Budaya Tetean
di Desa Pasar Terandam
Oleh: Arda Dinata[0]
[0] Arda Dinata, Peneliti Kesehatan di Loka Litbang P2B2 Ciamis, Balitbangkes Kemenkes R.I.
Matahari pagi mulai meninggi. Kakiku melangkah pergi
menelusuri lorong-lorong yang ada di Perkampungan Desa Pasar Terandam Kecamatan
Barus Kabupaten Tapanuli Tengah.
Ketika kaki ini mau melangkah menelusuri Perkampungan
Nelayan di Desa Pasar Terandam, tiba-tiba ada kereta[1]
milik Bapak Darmansyah lewat di sampingku. Bapak Darmansyah ini, menawarkan
pada saya untuk naik keretanya karena kita jalan yang dituju adalah searah.
Dalam perjalanan Bapak Darmansyah ini banyak bercerita. Mulai
soal peta politik. Beliau mengatakan bahwa Barus ini merupakan barometer
kekuatan politik di wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah. Cerita lainnya, adalah termasuk
tentang pekerjaannya sebagai Bapak pembimbing masyarakat (Babinsa) dari
Danramil Kecamatan Barus.
Sebagai petugas Babinsa di Desa Pasar Terandam ini,
dirinya telah mengabdi selama 20 tahun. Banyak suka dukanya selama bertugas,
diantaranya dia sekarang sudah seperti saudara dekat dengan warga di Desa Pasar
Terandam ini.
“Masyarakat kalau ada masalah.
Biasanya tidak sungkan-sungkan mengadu ke rumah saya untuk minta bantuannya
menyelesaikan masalah yang telah dihadapi oleh masyarakat,” katanya.
Beliau dengan lincahnya membawa saya menelusuri
lorong-lorong di Perkampungan Nelayan Desa Pasar Terandam, sambil sesekali
menjawab sapaan warga masyarakat yang ditemui di jalanan yang dilalui kita
berdua. Akhirnya, kami berhenti tepat di belakang Masjid Desa Pasar Terandam
yang sedang di bangun itu. Saya melihat ada proses pengerjaan jembatan yang
menghubungkan antara perkampungan nelayan dengan areal masjid. Sebab, selama
ini bila mau pergi ke masjid desa itu, masyarakat di perkampungan nelayan ini
harus memutar untuk dapat sampai ke masjid.
Sebenarnya, jembatan itu dulunya sudah ada. Namun karena
besarnya terjangan banjir membuat jembatan itu hancur lebur dihantam derasnya
laju air banjir dari sungai.
“Sebetulnya masyarakat di sini masih
memiliki rasa kekeluargaan yang tinggi. Misalnya takkala ada acara hajatan.
Mereka saling membantu. Di sini, ada budaya Tetean[2] sesama masyarakat. Contohnya, kalau ada hajatan,
tuan rumah tidak sepenuhnya bisa mendatangkan orkes hiburan berupa organ
tunggal. Maka dipelopori para pemuda melakukan Tetean untuk mendatangkan orkes
hiburan itu, yaitu dengan cara menarik sumbangan secara suka rela. Nanti, dana
yang terkumpul dikasihkan ke orang yang mau hajat. Dan selebihnya berupa
kekurangannya nanti ditambahkan atau ditanggung oleh tuan rumah.” Ungkap Darmansyah sambil mengisap rokok.
Intinya, mereka saling membantu. Dalam konteks yang
dicontohkan Bapak Darmansyah itu adalah mencari dana patungan secara
bersama-sama sampai terkumpul sesuai dana yang dibutuhkan tersebut. Saya
berpikir, kalau adat seperti Tetean
itu bisa diberdaykan pada bidang positif lainya, tentu hasilnya akan luar
biasa.
Namun, menurut Darmansyah yang sering jadi tumpuan
masyarakat Desa Pasar Terandam ini bila ada masalah sosial masyarakat,
mengungkapkan bahwa ada sisi kurang baiknya dari sifat masyarakat di Desa Pasar
Terandam ini, yaitu sifat iri terhadap orang lain dan kurang bisa bekerjasama
dengan sesama putra daerah kelahiran Desa Pasar Terandam lainnya yang sudah
sukses merantau. Justru, yang ada dalam pikiran mereka adalah sikap saling
menjatuhkan.
“Misalnya, ada putra daerah yang merantau dan telah berhasil maju. Lalu, ia berniat akan membangun daerahnya. Namun, ada saja dari anggota masyarakat di sini yang mencoba menghalang-halanginya.” Tutur Babinsa Desa Pasar Terandam ini.
[2] Tetean ialah adat budaya masyarakat pesisir di
Desa Pasar Terandam berupa perilaku saling membantu sesama anggota masyarakat
yang membutuhkan.