Oleh: ARDA DINATA*)NABI Muhammad Saw benar-benar kekasih Allah, yang dalam segala pintu kehidupannya patut ditauladani. Karena Rasulullah sebagai Quran yang terejawantahkan. Aisyah ditanya oleh seseorang, “Wahai Aisyah! Bagaimanakah akhlak Rasulullah itu?” Aisyah menjawab, “Akhlak Rasulullah itu adalah Alquran.” (Al-Hadis).
Sumber Inspirasi, Ilmu, dan Amal |
Untuk menjadi keluarga Rasulullah (baca: menauladaninya), sebetulnya banyak pintu yang dapat kita lakukan. Kita bisa mulai dari profesi/aktivitas yang sedang kita jalani.
Pertama, sebagai kepala negara dan diplomat.
Selaku kepala negara, Nabi Saw mencerminkan sebagai pemimpin yang adil, sangat memperhatikan keselamatan dan kesejahteraan umatnya, belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mu’min. (QS. 9: 128). Nabi menyatakan, “Akan ada suatu hari, dimana pada hari itu tidak akan ada perlindungan Allah SWT, kecuali bagi tujuh golongan manusia, satu diantaranya mereka adalah pemimpin yang adil.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Oleh karena itu, sesungguhnya pengkhianatan yang paling berat adalah pengkhianatan para pemimpin yang diamanahi mengurus orang banyak (HR. Buhkari). Sehingga dalam mengelola pemerintahannya, Nabi Saw berkata, “Demi Allah aku tidak akan menunjuk seseorang untuk menduduki suatu posisi yang dimintanya atau yang sangat berhasrat untuk mendapatkan posisi itu.” Begitu pun dalam penegakkan hukum, Nabi menempatkan hukum secara adil. Rasulullah berkata, “Demi Allah! Sekiranya Fatimah putriku mencuri, niscaya akan aku potong tangannya.” (Al- Hadis).
Sementara itu, selaku diplomat yang ulung dan bijaksana, Nabi Saw tidak pernah mengingkari suatu perjanjian yang telah disetujuinya bersama dengan pihak musuh. Rasulullah mengajarkan bahwa janji harus dipenuhi walau dengan musuh sekalipun. Seperti diamanatkan Allah dalam firman-Nya, hai orang-orang yang beriman penuhilah janji-janji itu. (QS. 5: 1).
Kedua, sebagai pedagang, pebisnis, dan pelaku pertanian.
Salah satu ajaran Nabi Saw dalam berdagang adalah melarang adanya pemalsuan termasuk didalamnya mengurangi timbangan dan ukuran. Hal ini ditegaskan dalam Alquran, kecelakaan besar bagi orang-orang yang curang (dalam menakar dan menimbang). Yaitu orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi. Dan sebaliknya bila mereka menakar atau menimbang, mereka menguranginya.
Dalam berdagang dan berbisnis, Nabi Saw sangat menekankan nilai kejujuran. Nabi mengatakan, “Saudagar yang jujur dan dapat dipercaya akan dimasukkan ke dalam golongan para nabi, orang-orang jujur, dan para syuhada.” (HR. Tirmidzi). Secara tegas, Nabi melarang janganlah kamu sekalian satu sama lain saling hasad, tipu-menipu, dan janganlah (merebut) membeli atau menjual (barang) yang sedang atau hendak dibeli atau dijual oleh orang lain. Dan jadilah kamu sekalian hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim adalah saudara bagi orang muslim lainnya. Haram ia menganiaya, enggan membela, mendustainya dan menghinanya (HR. Bukhari).
Rasul pun melarang berjual beli dengan cara melemparkan batu dan menipu (HR. Muslim). Rasul menyeru umatnya untuk tidak mencegat barang dagangan sebelum sampai di pasar (HR. Bukhari dan Muslim). Selain itu, Jabir meriwayatkan bahwa Rasul mengutuk riba, orang yang membayarnya, orang yang menerimanya dan dua orang saksinya, seraya bersabda: “Mereka semua sama.” (HR. Muslim). Demikian pun Allah akan melaknat penjual yang menimbun barang dan akan memberi rezeki pada pedagang yang mau menjual secara spontan (HR. Ibnu Majah). Sementara dalam bidang pertanian, Nabi Saw pernah menyatakan dalam salah satu hadisnya, apabila hampir tiba saatnya qiamat sedang di antara kamu ada yang masih menggenggam bibit pohon (kurma), maka tanamlah! Baginya dengan perbuatan itu mendapat pahala.
Ketiga, sebagai prajurit dan panglima perang.
Nabi Saw adalah sosok pahlawan dalam peperangan dan sebagai prajurit yang gagah perwira. Tidak kurang dari 37 kali pertempuran pada masa kepemimpinannya, 35 kali diantaranya langsung dipimpin oleh sendiri. Jika kita melihat dan membaca sejarah dari bekas-bekas pertempuran yang ada di sekitar kota Madinah, maka dapat tersimpulkan kalau Nabi Saw dalam berperang lebih banyak bersikap defensif (mempertahankan) daripada offensif (menyerang).
Dalam berperang kita diajarakan supaya memerangi orang-orang yang menyerang terlebih dahulu tetapi tidak boleh berlebihan. Jika pihak penyerang menghentikan permusuhannya maka tidak ada permusuhan lagi, kecuali terhadap orang dzalim. Sebaliknya, jika pihak yang menyerang itu bertindak melampaui batas maka hendaklah dibalas dengan tindakan seimbang (baca: QS. 2: 190-194).
Keempat, sebagai Ulama dan Muballigh.
Nabi Saw merupakan seorang Ulama yang tekun ibadah. Satu riwayat menyebutkan bahwa kaki beliau pernah mengalami bengkak-bengkak disaat beliau banyak melakukan shalat dan kholawat. Rasulullah selaku Muballigh yang lincah, tidak mengenal lelah. Satu tablighnya yang terkenal di Thaif menjelang Isro dan Mi’raj, beliau telah disambut dengan lemparan batu dan potongan besi oleh pemuda berandalan yang dipersiapkan sehingga beliau luka parah. Dan pada saat Nabi Saw masih dihujani batu dan potongan besi, beliau masih sempat berdoa, “Ya, Allah, jangan Kau turunkan siksa kepada mereka yang melempariku. Sebab mereka bukan orang jahat, tapi mereka orang yang belum tahu bahwa aku adalah Rasul-Mu. Tunjukkan mereka kepada jalan-Mu yang benar dan ampunilah mereka serta sayangi mereka.” Hal ini, menunjukkan kalau Nabi dalam berdakwah dihadapinya dengan sabar dan pemaaf.
Dakwah Rasul pun tidak hanya dengan lisan, melainkan juga melalui tulisan, mengirim surat kepada raja-raja dan pejabat-pejabat negara yang penting. Misalnya, raja Najasyi bernama Ashimah di Habsyi, raja Hiraqlius (raja Rum), kedua-duanya menyambut baik surat Rasulullah itu. Justru yang disebut pertama, ia langsung masuk Islam. Berbeda dengan raja Persi, ia menyambut surat Rasul itu dengan kesombongan dan merobek-robek surat itu, tetapi akhirnya ia menerima balasan dari Allah SWT, kerajaannya dikalahkan oleh kerajaan Romawi. Sebaliknya pembesar Mesir bernama Muqauqis, telah membalas seruan Rasulullah itu dengan baik dan mengiriminya berbagai hadiah.
Kelima, sebagai kepala keluarga.
Tidak semua orang berhasil membangun rumah tangga sejahtera dan bahagia. Tapi, Nabi Saw telah berhasil membangun rumah tangga bahagia itu dengan istrinya. Sikap Rasul terhadap istrinya tercermin dalam ungkapannya bahwa sempurna-sempurnanya iman seseorang mu’min ialah yang paling baik akhlaknya, dan sebaik-baiknya kamu adalah yang paling baik terhadap istrinya. Sebaliknya Rasul pun mengajarkan kepada wanita bagaimana seharusnya berlaku baik terhadap suami. Jika aku dibolehkan menyuruh seseorang sujud terhadap orang lain pasti aku suruh seorang istri supaya sujud terhadap suaminya (HR. Turmudzi).
Waktu mendidik anak, Nabi berpesan, didiklah anak-anakmu untuk bisa melakukan shalat. Biasakan mereka melakukan kebaikan, sebab kebaikan itu (karena) kebiasaan (HR. Baihaqi). Rasul pun di rumahnya bersikap seperti layaknya orang kebanyakan. Beliau pernah menambal bajunya, memerah susu kambingnya, dan mengerjakan sendiri pekerjaan rumahnya (HR. Ahmad dan Tirmidzi). Namun, betapapun beliau sibuk dengan pekerjaan rumahnya, jika waktu shalat beliau segera mngerjakan shalat berjamaah terlebih dahulu (HR. Muslim). Sedangkan dalam mengatur rezeki Nabi berpesan, apabila kamu seorang yang fakir, maka mulailah dengan dirimu sendiri. Jika ada kelebihan, maka berikanlah kepada keluargamu. Dan jika masih berlebihan maka berikanlah kepada kerabat. Dan jika masih berlebih juga maka bersedekahlah kepada siapa yang engkau kehendaki (HR. Ahmad & Muslim).
Keenam, sebagai anggota masyarakat.
Nabi Saw selaku anggota masyarakat, juga telah banyak mengajarkan bagaimana hidup sosial bermasyarakat. Secara umum, Nabi Saw mengatakan, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (HR. Muslim). Dalam hidup bertetangga, Nabi mengingatkan, tidak masuk surga bagi orang yang tetangganya tidak merasa aman karena ulah perbuatannya (HR. Muslim). Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah dia berbuat baik kepada tetangganya dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hendaklah memuliakan tamunya (HR. Muslim).
Kita juga diajarkan untuk tidak sombong dan harus berteman karena Allah. Nabi mengungkapkan, kesombongan ialah orang mendustakan kebenaran dan menganggap remeh orang lain (HR. Muslim). Dalam hadis qudsi riwayat Thabrani, Allah berfirman, “Mereka yang berteman satu sama lain karena Aku, berhak memperoleh cinta-Ku dan mereka yang saling membantu antar sesamanya karena Aku, berhak memperoleh cinta-Ku ….” Pokoknya, siapa yang melepaskan kesusahan seseorang mukmin di dunia, maka Allah akan melepaskan kesusahannya di akhirat kelak! Keimanan seseorang pun tidak diakui jika ia tidak sanggup mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri (HR. Bukhari & Muslim).
Akhirnya, kita berdoa kepada Allah SWT, Ya Allah, Engkau telah membaguskan kejadianku maka dari itu baguskanlah juga oleh Engkau budi pekertiku (HR. Al-Hakim dan Baihaqi). Dan berilah kekuatan serta kemampuan kepadaku untuk menauladani budi pekerti seperti keluarga Rasulullah. Amin…. Wallahu a’lam.***
*) Pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam [MIQRA] Indonesia, http://miqra.blogspot.com.