Kehadiran Islam jelas-jelas merupakan kebaikan dan
keselamatan bagi umat manusia. Pada masa awal Islam dan era Khulafaur Rasyidin,
tak dipungkiri bahwa keluarga muslim telah mendapatkan kebahagiaan. Kuncinya,
disebabkan ia memformat sesuai dengan manhaj yang lurus. Yaitu semua
usaha kedua orang tua yang dicurahkan untuk mendidik anak-anaknya dalam naungan
agama (Islam), melejitkan mereka untuk mencintai Allah dan bertakwa kepada-Nya,
dan menanamkan akhlak mulia –akhlak Islam—dalam diri keluarga mereka.
A.Cermin Keimanan dan Amal Saleh
B. Akhlak Pribadi Unggul
Keberadaan akhlak mulia bagi setiap pribadi unggul, adalah
buah dari keimanan yang kental. Dan ini merupakan kekayaan yang tinggi nilainya
dalam kehidupan manusia. Untuk itu, sejak awal kita harus berusaha memburu
keilmuan tentang itu sebagai bekal dalam membangun kehidupan berumah tangga.
Dalam hal ini, kita telah sepakat bahwa kemuliaan akhlak
bangsa ini akan tumbuh dengan baik, bila individu-individu dalam keluarga itu
telah memiliki akhlak mulia. Dan Rasulullah Saw adalah contoh utama pembentuk
akhlak dalam kehidupan setiap muslim. Dalam sebuah hadits, Nabi Saw bersabda, “Sesungguhnya
aku diutuskan untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Ahmad).
Harapan demikian, insya Allah akan terwujud,
manakala setiap diri kita meniatkan secara sungguh-sungguh lagi ikhlas
mengharap ridha-Nya. Sehingga dari sini akan terbentuk sebuah tatanan yang
terjalin dengan nilai-nilai akhlakul karimah. Dan melalui nilai-nilai ini dan
disiplin yang diamalkan oleh anggota masyarakat, maka akan lahirlah sebuah
masyarakat yang aman, damai, harmonis dan diselimuti ruhiah Islam.
Berikut ini, ada beberapa nilai akhlak Islam yang menjadi
tonggak amalan –sehingga patut dikedepankan— bagi setiap (keluarga) muslim
dalam melahirkan individu/pribadi unggul. Pertama, ikhlas. Ikhlas adalah
inti dari setiap ibadah dan perbuatan seorang muslim. Allah SWT berfirman dalam
QS. Al Bayyinah: 5, ”Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah
Allah dengan memurnikan keta’atan –keikhlasan— kepada-Nya dalam (menjalankan)
agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan sholat dan menunaikan zakat;
dan yang demikian itulah agama yang lurus.”
Keikhlasan seseorang ini, akan menghasilkan kemenangan dan
kejayaan. Anggota masyarakat yang mengamalkan sifat ikhlas, akan mencapai
kebaikan lahir-bathin dan dunia-akherat, bersih dari sifat kerendahan dan
mencapai perpaduan, persaudaraan, perdamaian serta kesejahteraan. Nabi Saw
bersabda, “Bahagialah dengan limpahan kebaikan bagi orang-orang yang bila
dihadiri (berada dalam kumpulan) tidak dikenal, tetapi apabila tidak hadir
tidak pula kehilangan. Mereka itulah pelita hidayah. Tersisih daripada mereka
segala fitnah dan angkara orang yang zalim.” (HR. Imam al-Baihaqi).
Kedua,
amanah. Yaitu sifat mulia yang mesti diamalkan oleh setiap orang. Dalam suatu
sumber menyebutkan, amanah adalah asas ketahanan ummat, kestabilan negara,
kekuasaan, kehormatan dan roh kepada keadilan. Singkatnya, amanah berarti
sesuatu yang dipercayakan sehingga kita harus menjaga amanah tersebut. Dalam
hal ini, Allah berfirman dalam Alquran, yang artinya: “….maka tunaikanlah
oleh orang yang diamanahkan itu akan amanahnya dan bertakwalah kepada Allah
Tuhannya;….” (QS. Al Baqarah: 283).
Ketiga,
adil. Bersifat adil, berarti menempatkan/ meletakan sesuatu pada tempatnya.
Adil juga tidak lain ialah berupa perbuatan yang tidak berat sebelah. Para
Ulama menempatkan adil kepada beberapa peringkat, yaitu adil terhadap diri
sendiri, bawahan, atasan/ pimpinan dan sesama saudara. Nabi Saw bersabda, “Tiga
perkara yang menyelamatkan yaitu takut kepada Allah ketika bersendiriaan dan di
khalayak ramai, berlaku adil pada ketika suka dan marah, dan berjimat cermat
ketika susah dan senang; dan tiga perkara yang membinasakan yaitu mengikuti
hawa nafsu, terlampau bakhil, dan kagum seseorang dengan dirinya sendiri.” (HR.
Abu Syeikh).
Keempat,
bersyukur. Bersyukur pada tataran menjadi pribadi unggul berlaku pada dua
keadaan. (1) Sebagai tanda kerendahan hati terhadap segala nikmat yang
diberikan oleh Sang Pencipta adalah sama, baik sedikit atau banyak. (2)
Bersyukur sesama makhluk sebagai ketetapan daripada Allah, supaya kebajikan
senantiasa dibalas dengan kebajikan. Allah berfirman, “…. Sesungguhnya jika
kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan sekiranya kamu
mengingkari –kufur— (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS.
Ibrahim: 7).
Kelima,
tekun. Ketekunan ini tidak lain adalah usaha dengan rajin, keras hati dan
bersungguh-sungguh. Islam sendiri, jauh-jauh hari telah menggalakan umatnya
untuk tekun apabila melakukan sesuatu pekerjaan. Sehingga dapat diselesaikan
dengan baik dan berjaya. Nabi Saw dalam sabdanya menyebutkan, “Sesungguhnya
Allah SWT menyukai apabila seseorang bekerja, dia melakukan dengan tekun.” (HR.
Abu Daud).
Perilaku ketekunan seseorang ini, maka akan meningkatkan
produktivitasnya, melahirkan suasana kerja yang aman, dan memberi kesan yang
baik kepada masyarakat sekitarnya.
Keenam,
disiplin. Yaitu ketaatan pada aturan dan tata tertib. Untuk itu, berdisiplin
dalam menjalankan suatu kerja akan dapat menghasilkan mutu kerja yang
cemerlang. Sehingga perilaku disiplin ini, akan mengantarkan hasrat negara
untuk menjadi maju dan unggul dapat dicapai lebih cepat lagi, bila dibandingkan
dengan perilaku tidak disiplin.
Lebih dari itu, dengan berdisiplin diri, seseorng itu akan
dapat menguatkan pegangannya terhadap ajaran agama dan menghasilkan mutu kerja
yang cemerlang serta prestatif –unggul--.
Ketujuh,
sabar. Yaitu sifat tahan menderita sesuatu (tidak lekas marah; tidak lekas
patah hati; tidak lepas putus asa; dsb) –tenang--. Di dalam menghadapi cobaan
hidup, ternyata kesabaran ini sangat penting untuk membentuk individu/ pribadi
unggul. Hal ini seperti dikehendaki Allah SWT dalam QS. Ali Imran: 200, “Hai
orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu (menghadapi segala kesukaran dalam
mengerjakan perkara-perkara kebajikan) dan kuatkanlah kesabaranmu (lebih dari
kesabaran musuh di medan perjuangan) dan tetaplah bersiap siaga (dengan
kekuatan pertahanan di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah,
supaya kamu beruntung (berjaya).”
Akhirnya, dengan dimilikinya sifat-sifat unggul tersebut,
maka seseorang akan sangat beruntung karena ia mampu mengemudi hidupnya dengan
“kesempurnaan”. Dan kondisi demikian, membuat seseorang dapat berperan dengan
baik kepada dirinya dan alam sekitarnya. Bukankah, hidup seseorang dikatakan
baik, manakala ia dapat berguna bagi orang lain? Wallahu’alam.(Arda Dinata).