingmu untuk terus melanjutkan. Bukan karena kau yang menentukan arah, tapi karena kebaikan itu sendiri yang menarikmu seperti magnet raksasa."
Arda Dinata, lahir di Indramayu, 28 Oktober 1973, penyuka prosa dan pendiri Majelis Inspirasi MIQRA Indonesia. Buku prosa terbarunya: Epos Aurora (novel, Juni 2024), Retakan (Kupcer, Maret 2025), dan Pecahan Cinta (Kupcer, Maret 2025). Kini bermukim di Pangandaran.
***
Jangan ragu untuk memberikan komentar di bawah ini dan mengikuti kami di saluran WhatsApp "ProduktifMenulis.com (Group)" dengan klik link ini: WhatsApp ProduktifMenulis.com (Group) untuk mendapatkan info artikel terbaru dari website ini.
Arda Dinata adalah Penulis di Berbagai Media Online dan Penulis Buku, Aktivitas Kesehariannya Membaca dan Menulis, Tinggal di Pangandaran - Jawa Barat.