Dampak Perubahan Iklim Terhadap Kesehatan di Jawa Barat
Oleh: Arda Dinata
(NIM: 16/403188/PKU/16006 - Minat: Kesehatan Lingkungan)
Latar Belakang
Perubahan iklim telah jadi isu nasional maupun internasional. Selama ini belum adanya publikasi secara resmi terkait informasi tentang kondisi perubahan iklim secara lengkap seluruh wilayah Indonesia.
Jawa Barat merupakan pulau yang berpenduduk padat, sebagai pusat perekonomian, pusat pemerintahan dan juga sebagai pusat pertanian sangat memerlukan informasi perubahan iklim tersebut. Apalagi, Jawa Barat sendiri merupakan wilayah yang rentan terhadap bencana banjir, longsor, kekeringan dan lainnya. Oleh karena itu, informasi secara spasial tentang wilayah-wilayah yang rentan terhadap perubahan iklim sangat diperlukan untuk menentukan strategi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di wilayah tersebut.
Menurut Hadi Suyono, trend dryspell maksimum (jumlah hari tidak hujan maksimum secara berturut-turut) wilayah di Jawa Barat yang mengalami kenaikan yang cukup tajam antara lain daerah barat laut Majalengka, wilayah Tasik dan beberapa tempat lain sekitar Karawang serta wilayah pantai utara Bekasi. Sedangkan, wetspell maksimum (jumlah hari hujan maksimum secara berturut-turut) terjadi kecenderungan naik di wilayah Garut, sebelah barat Bandung, daerah sekitar Depok dan Bogor. Dan frekuensi hujan lebat (kejadian curah hujan > 60 mm per hari) ialah pada wilayah yang mengalami kecenderungan naik di sebelah timur Majalengka dan beberapa tempat lain tetapi tidak begitu tajam.(1)
Tulisan ini mencermati dampak perubahan iklim terhadap kesehatan di wilayah Jawa Barat dan bagaimana kegiatan adaptasi yang dilakukan untuk menghadapi perubahan iklim tersebut?
Histori Kondisi Iklim Indonesia
Bukti ilmiah antara 1906-2005, rata-rata suhu permukaan global meningkat dengan laju 0.74°C ± 0.18° (IPCC, 2007) mengakibatkan perubahan iklim di berbagai tempat, termasuk di Indonesia. Perubahan iklim akan memberikan dampak pada berbagai sektor kehidupan. Keberlanjutan pelaksanaan kegiatan pembangunan akan terganggu apabila tidak dilakukan upaya-upaya adaptasi yang terencana untuk mengatasi dampak perubahan iklim. Oleh karena itu, dalam penyusunan rencana aksi adaptasi diperlukan landasan ilmiah yang kuat agar upaya adaptasi yang dilakukan efektif dan menjamin keberlanjutan pembangunan.(2)
Lebih lanjut diungkapkan Kementerian PPN/Bappenas (2013), secara histori kondisi iklim Indonesia bahwa pola hujan di Indonesia ini sangat bervariasi dan secara umum dibagi menjadi tiga tipe hujan yang dominan, yakni monsunal, ekuatorial, dan lokal.
Untuk tren perubahan suhu permukaan sendiri, berdasarkan hasil kajian secara umum trend data jangka panjang menunjukkan konsistensi laju peningkatan suhu 0.002°C/tahun atau 0.02°C/dekade; dan laju kenaikan suhu meningkat cepat setelah tahun 1960-an. Tren kenaikan suhu permukaan laut (SPL) adalah memiliki tren kenaikan SPL semakin tinggi; sejak 1905 laju kenaikan rata-rata: 0.7°C/100 tahun; di wilayah Indonesia, tren kenaikan berkisar 0.8-1.5°C/100 tahun; tren kenaikan tersebut masih sebanding dengan tren kenaikan temperatur global sebesar 0.78 ± 0.18°C (IPCC, 2007).
Adapun tren kenaikan tinggi muka laut (TML) untuk periode 1960-2008, TML di Indonesia memiliki laju peningkatan sebesar 0.8 mm/tahun; dan tren melonjak naik menjadi 7 mm/tahun dari tahun 1993. Tren kenaikan TML ini lebih tinggi terjadi di wilayah Indonesia bagian timur dibandingkan di Indonesia bagian barat.
Sementara itu, tren perubahan curah hujan, terlihat ada kenaikan curah hujan untuk Desember-Januari-Februari (DJF) terjadi di hampir seluruh Pulau Jawa dan Indonesia bagian timur, seperti Bali, NTB, dan NTT. Untuk curah hujan Juni-Juli-Agustus (JJA), tren penurunan yang signifikan dapat ditemui di hampir seluruh wilayah Indonesia, kecuali Pandeglang (Jawa Barat), Makassar (Sulawesi Selatan), Manokwari, Sorong (Papua), dan Maluku. Adapun tren kejadian cuaca dan iklim ekstrem, yaitu telah terjadi peningkatan peluang curah hujan ekstrem harian di sebagian wilayah Indonesia, kecuali beberapa wilayah di Maluku, dalam kurun waktu kurang lebih selama 10 tahun selama 1998-2008.
Dampak Perubahan Iklim
Perubahan iklim ialah perubahan pada indikator-indikator iklim seperti suhu permukaan, curah hujan, suhu permukaan laut, tinggi muka laut, serta kejadian iklim dan cuaca ekstrem. Adapun potensi dampak perubahan iklim ini akan berdampak pada bidang-bidang yang terkait dengan sistem pembangunan nasional, ekonomi, tatanan kehidupan, ekosistem, serta wilayah khusus.
Dampak kenaikan suhu permukaan itu berakibat langsung pada manusia, tumbuhan, dan hewan seperti serangga. Dampak lainnya, ialah munculnya potensi peningkatan konsumsi energi pada wilayah tropis seperti Indonesia, mengakibatkan evapotranspirasi berlebihan pada tumbuhan, timbulnya kebakaran hutan, serta pengembangbiakan serangga lebih cepat dan luas.
Untuk itu, adanya kejadian iklim dan cuaca ektrem tersebut memiliki beragam dampak yang spontan dan masif sehingga perlu diadaptasi dalam bentuk upaya pengelolaan penanggulangan bencana. Sesuai dengan Hyogo Framework (ISDR, 2005), integrasi adaptasi perubahan iklim dengan pengurangan risiko bencana merupakan suatu tantangan baru untuk disinergikan pada sistem pembangunan nasional.(2)
Adapun faktor yang berpengaruh perubahan iklim terhadap ketahanan pangan, antara lain adalah curah hujan, temperatur, produksi beras, serta aspek akses terhadap pangan yaitu masalah kemiskinan. Berdasarkan data dari Global Precipitation Climatology Centre (GPCC) telah dilakukan analisis rata-rata curah hujan tiap 30 tahunan, hasilnya menunjukkan bahwa pola curah hujan Jawa Barat selama 90 tahun (1901-1990) tidak mengalami perubahan yang nyata. Akan tetapi dalam dua dekade terakhir (1991-2007) terjadi perubahan yang cukup berarti. Terlihat awal musim kering bergeser ke bulan Juli yang sebelumnya bulan Juni dan akhir musim kering bergeser ke bulan November. Curah hujan bulan September sampai Desember juga lebih rendah dari rata-rata 90 tahun sebelumnya, sedangkan rata-rata curah hujan bulan April-Juni lebih tinggi dari rata 90 tahun sebelumnya.(3)
Sebagai negara kepulauan, Indonesia sangat rentan terhadap dampak ganda perubahan iklim. Meskipun kepastian mengenai besarnya bahaya masih belum dapat dipastikan, namun menurut catatan Bank Dunia beberapa yang diperkirakan akan sangat signifikan adalah:(4)
(1) Kenaikan temperatur yang tidak terlalu tinggi. Temperatur rata-rata tahunan di Indonesia telah mengalami kenaikan 0.30C (pengamatan sejak 1990). Tahun 1998 merupakan tahun terpanas dalam abad ini, dengan kenaikan hampir 10C (di atas rata-rata dari tahun 1961-1990).
(2) Curah hujan yang lebih tinggi. Diperkirakan, akibat perubahan iklim, Indonesia akan mengalami kenaikan curah hujan 2-3 persen per tahun, serta musim hujan yang lebih pendek (lebih sedikit jumlah hari hujan dalam setahun), yang menyebabkan resiko banjir meningkat secara signifi kan. Hal ini akan merubah keseimbangan air di lingkungan dan mempengaruhi pembangkit listrik tenaga air dan suplai air minum.
(3) Kenaikan permukaan air laut. Daerah berpopulasi padat akan sangat dipengaruhi oleh kenaikan permukaan air laut. Ada sekitar 40 juta masyarakat Indonesia yang bermukim dalam jarak 10 m dari permukaan air laut rata-rata, yang berarti sangat rentan terhadap perubahan permukaan air laut.
(4) Ketahanan pangan. Perubahan iklim akan mengubah curah hujan, penguapan, limpasan air, dan kelembapan tanah; yang akan mempengaruhi produktivitas pertanian. Kesuburan tanah akan berkurung 2-8 persen dalam jangka panjang, yang akan berakibat pada penurunan produksi tahunan padi sebesar 4 persen, kedelai sebesar 10 persen, dan jagung sebesar 50 persen. Sebagai tambahan, kenaikan permukaan air laut akan menggenangi tambak di pesisir, dan berpengaruh pada produksi ikan dan udang di seluruh negeri.
(5) Pengaruh pada keanekaragaman bahari. Diperkirakan bahwa iklim yang berubah akan meningkatkan suhu air laut Indonesia sebesar 0.2-2.50C. Hal ini akan menambah tekanan pada 50,000 km terumbu karang, yang sudah dalam keadaan darurat. Pemutihan terumbu karang diperkirakan akan meningkat secara konstan pada suhu air laut, seperti yang diamati pada saat terjadinya El Nino.
(6) Peningkatan berjangkitnya penyakit yang dibawa air dan vektor. Walaupun hubungan antara perubahan iklim dan masalah kesehatan belum banyak diteliti, ada potensi bahwa berjangkitnya penyakit yang dibawa air dan vector akan meningkat. Beberapa berspekulasi bahwa peningkatan berjangkitnya kasus demam berdarah selama musim hujan di Indonesia, sebagiannya mungkin saja disebabkan oleh iklim yang lebih hangat.
Efek Perubahan Iklim Terhadap Kesehatan
Perubahan iklim didefinisikan sebagai perubahan signifikan dari iklim maupun variabilitas iklim yang menetap dalam jangka waktu yang lama (satu dekade) atau seterusnya (IPCC, 2001). Perubahan iklim dapat disebabkan oleh proses perubahan alamiah internal (misalnya badai El Nino) maupun eksternal (seperti perubahan persisten yang diinduksi oleh aktivitas manusia, berupa perubahan komposisi udara dan perubahan peruntukan tanah).
Efek perubahan iklim akan tidak sama di semua tempat. Walaupun efek perubahan iklim dan konsekuensi pemanasan global tidak dimengerti secara pasti, beberapa efek langsung terhadap pajanan peningkatan temperatur dapat diukur, seperti peningkatan kejadian penyakit yang berhubungan dengan kenaikan temperatur, peningkatan angka kematian karena gelombang udara panas seperti yang terjadi di Perancis tahun 2003. Menurut Prof. H. Soedjajadi Keman, dr., MS., Ph.D., berikut ini beberapa efek perubahan iklim terhadap kesehatan manusia, yaitu:(5)
Penyakit Non-Wabah. Penggunaan teknologi pengindraan jarak jauh Geographical Information System (GIS) memungkinkan peningkatan pemetaan risiko (geographical risk mapping) beberapa penyakit non-wabah yang berhubungan dengan perubahan iklim, misal penyakit cacing perut, schistizomiasis dan filariasis. Terdapat sedikit variasi musim terhadap kejadian penyakit infeksi cacing, tetapi terdapat beberapa bukti bahwa kelembaban tanah adalah sangat penting yang sangat dipengaruhi oleh perubahan iklim, presipitasi air hujan dan vegetasi (WHO, 2004).
Penyakit Diare. Terdapat variasi musiman dalam penyakit diare, di mana pada peningkatan temperatur berhubungan dengan peningkatan jumlah penderita diare yang masuk rumah sakit. Studi terhadap orang Peru menunjukkan bahwa penderita diare yang masuk rumah sakit meningkat sebanyak 4% untuk setiap peningkatan temperatur 10C di musim kemarau, dan meningkat 12% untuk setiap peningkatan temperatur 10C di musim penghujan.
Perubahan iklim diprediksi berdampak terhadap penyakit diare seperti kholera, karena perubahan curah hujan menyebabkan banjir di musim penghujan yang berakibat epidemi dan sebaliknya terjadi kekeringan di musim kemarau. Perubahan ini juga berdampak terhadap penyediaan air bersih dan sanitasi yang adekuat, serta juga tersedianya makanan yang higienis dan kemampuan menerapkan praktek higiene yang baik.
Adaptasi Nyamuk. Pemanasan global yang terjadi menyebabkan perubahan iklim dan cuaca di seluruh dunia, dimana sebagian belahan dunia menjadi lebih kering, sebagian menjadi lebih basah. Sebagian dunia ada yang menjadi lebih panas dan sebagian lagi menjadi lebih dingin, semua itu mempengaruhi spesies yang hidup didalamnya, khususnya nyamuk yang sangat peka terhadap perubahan cuaca yang terjadi secara cepat. Perubahan iklim secara tidak langsung mempengaruhi distribusi, populasi, serta kemampuan nyamuk dalam beradaptasi (Patz, 2006).
Nyamuk Aedes sebagai vektor DBD hanya berkembang biak pada daerah tropis yang suhunya > 16oC dan pada ketinggian < 1.000 m dpl. Sekarang nyamuk tersebut banyak ditemukan pada ketinggian 1.000–2.195 m dpl. Pemanasan global menyebabkan suhu beberapa wilayah cocok untuk berbiak nyamuk Aedes, di mana nyamuk ini dapat hidup optimal pada suhu antara 24-28oC. Mudah difahami bahwa perubahan iklim karena pemanasan global memperluas ruang gerak nyamuk Aedes sehingga persebaran daerahnya menjadi lebih luas.
Perluasan persebaran daerah ini akan meningkatkan risiko terjangkitnya penyakit DBD di suatu daerah yang sebelumnya belum pernah terjangkit. Secara umum dapat dikatakan bahwa perubahan iklim meningkatkan curah hujan yang meningkatkan habitat larva nyamuk sehingga meningkatkan kepadatan populasi nyamuk. Peningkatan kelembaban juga meningkatkan agresivitas dan kemampuan nyamuk menghisap darah dan berkembang biak lebih cepat.
Sementara itu, prubahan iklim juga dapat berpengaruh terhadap penyebaran penyakit malaria dengan cara: (1) peningkatan distribusi penyakit malaria, di mana saat ini epidemi malaria dibatasi oleh temperatur, sekarang mungkin terjadi di area yang baru; (2) atau sebaliknya menurunkan distribusi karena daerah ini menjadi terlalu kering untuk nyamuk untuk secara cukup jumlahnya menularkan penyakit; (3) peningkatan atau penurunan bulan-bulan penularan; (4) meningkatkan risiko wabah lokal di daerah dimana penyakit malaria diberantas tetapi vektor masih terdapat, seperti di Inggris atau Amerika Serikat.
Program Kampung Iklim di Jawa Barat
Kampung iklim ialah suatu lokasi yang masyarakatnya melakukan upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim secara terukur dan berkesinambungan. Program kampung iklim merupakan program yang memberikan pengakuan terhadap partisipasi aktif masyarakat yang telah melaksanakan upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang terintegrasi, sehingga dapat mendukung target penurunan emisi gas rumah kaca nasional dan meningkatkan ketahanan masyarakat terhadap dampak perubahan iklim.
Sementara itu, adaptasi diartikan sebagai upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan dalam menyesuaikan diri terhadap perubahan iklim, termasuk keragaman iklim dan kejadian iklim ekstrim sehingga potensi kerusakan akibat perubahan iklim berkurang, peluang yang ditimbulkan oleh perubahan iklim dapat dimanfaatkan, dan konsekuensi yang timbul akibat perubahan iklim dapat diatasi. Berikut ini beberapa kegiatan dalam adaptasi perubahan iklim di Jawa Barat tersebut, yaitu:(6)
Pertama, pengendalian kekeringan, banjir dan longsor. Kegiatannya yang dapat dilakukan berupa: Pemanenan Air Hujan (pembuatan embung, kolam, sistem penampungan air hujan melalui talang); Peresapan Air (pembuatan lubang resapan biopori, sumur resapan, bangunan terjunan air/rorak, saluran pengelolaan air); Perlindungan mata air (pembuatan aturan, penjagaan dan pemeliharaan, upacara adat); Penghematan air (penggunaan kembali air untuk keperluan tertentu, pembatasan penggunaan air); Penyedian sarana dan prasarana pengendalian banjir (membangun saluran saluran drainase, kanal, kolam retensi, rumah pompa, pengerukan/pemeliharaan drainase atau sungai/elokan); Sistem peringatan dini (adanya alat komunikasi tradisional, alat komunikasi jarak jauh untuk menginformasikan apabila ada bencana, rute evakuasi); Rancang bangun yang adaptif (meninggikan struktur bangunan, design rumah apung, design rumah panggung); Terasering (pesawahan dan lahan pertanian dibuat secara terasering); Penanaman vegetasi (penanaman dalam rangka upaya penanggulangan erosi/longsor, penanganan lahan kritis).
Kedua, peningkatan ketahanan pangan. Kegiatannya yang dapat dilakukan berupa: Sistem pola tanam (melakukan penanaman secara tumpang sari); Sistem irigasi (pengaturan air untuk pertanian telah dilakukan dengan sistem irigasi dengan pengaturan waktu); Pertanian terpadu (melakukan kombinasi antara tanaman semusim, perikanan, peternakan, perkebunan, kehutanan); Pengelolaan potensi lokal (mengembangkan tanaman lokal di pekarangan rumah); Penganekaragaman hayati (selain menanam padi, masyarakat juga melakukan pertanian yang lain dilokasi sawah mereka dengan menanam umbi-umbian dan kacang); Sistem dan teknologi (pengelolaan lahan dan pemupukan); Teknologi pemuliaan tanaman dan ternak (pengelolaan lahan tanpa bakar, sisa panen digunakan sebagai pupuk organik; penanaman padi hemat air, padi apung, padi organik; penyilangan varietas tanaman atau hewan ternak yang tahan terhadap perubahan iklim); Pemanfaatan lahan pekarangan (Pengembangan tanaman sistem tabulapot dan memanfaatkan lahan pekarangan menanam sayuran dsb.).
Ketiga, penanganan atau antisipasi kenaikan muka air laut. Kegiatannya yang dapat dilakukan berupa: Stuktur pelindung alamiah (penanaman vegetasi pantai dan perlindungan gumuk pasir dan terumbu karang); Stuktur pelindung buatan (membangun sea wall, pemecah ombak, green belt, terumbu buatan, pintu air pasang surut); Stuktur kontruksi bangunan (meninggikan bangunan, rumah panggung, rumah apung); Relokasi pemukiman (penataan aturan batas sempadan pantai); Penyediaan air bersih (pengendalian pengambilan air tanah, penampungan air hujan); Sistem pengelolaan pesisir terpadu (wana wisata); Mata pencaharian (alternatif budidaya kepiting, udang pengganti ikan).
Keempat, pengendalian penyakit terkait iklim. Kegiatannya yang dapat dilakukan berupa: Pengendalian vektor (terdapat juru pemantau jentik/jumantik; masyarakat telah melaksanakan gerakan 3M); Sistem kewaspadaan dini (kewaspadaan dini terhadap penyakit diare, DBD, dan Malaria); Sanitasi dan air bersih (memiliki rumah yang sehat; tersedianya akses air bersih dan jamban); PHBS (perilaku mencuci tangan dengan sabun).
Jadi, pembangunan berkelanjutan sangat krusial dalam kerangka mitigasi yang sukses terhadap perubahan iklim. Tidak hanya generasi mendatang saja yang berada dalam ancaman bahaya, beberapa masyarakat di wilayah tertentu telah mengalami dampak perubahan iklim seperti pulau-pulau kecil dan beberapa negara sedang berkembang. Tindakan nyata dalam rangka mitigasi dampak perubahan iklim membutuhkan: fokus pada keadilan dan kesinambungan pembangunan dengan bekerja pada berbagai tingkatan; bekerja sama secara konstruktif pada tingkat internasional; dan kebijakan nasional yang kuat dan juga secara individual.***
Daftar Pustaka
(1) Hadi Suyono. Deteksi Kecenderungan Perubahan Iklim Dengan Menggunakan Indeks Curah Hujan di Jawa Barat. Bandung: Pusat Iklim dan Kualitas Udara.
(2) Kementerian PPN/Bappenas (2013). Perubahan Iklim dan Dampaknya di Indonesia. Jakarta: Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN-API).
(3) Suriadi, A.B. (2010). Perubahan Iklim Dan Ketahanan Pangan di Jawa Barat. Globë Volume 12 No.1 Juni 2010: 48-56.
(4) Bank Dunia. Adaptasi Perubahan Iklim. Jakarta: Policy Brief: Berinvestasi untuk Indonesia yang Lebih Berkelanjutan. Diakses tanggal 30 November 2016. www.worldbank.org/id
(5) Prof. H. Soedjajadi Keman, dr., MS., Ph.D. Dampak Perubahan Iklim Terhadap Kesehatan. Surabaya: Uninersitas Airlangga. Diakses tanggal 30 November 2016. http://slideplayer.info/slide/3728838/
(6) Kurniadi, S.Hut. (2013). Pelaksanaan Program Kampung Iklim di Jawa Barat. Purwakarta: Penyusun Bahan Adaptasi Perubahan Iklim. BPLHD Provinsi Jawa Barat, Purwakarta 23 Desember 2013.
(7) IPCC (2007). Climate Change 2007: Synthesis Report. Contribution of Working Group I, II, and III to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Cambridge University Press: New York.