DAYAK sebagai Suku Bangsa, dalam Ensiklopedia
Nasional Indonesia (Jilid 4) terbitan PT. Delta Pamungkas (2004: 259),
disebutkan bahwa garis keturunan ditarik secara patrilineal. Bentuk kekerabatan
yang penting adalah keluarga luas. Keluarga luas menetap pada rumah besar yang
disebut bentang atau balai. Di rumah besar ini pulalah orang
Dayak mengadakan upacara dan kegiatan keagamaan. Gabungan keluarga luas
biasanya berorientasi pada satu nenek moyang asal yang sangat dihormati.
Penghormatan terhadap roh nenek moyang berkaitan erat dengan sistem kepercayaan
mereka.
Disebutkan lebih jauh dalam buku tersebut, sistem kepercayaan orang
Dayak, yang meliputi kepercayaan terhadap roh, disebut kaharingan. Mereka percaya bahwa roh orang mati akan menuju suatu
tempat yang disebut Alam Datu Tunjung
Punu Gamari.
Untuk mencapai tempat alam itu, diperlukan upacara-upacara khusus
untuk keselamatan para roh dan keluarganya yang masih hidup. Kegiatan upacara
keagamaan dipimpin oleh walian (belian). Selain itu, ada pula pemimpin
informal lain, misalnya pangulu, mantir, dan pembakal. Secara keseluruhan, sistem pengetahuan orang Dayak
dikaitkan dengan sistem kepercayaan mereka. Pengetahuan tentang bertani, ilmu
gaib, dan sebagainya selalu dikaitkan dengan kepercayaan tentang roh nenek
moyang.
Dengan demikian, hasil-hasil budaya orang Dayak juga berkaitan dengan
kepercayaan tentang roh tersebut. Kesenian mereka umumnya dibuat untuk
keperluan upacara adat dalam rangka menghormati nenek moyang dan menuntun roh
orang mati ke tempat yang ditujunya. Upacara yang menonjol adalah yang
berkaitan dengan roh, yakni upacara membatur
dan membuntang.
Sementara itu, saya dan tim peneliti ini akan tinggal bersama Suku
Dayak Kanayatn di Rumah Panjang Desa Saham. Rumah Panjang ini didirikan pada
tahun 1875 (Sumber: Indonesia West
Kalimantan Tourism Potential of Landak Regency; Ngabang, Agustus 2003). Dinamakan
rumah panjang karena bentuknya memanjang. Padahal, didalamnya terdiri dari
petak-petak rumah yang saling bersatu. Rumah Panjang (Radakng) ini terdiri dari
35 tangga, 35 pintu dan panjang 180 meter yang di huni oleh Suku Dayak Kanayatn
Dusun Saham.
Kehidupan sosial masyarakatnya masih memegang teguh adat istiadat,
tradisi budaya dan kehidupan bersama (gotong royong). Di rumah panjang tersebut
terdapat seniman pemahat ukiran kayu belian (ulin) dan kayu keras lainnya. Lokasi
Radakng ini terletak di Dusun Saham
Desa Saham Kecamatan Sengah Temila. Terletak 52 km dari Ngabang (ibu kota
Kabupaten Landak), dan ditempuh dengan menggunakan mobil selama 1,5 jam.
**
08.00
Abertus (46 tahun) adalah profil seorang seniman Dayak yang setia pada
profesi dan budayanya. Hasil karyanya menghiasi sudut salah satu ruangan Rumah
Panjang di Desa Saham. Patung-patung itu bercerita tentang kebudayaan Dayak dan
obsesi pembuatnya.
Patung Motif Seorang Ibu Sedang
Menyusui Karya Abertus, Seniman Ukir Etnik Dayak Kanayatn Desa Saham.
(Sumber: Dokumentasi Peneliti).
|
Iber, nama panggilan keseharian Abertus. Ia, sekarang terkena stroke.
Kaki dan tangan bagian kanannya lumpuh. Sulit digerakkan. Kondisinya, ketika
saya berkunjung ke rumah petaknya, ternyata sedang menjalani terapi. Pematung
Dayak ini, sekarang benar-benar puasa menghasilkan karya dan sembunyi di Rumah
Panjang Desa Saham, Kec. Sengah Temila Kab. Landak.
Iber ini dikaruniai 2 orang putra yang masinng-masing masih duduk di
kelas 2 dan 5 Sekolah Dasar (SD). Sebelum terkena stroke, dia cukup produktif
menghasilkan karya seni. Terbukti masih banyaknya ukiran, patung dan lukisan
yang ada di Galeri Seni Talenta Jubata Radakng
Sahapm miliknya.
Dengan terbata-bata dan dibantu istrinya, Albertus menceritakan masa
lalunya. “Dalam seni patung kasar dan halusnya pahatan menggambarkan suasana hati
dari pematungnya,” kata bapak kelahiran kesembilan dari 10 bersaudara pasangan
Paya dan Sainom ini.
Selanjutnya, berkat bantuan Bruder MTB selama 3 tahun (1993-1996) ia
pernah ikut pendidikan pada Sasana Hasta Karya di Bali. Hasil pendidikan
tersebut di samping menekuini seni patung, ia juga menguasai seni lukis dan
relief (panel).
Pematung otodidak putra asli Dayak Kanayatn yang mulai serius mematung
setelah ia menamatkan SMA di Pahuman pada tahun 1989 ini, mengaku dalam membuat
sebuah patung memerlukan beberapa proses yang cukup rumit.
Iber menceritakan, kalau terbentuknya sebuah patung tidak mudah. Tahap
pertama adalah mencari bahan baku. Kayu ulin, rengas, nangka, dll dapat dibuat
patung. Mencari kayu butuh pengorbanan yang tidak sedikit. “Saya lebih suka
menggunakan kayu yang sudah dibentuk oleh alam seperti kayu berlin yang telah
lama tenggelam di sungai,” katanya.
Sebab, menurutnya kayu yang sudah terbentuk oleh alam mempunyai
lekuk-lekuk tertentu yang dibentuk sendiri oleh alam sehingga menambah
keindahan suatu patung. Untuk mencari kayu-kayu dimaksud tersebut, terkadang ia
harus rela menyelam di dasar sungai-sungai.
Kemudian barulah memahat menuruti ide yang ada. Selesainya sebuah
patung tidak tentu waktunya, kadang-kadang 3 hari dan kadang 3 bulan. Bahkan terkadang
setahun tergantung ide dan suasana hati si pematungnya.
Dari beberapa hasil karya seni patung Dayak yang dihasilkannya,
ternyata saya melihat begitu banyak patung dan relief dengan aneka macam motif.
Mulai dari pantak (patung khas Dayak
yang mengandung makna spiritual), rumah panjang, motif keagamaan, dan
kesehatan.
Saya sendiri sangat tertarik pada motif patung seorang ibu yang sedang
menyusui. Saya menemukan ada 3 buah patung tentang ibu menyusui ini yang
dipajang di ruang galeri seninya. Dalam pikiran saya, bapak Abertus ini tentu
telah memiliki rasa kepedulian dan punya minat yang tinggi dalam kesehatan ibu
dan anak (KIA). Terutama tentang pentingnya ibu menyusui.
Ide yang melatar belakangi pembuatan patung ibu yang sedang menyusui
itu adalah ketika Pak Iber melihat ibu-ibu sedang menyusui.
“Menyusui itu sangat perlu. Dan sebenarnya masih banyak yang mesti
kita lihat dari seorang ibu. Terutama, yang pertama, dia adalah seorang ibu.
Kedua, untuk menjadi seorang ibu itu perlu pertimbangan yang matang. Ketiga,
seorang ibu adalah pengayom bagi anak-anaknya. Dan sebenarnya masih banyak
lagi. Tapi, saya susah mengingatnya,” papar Pak Albertus terbata-bata
mengucapkannya yang didampingi oleh istrinya.
Uniknya, meski mematung sudah menjadi pekerjaannya, Iber tidak
menetapkan harga patungnya. ”Saya tidak pernah menetapkan harga. Konsumen
sendiri menilainya. Biasanya saya hanya menceritakan bagaimana proses
penciptaannya, proses mencari dan lama pembuatannya. Saya mau orang menghargai
karya,” tuturnya diplomatis. Pengalaman selama ini patung Iber dihargai cukup
tinggi, berkisar antara Rp. 200 ribu sampai jutaan per buah.
Selama ini, pengakuan seniman asli Dayak ini tidak tertarik untuk ke
luar Rumah Panjang, karena ia ingin mewujudkan rumah bentang sebagai pusat seni
dan budaya orang Dayak. Jadi, harus dipertahankan. Turis-turis asing yang
berkunjung ke Rumah Panjang pun di samping ingin mengetahui pola kehidupan
sehari-hari orang Dayak, juga ingin tahu tentang seni dan budaya di Rumah
Panjang.
**
13.00
Cuaca di Desa Saham cukup cerah. Bahkan matahari begitu memperlihatkan
keperkasaannya. Efek panasnya matahari begitu terasa di bagian depan Rumah
Panjang Suku Dayak Kanayatn ini.
Oh...iya... di Radakng (Rumah Panjang) ini memiliki bagian-bagian
khas. Bagian paling depan disebut pante.
Berfungsi sebagai tempat menjemur baju, padi, dll. Bagian kedua, yang berada
setelah ruang pante adalah ruang sami. Rungan ini adalah ruang untuk babini. Ruang tempat berkumpul,
musyawarah, bermain, dll). Bagian ketiga adalah ruang keluarga (bilik).
Ketiga bagian tersebut, tiap petak rumah sama bentuknya. Baru
selanjutnya ruang kamar tidur. Jumlah ruang kamar tidur ini tiap petak
berbeda-beda. Termasuk ukurannya pun berbeda-beda sesuai kebutuhan
masing-masing. Selanjutnya ada ruang dapur dan kamar mandi/wc yang posisinya
berada paling belakang.
Selain itu, pada bagian belakang ini ada kandang ternak, seperti babi
dan ayam. Walaupun sebagaian besar ternak babi ini banyak yang tidak
dikandangkan. Dibiarkan berkeliaran sehingga sangat menganggu kebersihan
lingkungan dari kotorannya. Termasuk merusak tanaman sayur-sayuran yang ada di
sekitar belakang halaman rumah.
Siang ini, saya mengobrol dengan seorang bapak yang cukup umur. Nama
bapak ini adalah Jaes (70 tahun). Beliau tempat tinggalnya ada di rumah petak
paling ujung sebelah kiri. Posisinya paling ujung dan masuk dari tangga pertama
di Rumah Panjang Saham.
Saya coba menanyakan seputar masalah kebiasaan pada masa hamil. Bagi
wanita hamil di sini, ketika makan diusahkan menggunakan daun simpuh. Posisi daunnya
di bagian bawah dilubagi sedikit.Tujuannya agar pada waktu melahirkan nanti
jadi mudah melahirkan.
Makanan yang dijadikan pantangan adalah makan talas. Sebab
dihawatirkan nanti bisa merekat pada bayinya. Susah melahirkan. Selanjutnya,
pada waktu sore-sore tidak boleh keluar rumah. Cukup sampai ruangan sami.
Selain itu, pantangan buat ibu yang telah melahirkan untuk keluar
rumah selama 7 hari setelah melahirkan. Jadi, mandi dan makan selama waktu 7
hari tersebut cukup berada di dalam rumah. Dan pada waktu 7 hari setelah
melahirkan ini dilakukan adat Batalah.
Yakni syukuran keselamatan anak dan ibunya.
Sementara itu, menurut ibu Mita (58 tahun). Ibu yang sudah mempunyai
cucu 2 ini, ibu hamil tidak ada pantangan makanan yang aneh. Cuman, menurut ibu
Mita untuk ibu yang melahirkan itu pada hari ke 7 ada acara syukuran.
Terkait dengan siapa yang berperan dalam mengambil keputusan untuk menggunakan pelayanan kesehatan atau dukun bayi. Ibu Mita mengungkapkan bahwa suami dan istri melakukan diskusi atau musyawarah dengan mertuanya.***
Rumah Radakng, 10 Mei 2014
Arda Dinata