"Mata adalah jendela jiwa, tapi di era digital, jendela itu semakin berlapis kaca yang membiaskan cahaya." — Byung-Chul Han (Sumber foto: Arda Dinata).
Oleh: Arda Dinata
Blogger, Peneliti, Penulis Buku dan Pendiri Majelis Inspirasi MIQRA Indonesia.
BLOG INSPIRASI - "Kita tidak melihat hal-hal apa adanya, kita melihat hal-hal sebagaimana kita adanya." — Anaïs Nin
Di sebuah gedung pencakar langit Jakarta, seorang menteri sedang menatap layar tablet-nya. Di hadapannya, terbentang data real-time tentang harga beras di 514 kabupaten. Grafik naik-turun seperti detak jantung raksasa yang tak pernah tidur. Ia menggeser jarinya, membesarkan peta digital Sumatera, lalu memperkecilnya lagi ke titik merah di Flores. Dalam hitungan detik, ia "mengunjungi" wilayah yang secara fisik membutuhkan waktu berhari-hari untuk dijangkau.
Tapi apa yang benar-benar dilihatnya?
John Berger pernah menulis bahwa "cara kita melihat hal-hal dipengaruhi oleh apa yang kita ketahui atau percayai." Di era digital, pengetahuan dan kepercayaan itu semakin dimediasi oleh algoritma, dashboard, dan big data. Pemimpin hari ini tidak lagi melihat langsung mata rakyat yang lapar, tapi melihat angka kemiskinan yang turun 0,3 persen. Mereka tidak mendengar langsung keluhan petani, tapi membaca sentiment analysis dari media sosial yang menunjukkan tingkat kepuasan publik 67,4 persen.
Ada sebuah paradoks yang menarik: semakin canggih teknologi yang membantu pemimpin "melihat" realitas, semakin jauh mereka dari realitas itu sendiri. Seperti seseorang yang menggunakan kacamata berlapis-lapis—setiap lapis memberikan informasi tambahan, tapi juga mendistorsi pandangan.
Presiden Franklin D. Roosevelt, di masa Depresi Besar, biasa menyamar dan berkeliling Amerika dengan kereta api untuk melihat langsung kondisi rakyatnya. Eleanor Roosevelt melakukan hal serupa, turun ke perkampungan kumuh dan berbicara dengan para pekerja. Mereka memahami bahwa statistik kemiskinan dan laporan birokrat tidak cukup untuk memahami penderitaan yang sesungguhnya.
Bandingkan dengan pemimpin hari ini yang mendapat briefing harian melalui PowerPoint, mengadakan rapat via Zoom, dan mengukur popularitas melalui polling online. Mereka hidup dalam bubble digital yang dilapisi oleh layer demi layer mediasi teknologis. Reality menjadi augmented reality, dan augmented reality perlahan menjadi satu-satunya reality yang mereka kenal.
Walter Benjamin, dalam esainya tentang "aura" karya seni, menjelaskan bagaimana reproduksi mekanis mengubah esensi objek. Foto sebuah lukisan bukanlah lukisan itu sendiri—ada sesuatu yang hilang dalam terjemahan. Demikian pula, data tentang kemiskinan bukanlah kemiskinan itu sendiri. Grafik tentang pengangguran bukanlah wajah-wajah yang kehilangan pekerjaan. Algoritma yang menganalisis sentimen rakyat bukanlah suara rakyat yang sesungguhnya.
Di Silicon Valley, ada istilah "dogfooding"—para eksekutif teknologi menggunakan produk mereka sendiri untuk memahami pengalaman pengguna. Tapi berapa banyak pemimpin politik yang benar-benar "memakan makanan anjing" mereka sendiri? Berapa banyak yang pernah mengantri di Puskesmas, naik angkot yang sesak, atau mengurus surat keterangan di kelurahan?
Jair Bolsonaro pernah mengklaim bahwa ia tidak perlu mendengarkan media karena ia punya media sosial sendiri—echo chamber yang memperkuat keyakinannya. Donald Trump hidup dalam realitas alternatif yang diciptakan oleh Fox News dan Twitter. Keduanya adalah contoh ekstrem dari pemimpin yang terjebak dalam gelembung digital mereka sendiri.
Tapi mungkin yang lebih berbahaya adalah pemimpin yang mengira bahwa teknologi membuat mereka lebih objektif dan rasional. Mereka percaya bahwa big data tidak bisa berbohong, bahwa algoritma tidak memihak, bahwa dashboard memberikan gambaran yang "netral" tentang realitas. Padahal setiap data sudah dikurasi, setiap algoritma mengandung bias, dan setiap dashboard mencerminkan asumsi pembuatnya.
Hannah Arendt pernah memperingatkan tentang bahaya "thoughtlessness"—ketidakmampuan untuk berpikir kritis yang bisa membuat orang baik melakukan kejahatan. Di era digital, kita menghadapi bahaya serupa: "datafication" yang berlebihan bisa membuat pemimpin kehilangan kemampuan untuk melihat manusia di balik angka.
Seorang ahli statistik di Bank Dunia pernah bercerita bagaimana ia menghabiskan bertahun-tahun menganalisis data kemiskinan di Afrika. Suatu hari, ia berkesempatan mengunjungi desa yang datanya sering ia analisis. "Saya terkejut," katanya, "bahwa yang saya sebut 'extremely poor' ternyata punya senyum yang hangat dan komunitas yang solid." Data tidak bisa menangkap dignity, resilience, atau hope.
Michel de Certeau menulis tentang "the practice of everyday life"—bagaimana orang biasa menciptakan makna dan bertahan hidup dengan cara-cara yang tidak tertangkap oleh sistem formal. Ini adalah dimensi yang hilang dari dashboard digital: improvisasi, adaptasi, dan agency yang dimiliki rakyat dalam menghadapi kesulitan.
Pemimpin hari ini seperti pilot pesawat modern yang terlalu bergantung pada autopilot dan instrumen. Mereka lupa bagaimana "terbang dengan feeling," membaca kondisi cuaca dari awan, atau mendengarkan suara mesin. Ketika teknologi gagal—seperti yang terjadi pada kecelakaan Air France 447—mereka kehilangan kemampuan untuk mengambil kendali manual.
Lao Tzu berkata: "Mengetahui yang lain adalah kebijaksanaan, mengetahui diri sendiri adalah pencerahan." Mungkin pemimpin era digital perlu menambahkan: mengetahui keterbatasan teknologi adalah kearifan.
"Mata adalah jendela jiwa, tapi di era digital, jendela itu semakin berlapis kaca yang membiaskan cahaya." — Byung-Chul Han
Apakah mungkin memimpin dengan mata telanjang di era yang menuntut augmented vision? Atau haruskah kita mencari cara untuk tetap melihat manusia di balik monster data yang kita ciptakan sendiri?
Wallahu a'lam...
Daftar Pustaka
Arendt, H. (1963). Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil. Viking Press.
Benjamin, W. (1935). The Work of Art in the Age of Mechanical Reproduction. Schocken Books.
Berger, J. (1972). Ways of Seeing. Penguin Books.
Certeau, M. de. (1984). The Practice of Everyday Life. University of California Press.
Han, B. C. (2017). In the Swarm: Digital Prospects. MIT Press.
Nin, A. (1961). Seduction of the Minotaur. Swallow Press.
Tzu, L. (6th century BCE). Tao Te Ching. (Various translations and editions)
***
Jangan ragu untuk memberikan komentar di bawah ini dan mengikuti kami di saluran WhatsApp "ProduktifMenulis.com (Group)" dengan klik link ini: WhatsApp ProduktifMenulis.com (Group) untuk mendapatkan info terbaru dari website ini.
Arda Dinata adalah Penulis di Berbagai Media Online dan Penulis Buku, Aktivitas Kesehariannya Membaca dan Menulis, Tinggal di Pangandaran - Jawa Barat.