MANUSIA dan kebudayaan merupakan sesuatu yang melekat dan saling berinteraksi untuk mencapai yang terbaik sesuai fenomena alamnya. Hal ini bisa dipahami, pasalnya kebudayaan adalah hasil karya-cipta (pengolahan, pengerahan dan pengarahan terhadap alam) manusia dengan kekuatan jiwa (fikiran, perasaan, kemauan, intuisi, imajinasi, inspirasi, dan fakultas ruhaniah lainnya) dan raganya, yang dimplementasikan oleh diri dalam berbagai kehidupan manusia. Yakni sebagai jawaban atas segala tantangan, tuntutan dan dorongan dari intra dan ekstra diri manusia menuju kebahagiaan, keselamatan dan kesejahteraan manusia, baik sebagai individu maupun masyarakat.
Sementara itu, kebudayaan dalam mata Hadji Agoes Salim (1954), adalah persatuan dari budi dan daya menjadi kata dan makna yang sejiwa, tidak lagi menerima dibagi atau dipisah-pisah atas dua maknanya masing-masing. Yaitu budi yang mengandung makna, akal, fikiran, pengertian, faham, pendapat, ikhtiar, atau perasaan; dan daya yang mengandung makna tenaga, kekuatan, kesanggupan.
Dengan demikian kebudayaan mengandung makna leburan antara dua makna tersebut. Artinya himpunan segala usaha dan daya upaya yang dikerjakan dengan menggunakan hasil pendapat budi, untuk memperbaiki sesuatu tujuan mencapai kesempurnaan dengan mempergunakan daya-nya.
Betapa indah dan melegakan hati insan manusia, jika tataran makna kebudayaan itu bersemayam dan benar-benar telah diimplementasikan dalam hidup keseharian masyarakat Indonesia. Sehingga, menyikapi kondisi kekinian di beberapa belahan kota-kota di Indonesia, patut kita kedepankan pertanyaan tentang di manakah diletakan predikat “kebudayaan” pada manusia Indonesia itu? Bukankah, tiap manusia pada hakekatnya merupakan makhluk berbudaya!
* *
BETAPA sedihnya, bila predikat makhluk berbudaya itu telah lepas dari jaket kemanusiaan kita. Ini artinya kita telah memposisikan dirinya sama dengan binatang dan bahkan lebih rendah lagi. Amit-amit, bila hal ini benar-benar menimpa manusia-manusia Indonesia. Sehingga, keinginan mempertahankan predikat makhluk berbudaya itu, tentu bukan hanya sekedar keinginan, tapi yang lebih penting lagi adalah bukti nyata dari perilaku berbudaya dalam hidup keseharian kita.
Beberapa musibah, bencana alam, atau apalah namanya, yang terjadi belakangan ini merupakan catatan nyata atas tidak kekonsistenan “kebudayaan” kita. Kenapa terjadi banjir dan longsor hampir tiap tahun (pada musim hujan)? Dan mengapa terjadi kekurangan air (pada musim kemarau)? Padahal, kalau kita benar-benar fungsikan budi-nya, tentu seharusnya hal tersebut tidak terjadi separah saat ini dan yang telah menyengsarakan banyak orang itu.
Melalui budi-nya (akal, fikiran, pengertian, faham, pendapat, ikhtiar, atau perasaan), manusia sudah selayaknya mampu mengambil pelajaran berarti dari setiap fenomena alam yang terjadi. Dan kemudian menggunakan potensi daya-nya untuk membangunnya. Karena banjir tidak semata-mata datang begitu saja, seandainya lahan untuk menyimpannya tersedia dengan baik. Bukan malah sebaliknya, tandonan resapannya berubah fungsi dengan diganti oleh tembok-tembok bisu yang akan memakan kesunyian, kenyamanan, dan ketenangan tinggal dalam suasana hujan atau pun kemarau.
Di sini, hendaknya kita tidak seenaknya mengatasnamakan pembangunan untuk kepentingan rakyat, lantas kita boleh menebang pohon sembarangan, menutup lahan-lahan terbuka penyimpan air atau mengelola sampah seenaknya (baca: asal buang). Tentu, perilaku demikian bukan merupakan cerminan manusia yang memiliki predikat “berbudaya” itu. Bahkan, perilaku seperti ini akan medatangkan bencana dan kesengsaraan pada dirinya sendiri.
Manusia berbudaya, dengan berbekal akal, fikir dan ikhtiarnya, tentu akan mampu mengoptimalkan potensi dirinya itu untuk berbaik-baik, bersahabat dan mengelola alam semesta ini dengan bijaksana. Yakni pengelolaan alam yang berbudaya.
Oleh karena itu, manusia harus yakin akan firman-firman alam dan ketentuan Sang Maha Pencipta. Bukankah, jauh-jauh hari Allah SWT melalui Alquran telah memberi pedoman dalam memfungsikan “kebudayaan” manusia itu pada pelbagai sisi kehidupan. Diantaranya bagaimana hubungan manusia dengan pencipta-Nya, manusia dengan manusia lain, manusia dengan alam semesta, dan lainnya.
Untuk itu, harus kita akui bahwa banjir yang terjadi belakangan ini merupakan akibat ketidakmampuan atau akibat ulah manusia sendiri yang tidak bertanggungjawab. Dalam kitab Umat Islam, surat Ar-Rum: 41 telah diungkapkan bahwa “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” Kalau kita mau jujur, betapa nyata dan telah kita rasakan bersama akan kebenaran firman-Nya tersebut!
* *
DALAM tataran manusia berbudaya dan terjadinya bencana alam belakangan ini, tentu merupakan sebuah cerminan dari sesuatu hal yang salah dan tidak dioptimalkannya akan kekuatan trisakti yang dimiliki oleh tiap manusia tersebut.
Dalam hal ini, seperti pernah diungkap Ki Hadjar Dewantara, bahwa jiwa manusia telah merupakan “differensiasi” kekuatan-kekuatan terkenal dengan “trisakti”; dan tiga kekuatan itu meliputi: fikiran, rasa dan kemauan atau “cipta-rasa-karsa”. Trisakti inilah yang disebut budi.
Untuk itu, setiap kalangan hendaknya menempatkan dan memfungsikan setiap budi-nya itu dalam pola budaya hidupnya. Lebih tepat, upaya optimalisasi kekuatan “trisakti” manusia itu, juga merupakan sesuatu yang mesti kita bangun sebagai solusi pengendalian bencana yang telah terjadi dewasa ini. Karena tanpa mengoptimalkan kekuatan trisakti ini, maka bukan saja manusia tidak akan memperoleh predikat makhluk berbudi (baca: berbudaya), tapi lebih dari itu, ia akan menjadi tumbal dan menuai kesengsaraan dari buah perilaku yang tidak berbudi dan penempatan potensi daya-nya yang tidak tepat.
Kita yakin, adanya kekuatan trisakti sebagai pembentuk budi manusia tersebut, tidak saja berkuasa untuk memasukkan segala isi alam yang ada di luarnya ke dalam jiwanya ---dengan perataraan “paca inderanya---, namun berkuasa pula untuk “megolah” atau “memasak” segala isi alam yang memasuki jiwanya itu, hingga menjadi “buah”, dan buah budi manusia itu disebut kebudayaan.
Untuk itu, saat ini merupakan waktu yang tepat bagi proses intropeksi peggunaan secara benar akan kekuatan trisakti manusia itu. Yang kemudian kita optimalkan kekuatan tersebut sehingga terbentuk peradaban manusia yang berbudaya, yaitu melalui pola pikir dan analisis intelektual yang telah diberika-Nya.
Mengakhiri tulisan ini, kiranya perlu kita renungkan apa yang telah dirumuskan dalam Musyawarah Antar Seniman Budayawan Islam bahwa “Kebudayaan ialah manifestasi dari ruh, zauq, iradah dan amal (cipta, rasa, karsa, dan karya) dalam seluruh segi kehidupan insani sebagai fihtrah, ciptaan karunia Allah.” Latas, melihat kodisi sekarang, betulkah kita termasuk manusia berbudaya? Bagaimana menurut Anda?***
Penulis adalah dosen tutor di Akademi Kesehatan Lingkungan [AKL] Kutamaya dan bekerja di Loka Litbang P2B2 Ciamis, Balitbangkes Depkes. R.I.