Memahami Aritmetika Pernikahan dengan Akal
Oleh: ARDA DINATA
NIKAH berarti perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri (dengan resmi). Kegiatan nikah ini, orang mengenalnya dengan pernikahan/perkawinan. Lebih jauh dari itu, pernikahan merupakan ikatan ilahiyah. Sebuah ikatan yang mampu menyatakan dua insan dalam kecintaan, kebahagiaan, dan kasih sayang.
Pernikahan itu sendiri akan memberikan ketentraman. Allah SWT berfiman, yang artinya: “Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar Ruum: 21).
Fasilitas ketentraman itu, akan Allah berikan terhadap setiap manusia yang telah melakukan pernikahan sesuai dengan ketentuan-Nya. Oleh karena itu, keadaan ini harus selalu dijaga dan dipelihara. Mengapa harus dijaga dan dipelihara?
Alasan yang mendasarinya tidak lain adalah karena orang yang telah menikah tidak semuanya (segera) mendapatkan fasilitas tersebut, disebabkan mereka tidak mampu memaksimalkan potensi akal-pikiran dalam membangun tatanan keluarganya. Kadangkala sebuah pernikahan bukannya menjadi tentram, melainkan yang terjadi berupa hubungan suami-istri hanya sekedar rutinitas. Tidak lagi mampu menambah makna hidup, justru sebaliknya terasa hambar dan hampa. Hal ini biasanya merupakan masa-masa kritis yang kemungkinan besar terjadi pada tiga tahun pertama sebuah pernikahan, bila dibandingkan dengan tahun-tahun setelahnya.
Kondisi seperti itu, jelas-jelas dilakukan oleh mereka yang tidak memahami adanya aritmetika pernikahan. Menurut Dra. Psi. Erry Soekresno –psikolog yang senang humor ini--, menyebutkan bahwa tugas utama yang penting dilakukan pada tiga tahun pertama pernikahan itu adalah mencapai titik KITA (WE point). Tentu setelah suami-istri itu sama-sama saling menyesuaikan diri (baca: belajar bernegoisasi).
Dalam istilah lain, WE point ini merupakan aritmetika pernikahan. Yakni satu tambah satu hasilnya bukanlah dua tapi tiga, yaitu saya, kamu, dan KITA. Untuk mencapai derajat itu, jelas perlu waktu dan usaha. Di sinilah, aktivitas akal memiliki peranan yang menentukan.
Peran Wanita
Islam memberikan penghargaan kepada wanita dengan sebenarnya, dan membukakan baginya teladan yang mulia dan nilai-nilai akhlak yang tinggi. Dalam pandangan Dr. Abdul Hakam ash-Sha’idi (2001), wanita itu mencerminkan setengah masyarakat manusia, karena mereka adalah pasangan setara laki-laki. Wanita bagi laki-laki adalah ibu, anak wanita, nenek, saudara kandung, atau bibi.
Pada konteks ini, maka wanita sebagai istri memegang peranan penting dalam menjaga, memelihara ketentraman dan kemesraan keluarga sebagai pilar yang mewujudkan sebuah keluarga sakinah. Lagian, dalam kenyataannya wanitalah yang lebih dituntut untuk berusaha keras dalam menyukseskan sebuah bahtera perkawinan. Hal ini wajar dan masuk akal, karena secara psikologis wanita memiliki sensitifitas yang tinggi dalam menganalisis kata-kata, baik yang terucap, maupun yang hanya berupa isyarat selama menjalankan aktivitas berlabuh pada sebuah biduk pernikahan.
Untuk menggapai derajat perilaku yang seperti itu, Erry Soekresno (1995), menyarankan beberapa kiat yang harus dilakukan, antara lain:
· Senantiasa mengevaluasi diri dan melihat dampak perlakuannya terhadap suami. Berusaha terus untuk menjadi pendengar dan observer yang aktif terhadap segala kebutuhan suami.
· Berusaha untuk tetap menghidupkan perasaan cinta yang sering tertutupi oleh berbagai perasaan negatif saat marah, sedih atau kecewa. Hindari sikap sombong dan keras kepala. Banyak mengingat kenangan indah yang dialami bersama.
· Jangan membebani suami dengan masalah pribadi. Muslimahlah yang paling bertanggung jawab untuk menyelesaikannya. Jangan menuntut perhatian yang berlebihan.
· Cinta adalah menerima, bukan mengubah. Selalu siap menerima segala kekurangan suami. Perubahan bisa terjadi asal datang dari suami jika ia telah merasa diterima dan dicintai apa adanya.
· Jangan berharap daya magis intuisi suami. Istri sendirilah yang bertanggung jawab untuk membuat suami mengerti keinginan dan harapan-harapannya.
· Terbukalah terhadap suami. Komunikasikan segala yang tersirat tidak hanya melalui kata-kata, tapi juga tingkah laku dan sensitifitas (baca: keteladanan adalah bahasa tingkah laku-Pen).
· Selalu mengikuti perkembangan wawasan suami.
· Hormati komitmen pernikahan. Jagalah diri ketika suami tidak ada.
· Jangan suka menuduh suami. Apalagi mengkambinghitamkannya atas segenap permasalahan yang dihadapi.
· Mengikhlaskan pelayanan terhadap suami karena Allah.
· Memaafkan kesalahan suami.
· Mampu memberi semangat, menenangkan sekaligus mempesonakan suami.
· Tingkatkan rasa percaya diri muslimah sebagai istri dengan memperluas wawasan keislaman, meningkatkan kualitas keimanan, akhlak, perubahan penampilan fisik seperti mode rambut, pakaian, dalam rangka ijtihad untuk di rumah dan di kamar tidur. Merawat kulit muka dan tubuh, meningkatkan kebugaran.
Untuk mendapatkan hasil maksimal atas perwujudan kiat-kiat tersebut, tentu harus dipedomani oleh keyakinan atas kebenaran-kebenaran itu, yang sesungguhnya terinspirasi oleh sebuah kewajiban istri terhadap suami sesuai ketentuan-Nya. Keyakinan ini dapat terpatri dalam hati istri, manakala dalam akal-pikirannya telah terisi dengan ilmu-ilmu Allah.
Pada koridor hubungan suami-istri, maka dengan difungsikan dan dikembangkannya potensi akal-pikiran itu akan melahirkan sebuah predikat mulia dalam sebuah pernikahan, yaitu istri sebagai kekasih hati bagi suaminya.
Adapun buah dari telah digenggamnya predikat istri sebagai kekasih hati bagi suaminya tersebut adalah akan melahirkan keyakinan berupa mencintai suami karena Allah SWT, memelihara keutuhan cinta dan rasa hormat suami, menjaga kecemburuan suami, memberikan ketentraman di hati suami dan mengerti hakikat cinta pada suami.
Pola demikian, paling tidak telah diperlihatkan oleh para muslimah teladan di zaman Rasulullah saw. Di antaranya yang dapat disebutkan di sini adalah Khadijah ra, Aisyah ra, Ummu Salamah, Zainab dan Fatimah binti Rasulullah, Asma binti Abu Bakar, Khansa yang lebih dikenal dengan ibu para syuhada, dan Atikah.
Akhirnya, hanya melalui akal-pikiran yang dilejitkan dengan ilmu-ilmu Allah-lah, kita dapat memahami sebuah makna dari aritmetika pernikahan. Itulah barangkali salah satu alasan mengapa Allah SWT dalam Alquran (QS. 58: 11) menyebutkan bahwa dengan ilmu, maka seseorang akan diangkat oleh Allah beberapa derajat. Wallahu’alam.***
Arda Dinata adalah pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia, http://www.miqra.blogspot.com.