Saya merasa senang saat mendapatkan informasi bahwa pemerintah
lewat lembaga Perpustakaan Nasional RI secara masif akan membukukan nilai-nilai
kearifan lokal yang tersebar di seluruh Indonesia. Terkait ini, tentu
keberadaan teknologi memberi keuntungan tersendiri dalam upaya menyadarkan
masyarakat Indonesia bahwa budaya literasi perlu sebagai sumber pembentuk
karakter bangsa.
Alasan yang tepat disampaikan karena literasi itu menjadi
kompetensi penting yang harus dimiliki oleh seseorang dalam memasuki zaman
digitalisasi. Apalagi kita tahu, keberadaan literasi digital terkait erat
dengan kecakapan individu dalam menggunakan, mencari, dan mengolah ragam
informasi yang diperolehnya melalui gawai.1
Upaya membangun literasi digital itu, tidak lain wujud dari
ketertarikan, sikap, dan kemampuan individu dalam menggunakan teknologi (alat
komunikasi) untuk mengakses, mengelola, mengintegrasikan, menganalisis, dan
mengevaluasi informasi menjadi sebuah literasi pengetahuan baru yang bersumber
dari nilai kearifan lokal.
Untuk itu, tidaklah berlebihan jika keberadaan Perpustakaan
Nasional RI sebagai lembaga pengelola informasi mempunyai kepentingan untuk
menerapkan kemampuan literasi terapan berbasis konten lokal sebagai penyampaian
nilai budaya. Sebab, Perpustakaan Nasional RI mempunyai peran dalam
melestarikan dan menyampaikan cerita-cerita itu untuk dapat disampaikan sebagai
sebuah hasil kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di masyarakat.2
* *
Kajian isi buku ini lahir
dari ketertarikan saya akan nilai-nilai yang terkandung dalam budaya kearifan
lokal (budaya Sunda). Saya sepakat dengan pernyataan bahwa nilai budaya dalam
bentuk kearifan lokal (local wisdom) dapat digali dari berbagai etnis di
Indonesia. Apalagi, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk,
multietnis, dan multikultur yang berkontribusi positif dalam pembentukan
karakter bangsa.
Setiap suku bangsa
Indonesia yang majemuk itu memiliki kebudayaan sendiri. Ia memiliki nilai
budaya luhur, keunggulan lokal, dan kearifan lokal sendiri. Tiap masyarakat
berusaha mentransmisikan akan gagasan fundamental yang berkenaan dengan hakikat
dunia pengetahuan dan nilai. Karena itu, kearifan terhadap budaya lokal adalah
proses bagaimana pengetahuan dihasilkan, disimpan, diterapkan, dan diwariskan.3
Pada konteks ini,
sejatinya masalah kemajemukan suatu masyarakat dapat dilihat dari variabel
budaya dan sosial. Kemajemukan variabel budaya ditentukan oleh indikator
genetik sosial (ras, etnis, suku), budaya (kultur, nilai, kebiasaan), bahasa,
agama, kasta, ataupun wilayah. Untuk kemajemukan sosial ditentukan indikator
seperti kelas, status, lembaga, ataupun power.4
Sumber kajian literasi dalam buku ini, tidak lain berdasar dari
nilai kearifan lokal budaya Sunda yang dapat ditemukan dalam prasasti, babad,
naskah-naskah historis, karya sastra, cerita rakyat, pantun, sisindiran,
petatah-petitih serta kehidupan keseharian masyarakat yang masih mempertahankan kearifan lokal
budaya Sunda lama (Kampung Baduy, Naga, Dukuh Garut, Pulo Ciamis, dan daerah
lainnya), seperti ungkapan berikut:
“Nyalindung na sihung maung, diteker nya mementeng, ulah aya
guam, bisa tuliesken, teu bisa kanyahokeun, sok mun eling moal luput salamet” (suatu
sikap arif dan bijaksana, walaupun mendapat hinaan, tidak boleh melawan,
usahakan menghindarkan diri sambil tetap sadar);
“Teu saba, teu soba, teu banda, teu boga, teu weduk, teu bedas,
teu gagah, teu pinter”(suatu ungkapan yang menyatakan kerendahan diri,
tidak punya pengalaman apa-apa, tidak punya apa-apa, tidak punya kekuatan
apa-apa, tidak gagah, tidak juga pintar).4
Masih banyak lagi
nilai-nilai kearifan lokal yang melekat pada sendi-sendi kehidupan masyarakat
Sunda, dan tentunya hal tersebut masih sangat relevan untuk diaplikasikan oleh
seluruh masyarakat Indonesia, seperti halnya nilai kejujuran, mandiri, kerja
keras, cinta pada lingkungan, dan cinta tanah air yang sangat dibutuhkan pada
jaman modern ini.
Buku ini diberi judul: KEBIJAKSANAAN HIDUP ORANG SUNDA (Nilai-Nilai
Keteladanan & Kearifan Lokal Budaya Sunda Dalam Membangun Manusia Cerdas,
Berkarakter, dan Sehat). Isi buku ini dibagi beberapa bagian, antara lain
terkait:
·
Prolog: Literasi, Budaya, dan Pengetahuan.
·
Literasi Kearifan Lokal Sumber Inspirasi,
dibahas terkait: Pengertian kearifan lokal; Konsep dasar dan fungsi kearifan
lokal; Klasifikasi nilai kearifan lokal; dan Kearifan lokal sumber inspirasi.
·
Kearifan Budaya Orang Sunda, membahas seputar: Karakter
manusia Sunda; Nilai dan filosofi hidup orang Sunda (pandangan hidup, etos
kerja, dan filosi keadilan orang Sunda); Nilai kesundaan gerbang lima
kesempurnaan (Gapura Pancawaluya); Prinsip hidup dan perilaku orang Sunda.
·
Kebijaksanaan Hidup Orang Sunda (Manusia Sunda
sebagai pribadi; Manusia Sunda sebagai anggota masyarakat; Manusia Sunda dengan
alam; Manusia Sunda dengan Tuhan; Manusia Sunda dalam mengejar kemajuan
lahiriyah; Manusia Sunda dalam menggapai kesehatan).
·
Epilog: Inilah Jalan Cerdas Berkarakter Menuju
Sehat.
Pokoknya, kearifan lokal budaya Sunda yang kaya dengan nilai-nilai
positif tentang kebijaksanaan hidup dan keteladanan yang dikaji dalam buku ini,
perlu di transformasikan kepada masyarakat (khususnya generasi muda) secara
kontinyu dan reflektif agar nilai kearifan lokal budaya Sunda ini dapat segera
diaplikasikan dalam membangun manusia cerdas, berkarakter, dan sehat.
Akhirnya, saya ucapkan selamat membaca buku yang telah selesai
disusun ini. Saran dan masukan dari pembaca, tentu saya nantikan untuk
menyempurnakan isi buku kajian literasi kearifan lokal ini.
Salam literasi!