Oleh Arda Dinata
PROBLEMATIKA menyangkut kependudukan dan lingkungan hidup (baca: masalah air) akan terus bergema dalam masa mendatang, apalagi bila kita kaitkan dengan telah diberlakukannya otonomi daerah (Otda). Pakar lingkungan hidup dari Unpad Bandung, Prof. Dr. Otto Soemarwoto, memprediksikan bahwa kerusakan lingkungan hidup di daerah akan makin parah dengan diterapkannya otonomi daerah. Karena penerapan Otda, sangat berkaitan erat dengan keinginan daerah meningkatkan pendapatan asli daerahnya.
Permasalahan air ini tidak saja menyangkut kuantitas (jumlah) yang semakin menurun, juga menyangkut dari segi kualitas air yang ada dipermukaan. Pada daerah Jawa Barat saja, seperti diberitakan PR (27/Juni/2002) dalam dua dekade terakhir, kondisi sungai Citarum menunjukan kondisi yang sangat memprihatinkan. Indeks pencemaran air dari hulu ke hilir berkisar 3 sampai 5, artinya pencemaran air dari tingkat berat sampai sangat berat. Padahal kita tahu, sungai Citarum merupakan sungai utama pada daerah aliran sungai (DAS) Citarum beserta tiga waduk besar yaitu Saguling, Cirata dan Jatiluhur. Kondisi demikian merupakan sumber air tawar terbesar dan memiliki potensi ekonomi yang sangat penting di Jabar.
Untuk menghindari kerusakan lingkungan itu, maka pemerintah daerah harus betul-betul mempersiapkan diri secara matang dan profesional berkait dengan manajemen pengelolaan lingkungan air ini. Yakni semua komponen masyarakat harus memahami betul kondisi mendasar dari kondisi sumber daya alam terpenting bagi keberadaan manusia itu. Kemudian memikirkan bagaimana menerapkan strategi/ manajemen pengelolaan sumber daya air tersebut, yang dapat menjamin kepentingan semua golongan dan kelangsungan hidup manusia?
Sumber Daya Air
Meski air termasuk sumber daya alam yang bisa diperbaharui, namun keberadaannya di lingkungan tetap terancam karena tingkat penggunaan air melebihi tingkat pembaharuannya. Sekilas, memang gagasan pemerasan air bumi tanpak mustahil. Namun, patut diketahui bahwa 4/5 dari permukaan bumi adalah air. Kita tahu air untuk konsumsi manusia harus selalu segar, sedangkan air asin di samudera dan lautan mencapai 97,5% dari total volume air di bumi. Sisanya, sekitar 2/3 terkonsentrasi dalam bentuk kubah-kubah es di wilayah kutub dan air tanah. Sedangkan air segar yang bisa diperbaharui dan secara potensial tersedia untuk konsumsi manusia terdapat di danau, sungai dan waduk, jumlah air segarnya tidak lebih dari 0,007% dari jumlah total air di permukaan bumi.
Kondisi tersebut, di masa lalu mungkin dibilang lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia. Bahkan di tahun 1950, ada 17.000 meter kubik suplai air segar untuk setiap wanita, pria dan anak-anak. Namun karena tingkat pertumbuhan populasi, menjelang tahun 1995 jumlah ini telah berkurang hingga tinggal 7.500 meter kubik air. Jika hal ini terus berlanjut, maka di tahun 2005 hanya akan tersedia 5.100 meter kubik air bagi tiap orang per tahun. Secara demikian, akan timbul masalah kekurangan air yang serius di banyak bagian dunia.
Di Indonesia sendiri, saat ini jumlah penduduknya tidak kurang dari 203 juta orang lebih. Dengan kondisi seperti ini, maka pantas saja bila di Pulau Jawa telah mengalami krisis air. Saat ini ketersediaan air di Pulau Jawa saja tinggal 1.750 meter kubik perkapita pertahun. Padahal, standar kecukupan air mencapai 2.000 meter kubik. Ini artinya, kita benar-benar telah mengalami krisis air.
Sementara itu, sepertiga penduduk dunia pun mengalami masalah serius dalam mendapatkan air segar yang berkualitas baik, sedangkan 2/3 penduduk lainnya masih memiliki persediaan air yang memadai. Proporsi ini akan terbalik di tahun 2025. Di tahun tersebut, jumlah air segar yang layak untuk dikonsumsi yang bisa didapatkan melalui teknologi yang ada, serta dengan biaya yang terjangkau hanya akan berjumlah 1/3 dari jumlah yang dikonsumsi di tahun 1950 (Ervin Laszlo; 1999:10).
Dari sini, maka pembicaraan masalah air telah menjadi perhatian serius badan-badan dunia yang berkait dengan masalah lingkungan, seperti para ahli di Badan Kesehatan Sedunia (WHO), Badan Meteorologi Dunia (WMO), Program Lingkungan PBB dan UNESCO. Mereka memperkirakan pada pertengahan dekade mendatang akan timbul masalah serius dalam hal pengadaan air lokal maupun regional. Di tingkat dunia, menjelang tahun 2030, kurva suplai yang turun akan saling berpotongan dengan kurva permintaan menaik.
Menyikapi kenyataan dan fenomena masalah ini, pemerintah daerah harus benar-benar komitmen dan serius dalam hal pengelolaan air di wilayah kerjanya. Walaupun kita sadar dalam pengelolaan air ini tidak bisa berdiri sendiri dengan daerah lainnya. Tapi, atas alasan telah diterapkannya otda ini, daerah memiliki porsi yang besar dalam pengelolaan sumber daya alam yang dimilikinya. Sehingga masalah ini menjadi sesuatu keniscayaan yang patut ditafakuri oleh kita untuk mencari solusi terbaiknya.
Hal tersebut, kalau tidak dilakukan secara bijaksana, tentu akan menciptakan kondisi tidak layak untuk hidup bagi 2/3 populasi manusia. Selain itu, tanpa diragukan lagi akan menciptakan konflik-konflik sosial dan politik, migrasi massal, penyakit menular, penurunan kesehatan dan kebersihan lingkungan secara besar-besaran.
Pengelolaan Air
Kalau kita kaji dan teliti secara seksama, krisis air itu terjadi disebabkan selain pertambahan jumlah penduduk, juga oleh adanya degradasi lingkungan akibat pembabatan hutan yang dilakukan di daerah aliran sungai (DAS). Dapat dipastikan, akibatnya kawasan ini kehilangan kemampuan daya simpan air di musim kemarau. Adanya pembabatan hutan itu menyebabkan 22 DAS pada tahun 1984 kondisinya kritis. Kondisinya menjadi lebih parah lagi pada 14 tahun kemudian, yaitu jumlah DAS yang kritis bertambah menjadi 58.
Salah satu implikasi terjadinya perubahan lingkungan (baca: kerusakan lingkungan) ini, dijelaskan Homer-Dixon, dkk. (1993), dapat disebabkan oleh kegiatan manusia dalam tiga cara. Pertama, kegiatan manusia dapat menyebabkan penurunan jumlah dan kualitas sumber daya, terutama jika sumberdaya dieksploitasi dengan tingkat kecepatan yang melebihi daya pulihnya. Dikatakan bahwa manusia hidup lebih banyak mengorbankan sumberdaya alam daripada untuk kepentingan sumberdaya tersebut.
Kedua, penurunan atau kelangkaan sumberdaya disebabkan oleh pertumbuhan penduduk. Dengan bertambahnya penduduk, tanah dan air yang jumlahnya tetap sama sudah barang tentu dimanfaatkan oleh lebih banyak orang. Hal ini berarti jumlah pemakaian tanah dan air per orang semakin berkurang.
Ketiga, akses terhadap lingkungan dan sumberdaya alam yang tidak seimbang juga akan menyebabkan banyak persoalan. Akses yang tidak seimbang biasanya disebabkan oleh pranata hukum atau hak kepemilikan yang terkonsentrasi kepada sekelompok kecil masyarakat sehingga menyebabkan kelangkaan hak kepemilikan bagi kelompok lain.
Untuk itu, dalam mengantisipasi krisis air ini, tidak ada salahnya kita belajar dari prinsip keberlanjutan Canadian Water Resource Association untuk manajemen pengelolaan air di Kanada (Mitchell dan Shrubsole, 1994:5), yaitu menerapkan pengelolaan terpadu sumberdaya air dengan mengaitkan kualitas, kuantitas dan pengelolaan air dari sumber lain; mengenali sistem hidrologi, ekologi, sosial dan institusi; mengenali pentingnya batas-batas akuifer dan daerah tangkapan air. Ini langkah yang pertama.
Langkah kedua, mendorong pelestarian air dan perlindungan kualitas air dengan mengenali nilai dan batas sumberdaya air, dan biaya untuk menyediakan air dalam jumlah dan kualitas yang memadai; menyampaikan nilai konsumtif dan non-konsumtif dari air pada manusia dan spesies lain; menyeimbangkan pendidikan, tekanan pasar dan sistem aturan untuk menyadarkan pihak yang mendapat keuntungan agar bertanggung jawab membayar pemakaian sumbernya.
Langkah ketiga, mengatasi isu-isu pengelolaan air dengan melakukan perencanaan, monitoring dan penelitian; menyediakan informasi multi disiplin untuk pengambilan keputusan; mendorong diadakannya konsultasi aktif dan partisipasi seluruh anggota masyarakat; memakai negoisasi dan mediasi untuk mendapatkan kesepakatan; melakukan komunikasi terbuka, pendidikan dan kemudahan akses masyarakat terhadap informasi.
Penutup
Dengan melakukan pemahaman atas kondisi sumberdaya alam saat ini dan melakukan pendekatan seperti diungkap di atas, sehingga kita diharapkan dapat melakukan penyelematan terhadap kondisi air di lingkungan kita sedini mungkin. Dalam mengatasi krisis air ini, kita juga menganggap perlunya memadukan dan menyerasikan tata guna air, tata guna lahan dan tata guna sumberdaya lain dalam satu kesatuan lingkungan yang harmonis. Untuk mewujudkannya, tentu perlu ditunjang dengan pengelolaan lingkungan sosial, ekonomi, budaya yang serasi, melalui pendekatan wilayah dan tata ruang. Selain itu juga harus ada jaminan penyediaan air untuk memenuhi kebutuhan sesuai syarat baku mutu peruntukannya dan segi kuantitasnya.
Akhirnya harus diingat oleh kita bahwa tingkat kemampuan bumi dalam memenuhi kebutuhan manusia terhadap sumber alam tidak ditentukan berapa banyak manusia yang mempergunakan sumber tersebut, melainkan ditentukan jumlah sumber alam yang dikonsumsi setiap orang. Walllahu’alam.***
Penulis adalah pemerhati masalah sosial-lingkungan dan dosen di Akademi Kesehatan Lingkungan (AKL) Kutamaya, Bandung.
Arda Dinata adalah pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia, http://www.miqra.blogspot.com.
PROBLEMATIKA menyangkut kependudukan dan lingkungan hidup (baca: masalah air) akan terus bergema dalam masa mendatang, apalagi bila kita kaitkan dengan telah diberlakukannya otonomi daerah (Otda). Pakar lingkungan hidup dari Unpad Bandung, Prof. Dr. Otto Soemarwoto, memprediksikan bahwa kerusakan lingkungan hidup di daerah akan makin parah dengan diterapkannya otonomi daerah. Karena penerapan Otda, sangat berkaitan erat dengan keinginan daerah meningkatkan pendapatan asli daerahnya.
Permasalahan air ini tidak saja menyangkut kuantitas (jumlah) yang semakin menurun, juga menyangkut dari segi kualitas air yang ada dipermukaan. Pada daerah Jawa Barat saja, seperti diberitakan PR (27/Juni/2002) dalam dua dekade terakhir, kondisi sungai Citarum menunjukan kondisi yang sangat memprihatinkan. Indeks pencemaran air dari hulu ke hilir berkisar 3 sampai 5, artinya pencemaran air dari tingkat berat sampai sangat berat. Padahal kita tahu, sungai Citarum merupakan sungai utama pada daerah aliran sungai (DAS) Citarum beserta tiga waduk besar yaitu Saguling, Cirata dan Jatiluhur. Kondisi demikian merupakan sumber air tawar terbesar dan memiliki potensi ekonomi yang sangat penting di Jabar.
Untuk menghindari kerusakan lingkungan itu, maka pemerintah daerah harus betul-betul mempersiapkan diri secara matang dan profesional berkait dengan manajemen pengelolaan lingkungan air ini. Yakni semua komponen masyarakat harus memahami betul kondisi mendasar dari kondisi sumber daya alam terpenting bagi keberadaan manusia itu. Kemudian memikirkan bagaimana menerapkan strategi/ manajemen pengelolaan sumber daya air tersebut, yang dapat menjamin kepentingan semua golongan dan kelangsungan hidup manusia?
Sumber Daya Air
Meski air termasuk sumber daya alam yang bisa diperbaharui, namun keberadaannya di lingkungan tetap terancam karena tingkat penggunaan air melebihi tingkat pembaharuannya. Sekilas, memang gagasan pemerasan air bumi tanpak mustahil. Namun, patut diketahui bahwa 4/5 dari permukaan bumi adalah air. Kita tahu air untuk konsumsi manusia harus selalu segar, sedangkan air asin di samudera dan lautan mencapai 97,5% dari total volume air di bumi. Sisanya, sekitar 2/3 terkonsentrasi dalam bentuk kubah-kubah es di wilayah kutub dan air tanah. Sedangkan air segar yang bisa diperbaharui dan secara potensial tersedia untuk konsumsi manusia terdapat di danau, sungai dan waduk, jumlah air segarnya tidak lebih dari 0,007% dari jumlah total air di permukaan bumi.
Kondisi tersebut, di masa lalu mungkin dibilang lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia. Bahkan di tahun 1950, ada 17.000 meter kubik suplai air segar untuk setiap wanita, pria dan anak-anak. Namun karena tingkat pertumbuhan populasi, menjelang tahun 1995 jumlah ini telah berkurang hingga tinggal 7.500 meter kubik air. Jika hal ini terus berlanjut, maka di tahun 2005 hanya akan tersedia 5.100 meter kubik air bagi tiap orang per tahun. Secara demikian, akan timbul masalah kekurangan air yang serius di banyak bagian dunia.
Di Indonesia sendiri, saat ini jumlah penduduknya tidak kurang dari 203 juta orang lebih. Dengan kondisi seperti ini, maka pantas saja bila di Pulau Jawa telah mengalami krisis air. Saat ini ketersediaan air di Pulau Jawa saja tinggal 1.750 meter kubik perkapita pertahun. Padahal, standar kecukupan air mencapai 2.000 meter kubik. Ini artinya, kita benar-benar telah mengalami krisis air.
Sementara itu, sepertiga penduduk dunia pun mengalami masalah serius dalam mendapatkan air segar yang berkualitas baik, sedangkan 2/3 penduduk lainnya masih memiliki persediaan air yang memadai. Proporsi ini akan terbalik di tahun 2025. Di tahun tersebut, jumlah air segar yang layak untuk dikonsumsi yang bisa didapatkan melalui teknologi yang ada, serta dengan biaya yang terjangkau hanya akan berjumlah 1/3 dari jumlah yang dikonsumsi di tahun 1950 (Ervin Laszlo; 1999:10).
Dari sini, maka pembicaraan masalah air telah menjadi perhatian serius badan-badan dunia yang berkait dengan masalah lingkungan, seperti para ahli di Badan Kesehatan Sedunia (WHO), Badan Meteorologi Dunia (WMO), Program Lingkungan PBB dan UNESCO. Mereka memperkirakan pada pertengahan dekade mendatang akan timbul masalah serius dalam hal pengadaan air lokal maupun regional. Di tingkat dunia, menjelang tahun 2030, kurva suplai yang turun akan saling berpotongan dengan kurva permintaan menaik.
Menyikapi kenyataan dan fenomena masalah ini, pemerintah daerah harus benar-benar komitmen dan serius dalam hal pengelolaan air di wilayah kerjanya. Walaupun kita sadar dalam pengelolaan air ini tidak bisa berdiri sendiri dengan daerah lainnya. Tapi, atas alasan telah diterapkannya otda ini, daerah memiliki porsi yang besar dalam pengelolaan sumber daya alam yang dimilikinya. Sehingga masalah ini menjadi sesuatu keniscayaan yang patut ditafakuri oleh kita untuk mencari solusi terbaiknya.
Hal tersebut, kalau tidak dilakukan secara bijaksana, tentu akan menciptakan kondisi tidak layak untuk hidup bagi 2/3 populasi manusia. Selain itu, tanpa diragukan lagi akan menciptakan konflik-konflik sosial dan politik, migrasi massal, penyakit menular, penurunan kesehatan dan kebersihan lingkungan secara besar-besaran.
Pengelolaan Air
Kalau kita kaji dan teliti secara seksama, krisis air itu terjadi disebabkan selain pertambahan jumlah penduduk, juga oleh adanya degradasi lingkungan akibat pembabatan hutan yang dilakukan di daerah aliran sungai (DAS). Dapat dipastikan, akibatnya kawasan ini kehilangan kemampuan daya simpan air di musim kemarau. Adanya pembabatan hutan itu menyebabkan 22 DAS pada tahun 1984 kondisinya kritis. Kondisinya menjadi lebih parah lagi pada 14 tahun kemudian, yaitu jumlah DAS yang kritis bertambah menjadi 58.
Salah satu implikasi terjadinya perubahan lingkungan (baca: kerusakan lingkungan) ini, dijelaskan Homer-Dixon, dkk. (1993), dapat disebabkan oleh kegiatan manusia dalam tiga cara. Pertama, kegiatan manusia dapat menyebabkan penurunan jumlah dan kualitas sumber daya, terutama jika sumberdaya dieksploitasi dengan tingkat kecepatan yang melebihi daya pulihnya. Dikatakan bahwa manusia hidup lebih banyak mengorbankan sumberdaya alam daripada untuk kepentingan sumberdaya tersebut.
Kedua, penurunan atau kelangkaan sumberdaya disebabkan oleh pertumbuhan penduduk. Dengan bertambahnya penduduk, tanah dan air yang jumlahnya tetap sama sudah barang tentu dimanfaatkan oleh lebih banyak orang. Hal ini berarti jumlah pemakaian tanah dan air per orang semakin berkurang.
Ketiga, akses terhadap lingkungan dan sumberdaya alam yang tidak seimbang juga akan menyebabkan banyak persoalan. Akses yang tidak seimbang biasanya disebabkan oleh pranata hukum atau hak kepemilikan yang terkonsentrasi kepada sekelompok kecil masyarakat sehingga menyebabkan kelangkaan hak kepemilikan bagi kelompok lain.
Untuk itu, dalam mengantisipasi krisis air ini, tidak ada salahnya kita belajar dari prinsip keberlanjutan Canadian Water Resource Association untuk manajemen pengelolaan air di Kanada (Mitchell dan Shrubsole, 1994:5), yaitu menerapkan pengelolaan terpadu sumberdaya air dengan mengaitkan kualitas, kuantitas dan pengelolaan air dari sumber lain; mengenali sistem hidrologi, ekologi, sosial dan institusi; mengenali pentingnya batas-batas akuifer dan daerah tangkapan air. Ini langkah yang pertama.
Langkah kedua, mendorong pelestarian air dan perlindungan kualitas air dengan mengenali nilai dan batas sumberdaya air, dan biaya untuk menyediakan air dalam jumlah dan kualitas yang memadai; menyampaikan nilai konsumtif dan non-konsumtif dari air pada manusia dan spesies lain; menyeimbangkan pendidikan, tekanan pasar dan sistem aturan untuk menyadarkan pihak yang mendapat keuntungan agar bertanggung jawab membayar pemakaian sumbernya.
Langkah ketiga, mengatasi isu-isu pengelolaan air dengan melakukan perencanaan, monitoring dan penelitian; menyediakan informasi multi disiplin untuk pengambilan keputusan; mendorong diadakannya konsultasi aktif dan partisipasi seluruh anggota masyarakat; memakai negoisasi dan mediasi untuk mendapatkan kesepakatan; melakukan komunikasi terbuka, pendidikan dan kemudahan akses masyarakat terhadap informasi.
Penutup
Dengan melakukan pemahaman atas kondisi sumberdaya alam saat ini dan melakukan pendekatan seperti diungkap di atas, sehingga kita diharapkan dapat melakukan penyelematan terhadap kondisi air di lingkungan kita sedini mungkin. Dalam mengatasi krisis air ini, kita juga menganggap perlunya memadukan dan menyerasikan tata guna air, tata guna lahan dan tata guna sumberdaya lain dalam satu kesatuan lingkungan yang harmonis. Untuk mewujudkannya, tentu perlu ditunjang dengan pengelolaan lingkungan sosial, ekonomi, budaya yang serasi, melalui pendekatan wilayah dan tata ruang. Selain itu juga harus ada jaminan penyediaan air untuk memenuhi kebutuhan sesuai syarat baku mutu peruntukannya dan segi kuantitasnya.
Akhirnya harus diingat oleh kita bahwa tingkat kemampuan bumi dalam memenuhi kebutuhan manusia terhadap sumber alam tidak ditentukan berapa banyak manusia yang mempergunakan sumber tersebut, melainkan ditentukan jumlah sumber alam yang dikonsumsi setiap orang. Walllahu’alam.***
Penulis adalah pemerhati masalah sosial-lingkungan dan dosen di Akademi Kesehatan Lingkungan (AKL) Kutamaya, Bandung.
Arda Dinata adalah pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia, http://www.miqra.blogspot.com.