- / / : 081284826829

Budaya Tetean di Desa Pasar Terandam

 Budaya Tetean di Desa Pasar Terandam
Oleh: Arda Dinata[0]


[0] Arda Dinata, Peneliti Kesehatan di Loka Litbang P2B2 Ciamis, Balitbangkes Kemenkes R.I.


Matahari pagi mulai meninggi. Kakiku melangkah pergi menelusuri lorong-lorong yang ada di Perkampungan Desa Pasar Terandam Kecamatan Barus Kabupaten Tapanuli Tengah.

Ketika kaki ini mau melangkah menelusuri Perkampungan Nelayan di Desa Pasar Terandam, tiba-tiba ada kereta[1] milik Bapak Darmansyah lewat di sampingku. Bapak Darmansyah ini, menawarkan pada saya untuk naik keretanya karena kita jalan yang dituju adalah searah.

Dalam perjalanan Bapak Darmansyah ini banyak bercerita. Mulai soal peta politik. Beliau mengatakan bahwa Barus ini merupakan barometer kekuatan politik di wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah. Cerita lainnya, adalah termasuk tentang pekerjaannya sebagai Bapak pembimbing masyarakat (Babinsa) dari Danramil Kecamatan Barus.

Sebagai petugas Babinsa di Desa Pasar Terandam ini, dirinya telah mengabdi selama 20 tahun. Banyak suka dukanya selama bertugas, diantaranya dia sekarang sudah seperti saudara dekat dengan warga di Desa Pasar Terandam ini.

“Masyarakat kalau ada masalah. Biasanya tidak sungkan-sungkan mengadu ke rumah saya untuk minta bantuannya menyelesaikan masalah yang telah dihadapi oleh masyarakat,” katanya.
Beliau dengan lincahnya membawa saya menelusuri lorong-lorong di Perkampungan Nelayan Desa Pasar Terandam, sambil sesekali menjawab sapaan warga masyarakat yang ditemui di jalanan yang dilalui kita berdua. Akhirnya, kami berhenti tepat di belakang Masjid Desa Pasar Terandam yang sedang di bangun itu. Saya melihat ada proses pengerjaan jembatan yang menghubungkan antara perkampungan nelayan dengan areal masjid. Sebab, selama ini bila mau pergi ke masjid desa itu, masyarakat di perkampungan nelayan ini harus memutar untuk dapat sampai ke masjid.

Sebenarnya, jembatan itu dulunya sudah ada. Namun karena besarnya terjangan banjir membuat jembatan itu hancur lebur dihantam derasnya laju air banjir dari sungai.

“Sebetulnya masyarakat di sini masih memiliki rasa kekeluargaan yang tinggi. Misalnya takkala ada acara hajatan. Mereka saling membantu. Di sini, ada budaya Tetean[2] sesama masyarakat. Contohnya, kalau ada hajatan, tuan rumah tidak sepenuhnya bisa mendatangkan orkes hiburan berupa organ tunggal. Maka dipelopori para pemuda melakukan Tetean untuk mendatangkan orkes hiburan itu, yaitu dengan cara menarik sumbangan secara suka rela. Nanti, dana yang terkumpul dikasihkan ke orang yang mau hajat. Dan selebihnya berupa kekurangannya nanti ditambahkan atau ditanggung oleh tuan rumah.” Ungkap Darmansyah sambil mengisap rokok.
Intinya, mereka saling membantu. Dalam konteks yang dicontohkan Bapak Darmansyah itu adalah mencari dana patungan secara bersama-sama sampai terkumpul sesuai dana yang dibutuhkan tersebut. Saya berpikir, kalau adat seperti Tetean itu bisa diberdaykan pada bidang positif lainya, tentu hasilnya akan luar biasa.

Namun, menurut Darmansyah yang sering jadi tumpuan masyarakat Desa Pasar Terandam ini bila ada masalah sosial masyarakat, mengungkapkan bahwa ada sisi kurang baiknya dari sifat masyarakat di Desa Pasar Terandam ini, yaitu sifat iri terhadap orang lain dan kurang bisa bekerjasama dengan sesama putra daerah kelahiran Desa Pasar Terandam lainnya yang sudah sukses merantau. Justru, yang ada dalam pikiran mereka adalah sikap saling menjatuhkan.
 
“Misalnya, ada putra daerah yang merantau dan telah berhasil maju. Lalu, ia berniat akan membangun daerahnya. Namun, ada saja dari anggota masyarakat di sini yang mencoba menghalang-halanginya.” Tutur Babinsa Desa Pasar Terandam ini.


[1] Kereta itu sebutan masyarakat Desa Pasar Terandam untuk menyebutkan kendaraan bermotor.
[2] Tetean ialah adat budaya masyarakat pesisir di Desa Pasar Terandam berupa perilaku saling membantu sesama anggota masyarakat yang membutuhkan.
WWW.ARDADINATA.COM