SAAT ini, penyakit tular vektor (vector borne diseases) seperti demam berdarah dengue (DBD), malaria, cikungunya, filariasis (kaki gajah), Japanese bencephalitis, dan pes masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia, termasuk Indonesia (baca: Jawa Barat). Padahal, ini baru satu contoh kasus penyakit yang disebabkan oleh nyamuk.
Kondisi tersebut tentu ada sebabnya. Berdasarkan sejumlah penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa terjadinya perubahan iklim global saat ini berpengaruh terhadap perubahan risiko penularan penyakit yang ditularkan oleh vektor penyakit, terutama nyamuk. Lebih-lebih penularan demam berdarah dan malaria sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan.
Sejarah Nyamuk
Nyamuk (Diptera: Culicidae) dipastikan lebih dulu ada di permukaan planet bumi daripada manusia. Menurut catatan Sugeng Juwono Mardihusodo (2003), dari Sub-Bagian Entomologi Fakultas Kedokteran UGM Yogyakarta disebutkan bahwa secara hipotetis, serangga yang tak bersayap telah ada dan berevolusi sejak era Paleozoikum, periode Silurian, antara 425 dan 405 juta tahun sebelum masehi (SM). Berdasarkan informasi dari Romoser WS (1981), serangga Endopterygota yang mengalami metamorfosis lengkap (halometabola) secara hipotetis telah ada dan berevolusi pada periode karboniferosa, antara 345 juta dan 280 juta SM, yang fosilnya tertua berumur antara 280 juta dan 230 juta tahun SM.
Jadi, memanglah benar kalau ada orang yang mengatakan nyamuk itu ternyata cukup tua umurnya di muka bumi. Fosil tertua nyamuk ditemukan di Pulau Isles, kepulauan Inggris, berumur sekira 35 juta tahun (Horsfall WR; 1972). Sekarang bandingkan dengan fosil tertua manusia (Homo sapiens) yang pernah ditemukan orang yang hanya berumur sekira 1,5 juta tahun. Artinya, jelas sekali kalau nyamuk itu lebih dahulu ada di bumi daripada manusia.
Fenomena ini, tentu ada keterkaitan antara tipe bagian mulut nyamuk dengan sumber bahan pakannya. Pada awalnya, sumber pakan darah untuk nyamuk adalah berbagai jenis binatang. Namun, belakangan dengan kehadiran manusia yang semakin meningkat populasinya dan mobilitasnya pada berbagai habitat, spesies-spesies nyamuk pun ada yang berasosiasi dengan manusia dalam bermacam tingkat kedekatannya pada ekosistem yang sama. Makanya, tidak aneh kalau saat ini sejumlah spesies nyamuk itu ada yang menjadi sangat antropofilik (baca: menjadikan manusia di dekat habitatnya menjadi sumber pakan darah utama).
Lebih jauh, kondisi adanya manusia yang berasosiasi secara tidak sengaja dengan nyamuk yang telah berubah perilakunya itu, kehidupan nyamuk menjadi terganggu. Hal ini berdampak pada frekuensi gigitan nyamuk yang juga mengisap darah manusia semakin tinggi, baik malam dan atau siang hari sejalan dengan peningkatan populasi nyamuk itu sendiri yang juga meningkat.
Jadi, keberadaan sifat antropofilik nyamuk (terutama Culicinae dan Anophelinae) itulah yang menimbulkan permasalahan kesehatan sejak awal kehidupan manusia di berbagai zona geografis, khususnya di daerah tropis dan sub tropis. Untuk itulah, setiap kita harus mampu untuk menyiasati nyamuk agar tidak kontak dengan manusia. Lantas, bagaimana seharusnya cara kita menyiasati nyamuk tersebut untuk tidak kontak dengan manusia?
Permasalahan kesehatan yang ditimbulkan oleh adanya aktivitas nyamuk itu sangat beragam. Ada nyamuk yang terbang berputar-putar dekat telinga, tentu hal ini sangat mengganggu dan menimbulkan kebisingan. Suara berdengung nyamuk sangat mengganggu ketenangan istirahat. Lalu, gigitan nyamuk menimbulkan rasa sakit, nyeri, dan mungkin mengakibatkan reaksi alergi kulit dengan peradangan (dermatitis alergik) yang serius pada yang hipersensitif. Di sini, peristiwa yang membahayakan dalam kacamata kesehatan lingkungan adalah nyamuk vektor penyakit yang menginokulasikan berbagai jenis patogen (menyebabkan terjadinya penyakit) yang berbahaya, seperti parasit malaria (plasmodium), virus (dengue, yellow fever, Japanese encephalitis), dan cacing filaria (Wuchereria, Brugia).
Banyak Cara
Secara umum, sebenarnya ada dua alasan untuk pengendalian nyamuk vektor maupun nonvektor penyakit, yaitu dengan cara menghindari gangguan akibat gigitannya dan mencegah penularan penyakit bersumber nyamuk (PBN). Dalam hal ini, masyarakat pasti mengakui bahwa nyamuk merupakan serangga pengganggu. Namun, kebanyakan orang tidak menyadari seberapa besar spesies-spesies nyamuk tertentu di sekitarnya yang menimbulkan risiko penularan penyakit yang berbahaya bagi dirinya. Padahal, kenyataan menunjukkan kalau gangguan kesehatan akibat PBN muncul akibat manusia kontak dengan nyamuk vektor yang infeksiosa, maka putus kontak dengan nyamuk adalah kunci pengendalian PBN. Mungkinkah?
Sejarah memperlihatkan, upaya manusia untuk tidak digigit nyamuk dan tidak ditulari PBN telah lama dilakukan. Misalnya, orang mulai menggunakan pakaian dan selimut yang rapat, menggunakan kelambu, membakar sesuatu di malam hari dekat tempat tidurnya, menggunakan bahan cairan yang digosokkan ke tubuh atau pakaiannya untuk tidak dihinggapi dan digigit nyamuk sepanjang waktu (terutama malam hari). Pokoknya, secara sederhana, upaya manusia untuk tidak kontak dengan nyamuk, mungkin telah ribuan tahun yang lalu. Awalnya mereka bertujuan hanya agar tidak terganggu karena gigitannya, bukan sebagai pencegahan agar tidak tertulari patogen yang dibawa nyamuk.
Upaya-upaya untuk putus kontak dengan nyamuk pada awal peradaban manusia sangat sederhana, mungkin hanya secara fisik dan mekanis. Tapi, sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi seputar ilmu pernyamukan (culicidology) dan aplikasinya, saat ini dikenal berbagai teknik dan cara untuk putus kontak dengan nyamuk. Walau demikian, para pakar masih mencari berbagai cara inovatif, yang tetap memenuhi kriteria rational, effective, efficience, sustainable, acceptable(REESA) untuk berbagai keperluan dan situasi di lapangan. Secara singkat berbagai cara itu dikenal dengan: cara mekanis, cara kimia, cara fisik-termis, dan cara biologis.
Penyiasatan
Menyiasati secara mekanis yaitu berupa pembuatan barrier (penghalang) kontak antara nyamuk-manusia. Cara ini meliputi pemasangan korden pintu dan jendela, kasa penutup lubang-lubang angin di dinding rumah, pemasangan dan pemakaian kelambu tempat tidur, pemakaian mosquito-head nets, berselimut rapat waktu tidur, dan lainnya.
Secara kimia, usaha ini tidak lain berusaha menyiasati agar manusia tidak kontak dengan nyamuk atau sebaliknya dapat digunakan bahan repelen (penolak nyamuk). Seperti kita tahu, nyamuk tertarik kepada manusia untuk mendekat, kemudian hinggap (landing) dan akhirnya mengigit dan mengisap darahnya. Dalam hal ini, ada sejumlah faktor yang menjadi daya tarik nyamuk terhadap hewan dan manusia. Hal itu meliputi faktor fisik dan kimia, antara lain gas karbondioksida dari ekspirasi pernapasan, emanasi panas badan, bahan kimia dalam keringat dan permukaan badan. Selain itu, bisa juga berupa warna tertentu dan tekstur dari pakaian yang dikenakan, dan bahkan bau sabun, parfum, lation, sampo, dan bahan lainnya.
Dalam konteks ini, kelihatannya nyamuk-nyamuk betina tidak menggunakan indera penglihatan atau rabaan dalam aktivitasnya menemukan sumber darahnya. Nyamuk itu tetap terus aktif mencoba menemukan sumber darahnya sewaktu ada gas karbondioksida (CO2) yang semakin meningkat di udara sekitarnya. Mula-mula, arah terbang nyamuk bersifat acak. Ketika ada pancaran udara hangat dan lengus udara lembab dari suatu sumber darah manusia atau hewan ternak, nyamuk akan menunggu beberapa saat. Baru setelah itu, nyamuk memutuskan untuk terbang secara terarah, melacak sumber karbondioksida, udara hangat dan lembap yang menjadi atraktan nyamuk, yang sampai akhirnya ditemukan sasaran terbangnya.
Pakai ”Repelen”
Untuk mengatasi tabiat seperti itu, kita biasanya menggunakan bahan repelen, yaitu bahan kimia atau non-kimia yang berkhasiat mengganggu kemampuan insekta untuk mengenal bahan atraktan asal hewan atau manusia. Dengan kata lain, bahan itu berkhasiat mencegah insekta yang menggigit itu untuk hinggap. Arti lainnya, repelen nyamuk bukanlah bahan yang menolak nyamuk karena bahan itu berbau atau terasa tidak enak bagi nyamuk. Tetapi, karena bahan itu menginduksi proses yang secara halus memblokir fungsi sensori pada nyamuk sasaran. Walau demikian, jika digunakan dengan benar, repelen nyamuk bermanfaat untuk memberikan perlindungan pada individu pemakainya dari gigitan nyamuk selama jangka waktu tertentu.
Selanjutnya, adalah menyiasati secara fisik. Dengan berbasis pengetahuan fisika yang diaplikasikan pada makhluk hidup, telah lama dikembangkan berbagai peralatan sebagai upaya menyiasati nyamuk untuk tidak kontak dengan manusia. Salah satunya adalah berupa alat electronicpest repellers, yaitu alat elektronik yang mengeluarkan suara ultrasonik yang berfrekuensi tinggi dan memiliki daya usir atau menolak kedatangan nyamuk atau bahkan serangga lainnya.
Adapun menyangkut cara biologis, tidak lain bertujuan untuk mencegah dan menghindari kejadian kontak antara nyamuk-manusia. Cara ini juga telah lama dipraktikkan orang, yaitu dengan cara memodifikasi kondisi lingkungan hidup di sekitarnya agar tidak kondusif untuk terjadinya kontak nyamuk-manusia.
Akhirnya, dalam menyiasati untuk tidak kontak dengan dan gigitan nyamuk sebelum digunakan berbagai usaha seperti di atas, berikut ini ada kiat yang dapat kita lakukan, yaitu: tetaplah Anda tinggal di dalam rumah selama waktu jam sibuk dari nyamuk. Biasanya nyamuk banyak aktif menggigit di luar rumah pada waktu magrib dan subuh. Bila terpaksa ke luar rumah, gunakan baju lengan panjang dan celana panjang. Dan jagalah kebersihan sanitasi lingkungan di sekitar rumah, jangan biarkan ada genangan air yang mungkin menjadi tempat berkembangbiak nyamuk.***
Arda Dinata
Penulis adalah dosen di Akademi Kesehatan Lingkungan (AKL) Kutamaya.
Pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia,