"Gua terdalam dalam hidup kita bukanlah tempat kita bersembunyi dari masalah, melainkan tempat kita menemukan kekuatan untuk menghadapinya dengan kepala tegak dan hati yang damai." (Sumber foto: Arda Dinata).
Cerpen: Arda Dinata
BLOG INSPIRASI - "Ketenangan sejati bukan ketika badai berhenti, melainkan ketika hati tetap teduh di tengah gemuruh yang menggelegar."
Aku adalah bayangan yang tak pernah luntur dari dinding gua ini. Sudah empat belas abad lamanya aku menyaksikan para peziarah datang dan pergi, membawa doa-doa mereka yang terserak seperti butiran pasir di padang Hijaz. Mereka menyebut tempat ini Gua Tsur—gua keheningan yang menyimpan jejak keagungan sejarah.
Tapi bagiku, gua ini bukan sekadar batu karang yang berlubang. Ia adalah saksi bisu dari malam paling mencekam dalam perjalanan manusia menuju cahaya. Malam ketika ketakutan dan kepercayaan beradu dalam hati seorang bernama Abu Bakar.
Kini, di hadapanku berdiri seorang pemuda bernama Hakim. Wajahnya pucat, matanya berkaca-kaca. Ia datang dari Indonesia, katanya, setelah menempuh perjalanan jauh untuk mencari jawaban atas kegelisahan yang menggerogoti batinnya. Seperti ribuan pengunjung sebelumnya, ia duduk bersimpuh di sudut gua yang sama—tempat di mana Abu Bakar pernah merasakan debaran jantung yang hampir merobek dada.
"Bagaimana mungkin seseorang bisa begitu tenang di saat yang paling genting?" bisik Hakim, suaranya bergetar. "Aku bahkan takut menghadapi hasil ujian masuk universitas, sementara mereka menghadapi ancaman maut dengan hati yang damai."
Angin gurun berdesir masuk, membawa aroma keringat dan pasir yang telah kukenal sejak dulu. Aku ingat malam itu—malam ketika langit Makkah terasa begitu rendah, seolah hendak menimpa bumi. Abu Bakar dan Muhammad masuk ke gua ini dengan napas terengah-engah, jejak kaki mereka masih basah oleh embun fajar yang dingin.
"Ya Rasulullah," kata Abu Bakar saat itu, suaranya bergetar seperti daun di angin topan. "Kalau salah seorang dari mereka menunduk, pasti mereka akan melihat kita."
Aku menyaksikan bagaimana keringat membasahi pelipis Abu Bakar, bagaimana tangannya bergetar saat ia mengintip celah-celah batu. Pasukan Quraisy begitu dekat. Suara langkah kaki mereka bergema seperti guntur di kejauhan. Pedang-pedang berkilat di bawah sinar bulan, dan mata-mata mereka menyala dengan kebencian.
Namun Muhammad, oh Muhammad yang agung itu, duduk dengan tenang seolah ia berada di taman surga. Bahkan saat abu Bakar menggigil ketakutan, ia tersenyum—senyum yang memancarkan cahaya di kegelapan gua.
"Jangan bersedih, Abu Bakar," kata Muhammad dengan suara yang lembut seperti hembusan angin di mata air Zamzam. "Allah bersama kita."
Hakim tiba-tiba bangkit dan menempelkan telapak tangannya ke dinding gua. "Aku bisa merasakannya," bisiknya. "Ada sesuatu di sini... sebuah kehadiran."
Ya, anak muda, yang kaurasakan itu adalah gema dari kepercayaan yang sempurna. Kepercayaan yang mampu mengubah gua gelap menjadi istana cahaya, mengubah ketakutan menjadi ketenangan, mengubah keputusasaan menjadi harapan yang membumbung tinggi.
Aku ingat bagaimana mata Abu Bakar perlahan-lahan berubah. Dari yang semula dipenuhi kecemasan, kini memancarkan kedamaian. Bukan karena ancaman telah berlalu—pasukan Quraisy masih berkeliaran di luar—tapi karena ia memahami makna sejati dari kebersamaan dengan Sang Pencipta.
"Tapi bagaimana caranya?" tanya Hakim pada keheningan gua. "Bagaimana caranya menjadi sekuat itu?"
Seandainya aku bisa berbicara, akan kukatakan bahwa kekuatan sejati bukan lahir dari ketiadaan masalah, melainkan dari kepercayaan bahwa setiap masalah memiliki hikmah. Abu Bakar tidak berhenti takut karena bahaya lenyap, tapi karena ia memahami bahwa ketakutan hanyalah bayang-bayang yang menghalangi cahaya kebenaran.
Malam semakin larut. Hakim mulai tertidur dengan kepala bersandar di dinding yang sama tempat Abu Bakar pernah beristirahat. Dalam tidurnya, wajahnya terlihat damai, seolah ia telah menemukan jawaban yang dicarinya.
Aku terus mengamati, seperti yang telah kulakukan selama berabad-abad. Para peziarah datang dengan beban yang berat—ada yang kehilangan orang terkasih, ada yang bangkrut, ada yang sakit parah, ada yang tersesat dalam labirin kehidupan. Tapi mereka semua pergi dengan hati yang lebih ringan, seolah telah menemukan kunci untuk membuka pintu ketenangan.
Fajar mulai menyingsing. Cahaya keemasan masuk melalui mulut gua, menerangi wajah Hakim yang kini terbangun. Matanya tidak lagi berkaca-kaca. Ada kilau baru di sana—kilau yang kukenal dengan baik. Kilau yang sama yang pernah kulihat di mata Abu Bakar empat belas abad yang lalu.
"Terima kasih," bisiknya sambil mengusap air mata yang entah sejak kapan mengalir di pipinya. "Aku mengerti sekarang."
Ia bangkit dan berjalan menuju pintu keluar gua. Sebelum pergi, ia menoleh sekali lagi dan berkata, "Bukan tempat yang membuat kita kuat, tapi keyakinan bahwa kita tidak pernah sendirian."
Setelah Hakim pergi, keheningan kembali memeluk gua ini. Tapi aku tahu, di suatu tempat di Indonesia, seorang pemuda akan menghadapi ujiannya dengan hati yang tenang. Karena ia telah memahami rahasia yang Abu Bakar temukan di malam yang mencekam itu: bahwa ketenangan sejati bukan datang dari ketiadaan badai, melainkan dari kepercayaan bahwa ada Sang Pencipta yang selalu menyertai kita di setiap hembusan angin kehidupan.
Dan aku, sebagai bayangan abadi di dinding gua ini, akan terus menjadi saksi bisu bagi mereka yang datang mencari cahaya di tengah kegelapan. Karena sejatinya, setiap manusia adalah Abu Bakar yang memiliki gua Tsur-nya masing-masing—tempat di mana ketakutan bertemu dengan kepercayaan, dan dari pertemuan itu lahirlah keajaiban yang bernama ketenangan hati.
"Gua terdalam dalam hidup kita bukanlah tempat kita bersembunyi dari masalah, melainkan tempat kita menemukan kekuatan untuk menghadapinya dengan kepala tegak dan hati yang damai."
Arda Dinata, lahir di Indramayu, 28 Oktober 1973, penyuka prosa dan pendiri Majelis Inspirasi MIQRA Indonesia. Buku prosa terbarunya: Epos Aurora (novel, Juni 2024), Retakan (Kupcer, Maret 2025), dan Pecahan Cinta (Kupcer, Maret 2025). Kini bermukim di Pangandaran. Yuk baca cerpen karya Arda Dinata di link ini: https://blog.ardadinata.com/search/label/Cerpen
***
Jangan ragu untuk memberikan komentar di bawah ini dan mengikuti kami di saluran WhatsApp "ProduktifMenulis.com (Group)" dengan klik link ini: WhatsApp ProduktifMenulis.com (Group) untuk mendapatkan info terbaru dari website ini.
Arda Dinata adalah Penulis di Berbagai Media Online dan Penulis Buku, Aktivitas Kesehariannya Membaca dan Menulis, Tinggal di Pangandaran - Jawa Barat.