Baca Juga
"Cinta yang sejati bukan tentang apa yang kita terima, tapi tentang apa yang rela kita berikan, bahkan jika yang kita berikan adalah nyawa kita sendiri." (Sumber foto: Arda Dinata).
Cerpen: Arda Dinata
INSPIRASI - "Keberanian sejati bukanlah tidak mengenal takut, melainkan tetap melangkah meski hati gemetar, karena cinta yang lebih besar dari rasa takut."
Malam itu, angin gurun berbisik lebih sunyi dari biasanya. Aku, Zaid bin Haritsah, berdiri di sudut halaman rumah sederhana itu, menyaksikan percakapan yang akan mengubah sejarah. Cahaya pelita menari-nari di wajah Muhammad saw., sementara Ali bin Abi Thalib—sepupunya yang masih belia—duduk bersila dengan mata berbinar.
"Ali," suara Rasulullah lembut namun tegas, "malam ini engkau harus tidur di peraduanku."
Aku melihat Ali mengangguk tanpa sedikitpun keraguan. Tidak ada pertanyaan, tidak ada keluhan. Padahal kami semua tahu, kaum Quraisy telah berkomplot untuk membunuh Muhammad saw. di tempat tidurnya malam itu. Tidur di peraduan Nabi berarti menghadapi kematian dengan mata terbuka.
"Bukankah engkau takut, Ali?" tanyaku dalam hati. Namun wajah pemuda itu justru memancarkan ketenangan yang membuat hatiku berdebar.
"Ya Rasulullah," jawab Ali dengan suara yang tidak bergetar sedikitpun, "apakah dengan tidur di tempatmu, aku dapat melindungimu?"
"InsyaAllah, wahai saudaraku."
"Kalau begitu, aku akan tidur dengan tenang."
***
Sebagai budak yang dimerdekakan Rasulullah, aku telah menyaksikan banyak peristiwa bersejarah. Namun malam itu berbeda. Ada sesuatu yang sakral dalam kerelaan Ali menerima amanah yang mungkin akan memakan nyawanya. Di saat yang sama, aku melihat Rasulullah saw. mempersiapkan hijrahnya ke Yatsrib—kelak bernama Madinah.
Aku teringat masa kecilku di Mekkah. Saat itu, aku adalah anak yatim yang dijual sebagai budak di pasar Ukaz. Muhammad saw. membeliku dan kemudian membebaskanku, bahkan mengangkatku sebagai anak. Namun ketika wahyu turun, aku memilih tetap menjadi pengikut setianya ketimbang kembali ke kabilah asalku.
"Zaid," Rasulullah memanggilku. "Bantulah Ali menyiapkan tempat tidur."
Dengan tangan bergetar, aku membantu Ali menggelar selimut hijau kesayangan Rasulullah di atas peraduan. Selimut yang sama yang sering menutupi tubuh suci itu saat beliau bermunajat hingga larut malam.
"Mengapa kau tidak takut?" tanyaku pada Ali saat kami berduaan.
Pemuda itu tersenyum, matanya menatap ke arah langit yang bertabur bintang. "Takut? Tentu saja aku takut, Zaid. Tapi cintaku pada Muhammad saw. lebih besar dari rasa takutku pada kematian."
***
Tengah malam, aku bersembunyi di balik pohon kurma, menyaksikan tiga belas orang pilihan dari berbagai kabilah Quraisy mengendap-endap menuju rumah Rasulullah. Pedang-pedang terhunus, mata mereka berkilat penuh kebencian. Mereka yakin akan menemukan Muhammad saw. di tempat tidurnya.
Abu Jahal memimpin rombongan. Wajahnya yang keras itu menyeringai penuh kemenangan. "Kali ini, tidak akan ada lagi yang namanya Muhammad," bisiknya pada Umayah bin Khalaf.
Mereka bersiap menyerbu. Aku menahan napas, hati berdegup kencang. Ali... Ali masih tertidur pulas di peraduan itu, selimut hijau menutupi separuh wajahnya.
"Tunggu hingga subuh," perintah Abu Jahal. "Kita bunuh dia saat terbangun, agar dia melihat wajah pembunuhnya."
Jam demi jam berlalu. Aku tidak beranjak dari tempat persembunyian, terus berdoa untuk keselamatan Ali. Pemuda itu tidur dengan begitu tenang, seakan tidak ada bahaya yang mengancam.
Saat fajar menyingsing, Abu Jahal memberi isyarat. Mereka menyerbu masuk, pedang teracung siap menikam.
"Bangun, Muhammad!" teriak Abu Jahal sambil menarik selimut hijau.
Yang terlihat bukanlah wajah Muhammad saw., melainkan wajah Ali bin Abi Thalib yang bangun dengan tenang, tanpa sedikitpun panik.
"Di mana Muhammad?" bentak Abu Jahal, wajahnya merah padam.
"Dia telah pergi ke tempat yang tidak akan kalian capai," jawab Ali dengan suara mantap.
***
Itulah twist yang tidak pernah kuduga. Selama ini, aku mengira Ali tidur di peraduan Nabi hanya untuk menyamarkan kepergiannya. Ternyata, ada makna yang lebih dalam.
"Zaid," Ali memanggilku setelah rombongan Abu Jahal pergi dengan wajah muram. "Tahukah kau mengapa aku tidak takut?"
Aku menggeleng.
"Karena malam ini, aku tidak tidur sebagai Ali bin Abi Thalib. Aku tidur sebagai bayangan Muhammad saw. Dan bayangan seorang rasul tidak akan pernah mati sia-sia."
Kata-katanya membuatku terdiam. Selama ini aku menganggap pengorbanan Ali sebagai bentuk keberanian fisik. Padahal, ini adalah transformasi spiritual. Dia tidak hanya mengorbankan nyawa, tapi mengubah dirinya menjadi perpanjangan dari Rasulullah saw.
"Lalu bagaimana dengan amanah lainnya?" tanyaku.
Ali tersenyum, lalu mengeluarkan tas kulit dari balik bantal. "Ini amanah-amanah yang dipercayakan orang-orang Mekkah kepada Muhammad saw. Aku harus mengembalikannya kepada pemiliknya, meski mereka adalah orang-orang yang ingin membunuhnya."
Subhanallah! Bahkan di tengah pengkhianatan, Rasulullah saw. masih menjaga amanah musuh-musuhnya.
***
Tiga hari kemudian, Ali berangkat ke Madinah. Aku memilih tetap tinggal di Mekkah untuk menyelesaikan urusan-urusan yang ditinggalkan Rasulullah. Saat mengantarnya ke pinggiran kota, Ali berkata sesuatu yang hingga kini masih terngiang di telingaku.
"Zaid, tahukah engkau pelajaran terbesar dari malam itu?"
"Apa?"
"Ketika kita rela menjadi bayangan orang yang kita cintai, kita justru menemukan cahaya sejati dalam diri kita sendiri."
***
Bertahun-tahun kemudian, saat Ali telah menjadi khalifah keempat, aku masih sering teringat malam hijrah itu. Bukan karena dramanya, tapi karena pelajaran yang terkandung di dalamnya.
Dalam budaya Arab, peraduan adalah tempat paling pribadi, paling intim. Namun Ali dengan ikhlas berbagi peraduan dengan takdir yang mungkin membawanya pada kematian. Dia mengajarkan bahwa cinta sejati adalah kerelaan berbagi apapun, bahkan hal yang paling menakutkan sekalipun.
Kini, saat aku telah tua dan senja hidup semakin dekat, aku menyadari bahwa malam itu bukan hanya tentang hijrah Muhammad saw. ke Madinah. Itu adalah hijrah spiritual Ali dari seorang pemuda biasa menjadi manusia yang mampu melampaui batas-batas kemanusiaannya.
Dan aku, Zaid bin Haritsah, merasa beruntung bisa menyaksikan lahirnya sebuah legenda yang akan dikenang hingga akhir zaman.
"Cinta yang sejati bukan tentang apa yang kita terima, tapi tentang apa yang rela kita berikan, bahkan jika yang kita berikan adalah nyawa kita sendiri." ***
Arda Dinata, lahir di Indramayu, 28 Oktober 1973, penyuka prosa dan pendiri Majelis Inspirasi MIQRA Indonesia. Buku prosa terbarunya: Epos Aurora (novel, Juni 2024), Retakan (Kupcer, Maret 2025), dan Pecahan Cinta (Kupcer, Maret 2025). Kini bermukim di Pangandaran. Yuk baca cerpen karya Arda Dinata di link ini: https://blog.ardadinata.com/search/label/Cerpen
***
Baca Juga
Jangan ragu untuk memberikan komentar di bawah ini dan mengikuti kami di saluran WhatsApp "ProduktifMenulis.com (Group)" dengan klik link ini: WhatsApp ProduktifMenulis.com (Group) untuk mendapatkan info terbaru dari website ini.
Arda Dinata adalah Penulis di Berbagai Media Online dan Penulis Buku, Aktivitas Kesehariannya Membaca dan Menulis, Tinggal di Pangandaran - Jawa Barat.