API itu sifatnya panas. Keberadaannya
bisa memberi cahaya dan juga kalau tidak hati-hati, justru bisa membahayakan dan
membakar benda-benda di sekitarnya. Sedangkan kesulitan sendiri diartikan
sebagai sesuatu tantangan yang bikin sulit dalam kehidupan seseorang. Jadi,
dampak keberadaan api kesulitan itu sebenarnya tergantung bagaimana Anda menyikapinya.
Kalau Anda berfikir positif, maka adanya kesulitan itu akan mendewasakan pribadi
Anda.
Dalam
hal ini, Andrias Harefa mengatakan, “Jika kesulitan dan tantangan hidup
diibaratkan api, maka kayu atau emaskah aku? Jika aku kayu, habislah terbakar
oleh api, menjadi orang yang meratapi nasib, pesimis, dan suka menggerutu. Jika
aku emas, makin murnilah aku dibakar api kesulitan, menjadi orang yang kuat,
optimis, dan mudah bersyukur. Dan karena aku tidak bisa memilih kesulitan yang
akan datang menimpaku, maka aku harus memutuskan apakah aku ingin menjadi kayu
atau emas bila kesulitan datang mendera?”
Pada
konteks perkawinan, saya kira tidak jauh berbeda, api kesulitan itu akan datang
menghampiri tiap pasangan perkawinan. Yang membedakan adalah sikap kita dalam
mengambil keputusan terhadap kesulitan itu. Dalam bahasa lain, bila datang api kesulitan
dalam perkawinan, lantas Anda mau berperan sebagai apa, kayu atau emas?
Kalau
Anda berperan sebagai kayu, maka masalah dan kesulitan yang mendera dalam
perkawinan itu, tentu akan dihadapinya dengan sikap terus meratapi kesulitan,
berjiwa pesimis, dan menggerutu, kenapa kesulitan itu datang. Akhirnya masalah
tersebut tidak terselesaikan, dan benar-benar jadi masalah.
Sebaliknya,
ketika Anda memposisikan diri sebagai emas. Justru, keberadaan kesulitan tersebut
akan memurnikan status perkawinan Anda. Yakni perkawinannya menjadi semakin
kuat, optimis, dan mudah bersyukur. Perkawinan kuat, karena adanya masalah
telah membuat suami-istri menjadi semakin lebih dewasa dan kokoh. Optimis
memandang masalah, berarti menyakini kalau kesulitan itu sejatinya diapit oleh
dua kemudahan, sehingga Anda tidak perlu berputus asa menghadapinya. Lalu, bersyukurlah
dalam perkawinan. Sebab, datangnya kesulitan itu membuat Anda terus berpikir
dan menjadi lebih dewasa dalam bersikap.
Untuk
itu, agar Anda dapat menghadapi datangnya api kesulitan perkawinan dengan baik,
sehingga tidak berujung menjadi badai ketidakharmonisan dalam rumah tangga, maka
paling tidak ada enam langkah yang harus diperankan dalam perilaku keseharian perkawinan
Anda.
1. Berdoalah untuk kebaikan pasangan Anda. Sebab, doa itu adalah senjata yang dapat menjadi penghalau datangnya kesulitan dalam hidup keluarga Anda.2. Bersikap baik pada pasangan Anda. Sikap baik akan berbuah kebaikan. Kesulitan itu, sejatinya akibat perilaku kita sendiri. Untuk itu, jangan salahkan orang lain. Bila kesulitan perkawinan itu datang, maka bersikap dan berbuat baiklah pada pasangan Anda.3. Kendalikan emosi Anda. Adanya masalah dan kesulitan dalam perkawinan itu adalah sesuatu yang wajar. Untuk itu, jangan perburuk masalah tersebut dengan sikap emosional Anda yang tidak terkendali.4. Lakukan introspeksi. Mengaca diri itu baik dan perlu. Introspeksi adalah sesuatu yang patut kita lakukan setiap saat. Lebih-lebih, bila Anda mendapatkan masalah dalam perkawinan. Dari perilaku introspeksi inilah akan lahir solusi dari masalah yang Anda hadapi.5. Evaluasilah pernikahan Anda. Evaluasi adalah sikap untuk melihat kelebihan dan kekurangan, sehingga kita bisa mengambil keputusan bagaimana bertindak selanjutnya. Untuk itu, lakukanlah evaluasi pernikahan Anda secara periodik. Lebih-lebih, pada saat ada masalah dalam perkawinan Anda.6. Terbuka atas nasehat dari pasangan Anda. Suami/istri adalah orang yang paling dekat. Dialah orang yang lebih tahu dari kelebihan dan kekurangan Anda. Jadi, bila ada kesulitan atau masalah dalam perkawinan, cobalah untuk didiskusikan dan bersikap terbuka atas nasehat dari pasangan Anda. Sebab, dia adalah orang yang menyayangi Anda.
Akhirnya, semoga langkah-langkah tersebut dapat dilakukan dengan
benar sehingga kita dapat mengarungi perkawinan ini dengan rasa rela. Dengan
rasa rela itulah, diharapkan sikap kita dalam mementaskan hidup ini diberi
kesempatan untuk menjadi yang lebih baik. Imam Syafi’i pernah mengatakan, “Biarkan hari-hari bertingkah semaunya.
Buatlah diri ini rela ketika ketentuan-Nya bicara. Dan jangan gelisah dengan
kisah malam. Tidak ada kisah dunia ini yang abadi.“ (Arda Dinata, pengasuh Majelis
Inspirasi Alquran dan Realitas Alam/MIQRA Indonesia).***