"Tangisan yang tulus karena mengingat sesama adalah bahasa jiwa yang paling dimengerti oleh Tuhan." (Sumber foto: Arda Dinata).
BLOG INSPIRASI - "Suatu malam Rasulullah menangis saat membaca Al-Qur'an. Umar datang dan bertanya, 'Mengapa engkau menangis, wahai Rasul?' Nabi menjawab, 'Aku teringat umatku.'" (HR. Ahmad)
Cerpen: Arda Dinata
"Setiap air mata yang jatuh mengandung nama-nama yang telah lupa pada-Nya."
Aku masih mengingat malam itu, ketika bulan purnama bersembunyi di balik awan tebal dan angin berdesir memanggil nama-nama yang telah lama terlupakan. Kakekku, Mbah Karsa, duduk terdiam di beranda rumah kayu yang sudah berusia hampir seabad. Tangannya yang berkerut memegang tasbih usang, bibirnya bergerak lirih membaca dzikir yang hanya dia dan Tuhan yang tahu.
"Kakung," panggilku pelan, takut mengganggu kekhusyukan yang terukir di wajah tuanya yang penuh kerutan. "Mengapa Kakung menangis?"
Kakek menoleh, mata sayu yang biasanya tajam kini berkabut. Air mata menggenang di pelupuk matanya yang sudah lelah menyaksikan perjalanan zaman. "Nak," bisiknya, suara parau tapi dalam, "Kakung sedang mengingat butiran air mata yang pernah jatuh di tanah ini."
Aku mendekat, duduk di samping Kakek di kursi kayu yang sudah lapuk. Malam itu terasa berbeda. Udara Desa Karangsari yang biasanya dingin kini terasa hangat, seolah ada kehangatan yang memancar dari dalam dada Kakek yang rapuh.
"Butiran air mata siapa, Kakung?"
Kakek menatap langit malam yang gelap. "Butiran air mata seorang lelaki yang pernah hidup di kampung ini, puluhan tahun silam. Namanya Ahmad Soleh, seorang santri yang menjadi guru ngaji di surau kecil yang kini sudah roboh itu." Kakek menunjuk ke arah timur, tempat di mana kini hanya tersisa reruntuhan batu bata yang ditumbuhi ilalang.
"Ahmad Soleh?" Aku mencoba mengingat-ingat, tapi nama itu terasa asing di telinga.
"Dia adalah murid Mbah Kyai Kasan, ulama besar yang mendirikan pesantren di sini pada tahun 1920-an. Ahmad Soleh punya keistimewaan, Nak. Setiap malam, setelah shalat Isya, dia selalu menangis ketika membaca Al-Qur'an. Air matanya jatuh membasahi mushaf yang sudah usang, dan setiap butiran air mata itu mengandung doa untuk umat manusia yang semakin jauh dari cahaya Ilahi."
Angin malam bertiup pelan, membawa aroma melati dan tanah basah. Kakek melanjutkan ceritanya dengan nada yang semakin khusyuk.
"Pada suatu malam di bulan Ramadhan 1942, ketika penjajah Jepang sedang mencari pemuda-pemuda untuk dijadikan romusha, Ahmad Soleh sedang bermunajat di surau. Dia membaca surat Al-Baqarah, dan ketika sampai pada ayat tentang ujian Allah kepada manusia, dia menangis tersedu-sedu. Air matanya jatuh di atas mushaf, dan tiba-tiba cahaya lembut memancar dari huruf-huruf Arab yang basah itu."
Aku terdiam, merasakan bulu kuduk yang berdiri. Cerita Kakek terasa begitu nyata, seolah kejadian itu baru saja terjadi kemarin malam.
"Saat itulah dia mendengar suara bisikan lembut, seperti angin yang berbisik di antara dedaunan. 'Ahmad, mengapa engkau menangis?' tanya suara itu. Ahmad Soleh menjawab dengan suara yang bergetar, 'Ya Allah, aku menangis karena melihat umat manusia yang semakin jauh dari-Mu. Mereka terlalu sibuk dengan dunia, hingga lupa bahwa setiap nafas yang mereka hirup adalah anugerah-Mu.'"
Kakek terdiam sejenak, mengusap air mata yang mulai mengalir di pipinya yang keriput.
"Kemudian, Ahmad Soleh merasakan ketenangan yang luar biasa. Dia memahami bahwa tangisannya bukan sekadar ungkapan kesedihan, tetapi manifestasi dari cinta yang mendalam kepada sesama manusia. Seperti air mata yang pernah jatuh dari mata Rasulullah ketika beliau teringat umatnya."
"Lalu apa yang terjadi dengan Ahmad Soleh, Kakung?"
Kakek tersenyum tipis, senyum yang mengandung makna yang begitu dalam. "Pagi harinya, tentara Jepang datang ke kampung ini. Mereka mencari pemuda untuk dijadikan pekerja paksa. Ahmad Soleh yang masih muda dan kuat tentu menjadi sasaran mereka. Tapi yang aneh, ketika mereka masuk ke surau, mereka tidak bisa melihat Ahmad Soleh yang sedang shalat Subuh. Seolah-olah dia tidak ada di sana."
"Tidak ada?"
"Ya, Nak. Ahmad Soleh berdiri tepat di tempat air matanya jatuh semalam, tapi mata tentara itu tidak bisa melihatnya. Mereka keluar dari surau dengan bingung, dan Ahmad Soleh selamat. Sejak saat itu, dia percaya bahwa air mata yang tulus karena cinta kepada sesama manusia memiliki kekuatan yang luar biasa."
Aku merenungkan cerita Kakek. "Tapi Kakung, bagaimana Kakung tahu cerita ini?"
Kakek menoleh ke arahku, mata tuanya berkilau di bawah cahaya bulan yang mulai muncul dari balik awan. "Karena Kakung adalah Ahmad Soleh, Nak."
Dunia seolah terhenti. Aku menatap Kakek dengan tidak percaya. "Kakung... maksudnya?"
"Iya, Nak. Kakung adalah Ahmad Soleh. Nama Karsa adalah nama yang Kakung pakai setelah Indonesia merdeka. Ahmad Soleh adalah nama masa mudaku, nama yang kusimpan di dalam hati bersama kenangan tentang malam-malam yang kuhabiskan untuk menangisi umat manusia."
Air mata mengalir di pipiku. Selama ini, aku hanya mengenal Kakek sebagai petani tua yang rajin shalat dan mengaji. Aku tidak pernah tahu bahwa di balik kesederhanaannya, tersimpan kisah spiritual yang begitu mendalam.
"Setiap malam, sampai detik ini, Kakung masih menangis ketika membaca Al-Qur'an. Bukan karena sedih, tapi karena cinta. Cinta kepada manusia yang semakin tersesat, yang semakin lupa bahwa hidup ini hanya sementara, dan yang paling penting adalah bagaimana kita menjaga hati agar tetap dekat dengan Sang Pencipta."
Kakek meraih tanganku, genggamannya hangat meski tubuhnya sudah rapuh. "Nak, jika suatu hari nanti kamu melihat seseorang yang menangis karena mengingat kondisi umat manusia, janganlah kamu heran. Karena air mata seperti itu adalah bukti bahwa masih ada cinta yang tersisa di dunia ini."
Malam itu, aku mengerti makna dari butiran air mata yang pernah jatuh dari mata Rasulullah. Air mata yang lahir bukan dari kesedihan, tetapi dari cinta yang begitu mendalam kepada sesama manusia. Air mata yang mengandung doa, harapan, dan kerinduan agar setiap jiwa bisa kembali kepada fitrahnya.
Kini, bertahun-tahun setelah Kakek pergi, aku sering duduk di beranda rumah yang sama, membaca Al-Qur'an dengan mushaf usang yang dulu milik Kakek. Dan ketika aku sampai pada ayat-ayat tentang kasih sayang Allah, air mata mengalir di pipiku, mengikuti jejak butiran air mata yang pernah jatuh di tanah ini puluhan tahun silam.
Setiap butiran air mata itu mengandung nama-nama yang telah lupa pada-Nya, dan aku berdoa agar mereka semua bisa kembali menemukan jalan yang benar. Seperti doa yang pernah terkandung dalam tangisan Rasulullah di malam yang sunyi itu, ketika beliau teringat umatnya yang tercinta.
"Tangisan yang tulus karena mengingat sesama adalah bahasa jiwa yang paling dimengerti oleh Tuhan."
Arda Dinata, lahir di Indramayu, 28 Oktober 1973, penyuka prosa dan pendiri Majelis Inspirasi MIQRA Indonesia. Buku prosa terbarunya: Epos Aurora (novel, Juni 2024), Retakan (Kupcer, Maret 2025), dan Pecahan Cinta (Kupcer, Maret 2025). Kini bermukim di Pangandaran.
***
Jangan ragu untuk memberikan komentar di bawah ini dan mengikuti kami di saluran WhatsApp "ProduktifMenulis.com (Group)" dengan klik link ini: WhatsApp ProduktifMenulis.com (Group) untuk mendapatkan info terbaru dari website ini.
Arda Dinata adalah Penulis di Berbagai Media Online dan Penulis Buku, Aktivitas Kesehariannya Membaca dan Menulis, Tinggal di Pangandaran - Jawa Barat.