Zaman Edan dan Predikat Religius Indonesia
Oleh: ARDA DINATA
PREDIKAT negeri yang religius, beradab dan bermoral merupakan sesuatu yang menyejukkan sekaligus membikin hati ini berbangga diri. Siapa sih orangnya yang tidak mau menerima predikat semacam itu. Namun demikian, bukan berarti tidak ada konsekuensi yang mesti dinilai melalui bahasa tingkah laku.
Adanya predikat religius yang melekat dalam keseharian negeri ini, harusnya telah melahirkan suatu temperamen keteladanan dari mereka yang bersemayam di dalamnya. Keteladanan adalah bahasa tingkah laku yang adil dan tidak akan mudah dibohongi. Di kala negeri ini sangat sulit menemukan pigur dari predikat kereligiusannya, maka hati kecil kita pasti gelisah dan perih untuk menerima kenyataan serta mempertanggung jawabkan “buku religius” yang kepalang mendera rapor negeri ini.
Sungguh tidak sedikit, keganjilan dan kemunafikan itu muncul dan bertebaran di sisi-sisi kehidupan rakyat Indonesia. Mulai dari kalangan bawah sampai (lebih-lebih) kalangan elite yang sering kali terekspos oleh berbagai media massa. Korupsi, praktek amoral, hilangnya kedamaian dan kasih sayang sesama manusia ---seperti yang diusung ajaran Pancasila--- hanyalah sebuah nyanyian anak-anak jalanan. Ia hanya untuk mendapat pujian dan imbalan alakadarnya. Yang kadangkala ia berujung cacian dan tak bernilai sepeserpun.
Memang dalam hidup ini, seperti diakui Muhammad Subarkah, sepanjang matahari masih bersinar, kejahatan dan perbuatan anomali lainnya memang akan terus ada. Dan ceritanya tidak ada yang baru, tetap berkisar pada lingkup wilayah yang ada di sekitar pakaian dalam wanita: underrok. Dengan segala kemasan teknik cerita, alurnya akan sama saja. Persis syair lagu lama yang diulang terus-menerus.
Kota Sarang Maksiat
“Bacalah buku, maka Anda akan mendapat sesuatu yang baru,” ujar seorang bijak. Buktinya, memang benar. Dengan membaca buku kita mendapatkan sesuatu (bisa informasi atau fakta) baru yang dapat membuat hati ini menjadi tenang atau sebaliknya menjadi gelisah karena berisi kemunafikan yang terjadi antara kenyataan dan isi buku.
Paling tidak, hal itu didapat ketika Anda membaca buku karya Moammar Emka (2003), seorang santri dan jebolan IAIN Jakarta, yang berjudul: “Jakarta Undercover: Sex ‘n the City”, hati kita akan gelisah membaca fakta-fakta kemaksiatan yang terjadi di ibu kota Jakarta.
Melalui karya jurnalistik Jakarta Undercover-nya itu, Moammar tanpa basa-basi malah mengatakan bahwa Jakarta sama brengseknya dengan ‘kota-kota bangsat’ dunia lainnya. Dalam bahasa Subarkah, Moammar memang diakui sebagai manusia ‘berhati singa’. Santri ini berani berterus terang bahwa Jakarta, meski tetap mengumandangkan adzan lima kali sehari, ternyata sudah tidak lebih dari Hongkong, Las Vegas, atau New York. Semua tidak ada bedanya. Bahkan terkesan menjadi lebih seram, karena anomali itu dilakukan di tengah suasana klaim khotbah religius dari para pengelola kotanya. Tak peduli itu orang Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, animisme, atau penganut agnostik sekalipun. Meskipun bejat, Jakarta enggan mengakui dirinya sebagai kota sarang maksiat.
Paling tidak, kita akan merinding tak kala melahap isi buku karya Moammar ini. Pasalnya, kita akan dibawa dalam cerita realitas kehidupan malam kota Jakarta. Moammar menceritakan sedikitnya 24 model ‘ritual’ seks di dunia malam yang tidak sembarang orang bisa masuk ke dalamnya.
Ada pesta nudies bawah tanah. Pesta ini dilakukan oleh puluhan laki-laki dan perempuan dalam sebuah pesta yang semuanya telanjang bulat. Tarifnya sangat mahal, karena untuk menjadi members selama enam bulan, seorang peserta harus membayar Rp 50 juta dengan pesta minimal dua kali.
Ada juga ‘Arabian Nite Bachelor Party’. Ini adalah pesta melepas ‘lanjang’ bagi laki-laki, sebelum ia melaksanakan pernikahan yang sah. Dinamakan ‘Arabian Nite’ karena wanita-wanita yang melayani kaum lanjang itu menggunakan cadar, namun mereka hanya menggunakan BH dan celana model Aladin dengan perut terbuka. Tarifnya Rp 20 juta untuk satu paket.
Selain itu, ada ‘Seks Bulan Madu Pajero Goyang’. Ini adalah gaya permainan seks di atas mobil-mobil mewah sekelas Pajero, BMW, atau Mercy sambil berkeliling kota Jakarta dengan tarif Rp 5 Juta. Pemilik bisnis ini mendesain mobil-mobil mewahnya menjadi sebuah kamar yang dengan jok kemudinya disekat sedemikian rupa. Ada pula ‘Seks Sandwich Sashimi Girls’, yakni sebuah pesta di mana daging sashimi (masakan khas Jepang) disuguhkan di atas wanita cantik yang tanpa sehelai pun busana. Itu baru pembuka sebelum pesta perayaan pelampiasan nafsu dilakukan.
Itulah beberapa fakta yang membikin merinding bila kita membacanya. Jadi, ibu kota Jakarta benar-benar ibarat makanan gado-gado, semua tumplek menjadi satu. Ekstrimnya, meminjam bahasa Subarkah, jangankan cuma cari surga dunia, di Jakarta neraka dunia pun tersedia! Naudzubillah.
Zaman Edan
Berbagai kerusuhan, pembunuhan, perzinaan, dan kemelut keresahan masyarakat di kota Jakarta dan kota-kota besar lainnya kerap kali terjadi. Fenomena ini merupakan pertanda zaman fitnah (baca: edan) seperti yang pernah disabdakan Rasulullah saw. Sayangnya, masyarakat kurang memperhatikan sabda beliau sehingga tidak siap untuk menghadapi dan mengantisipasinya. Bahkan, di antara kita tidak jarang larut dalam keedanan.
Harusnya kita sadar betul akan makna hidup di dunia. Yakni kita diajarkan bahwa lingkungan alam merupakan politik yang paling adil. Artinya setiap kejadian alam yang terjadi harus menjadi bahan tafakur buat diri kita masing-masing. Sebagai contoh, bencana yang terjadi di kota Jakarta dan beberapa daerah lainnya, haruslah ditafakuri sebagai suatu cermin diri atas derajat religius perilaku kita. Bisa jadi, itu semua menjadi peringatan, pelajaran, atau azab yang menimpa kita. Inilah pelajaran hidup berlandaskan hikmah.
Aktualitasnya, bisa kita renungkan. Dulu, kota Jakarta paling tidak kalau musim hujan terjadi banjir dan pada musim kemarau terjadi kebakaran. Tapi, belakangan ini, pada satu musim ---baik musim kemarau ataupun hujan---, kedua bencana itu sering kali terjadi bergantian. Oleh karena itu, kita hendaknya harus mampu memaknai gejolak kehidupan yang mengarah pada ciri-ciri zaman edan tersebut dengan sikap yang bijaksana.
Dari beberapa keterangan hadis Rasulullah saw, kita menemukan tentang akan datangnya suatu masa atau zaman yang penuh dengan berbagai fitnah. Makna fitnah, ini bisa bermakna merajalelanya kerusuhan, pembunuhan, dan segala macam kemaksiatan, sehingga orang-orang beriman menghadapi tantangan luar biasa. Yang mengakibatkan mereka bingung menghadapi keadaan ini. Rasulullah saw menggambarkan banyak orang yang pagi harinya beriman, tetapi sore harinya kafir, atau sebaliknya.
Keadaan tersebut, diterjemahkan secara bebas oleh Drs.M Thalib (2000), dengan kata zaman edan. Dalam bahasa Indonesia kata edan menggambarkan orang yang tidak berakal atau melakukan perbuatan-perbuatan yang berlawanan dengan akal sehat.
Lebih jauh M Thalib dalam buku “25 Ciri Zaman Edan dan 20 Langkah Menghadapinya”, mengungkapkan ciri-ciri zaman edan itu diantaranya: masyarakat berebut mengumpulkan harta; umat Islam lebih cinta dunia dan benci mati; orang shalih lenyap; orang mencari ilmu Islam dari ahli bid’ah; banyak penyeru kesesatan; masjid dan Alquran hanya menjadi hiasan; muslim berat berpegang teguh pada sunnah Rasulullah; banyak terjadi kudeta; banyak orang tidak berbudaya menjadi pemimpin; penguasa memerintah tanpa ilmu dan menggunakan orang jahat sebagai pendukungnya; egoisme merajalela; banyak orang merusak janji dan amanah; watak plin-plan merajalela; banyak orang makan dengan lidahnya; perempuan miskin memaksakan diri meniru perempuan kaya; hiburan maksiat merajalela; perzinaan di mana-mana; yang kuat memakan yang lemah; kedurjanaan dan kedzaliman merajalela; sendi-sendi moral hancur; banyak terjadi kelaparan; banyak penyakit lumpuh dan kematian mendadak; keputusasaan merajalela; umat Islam saling bunuh; dan terjadi pembersihan etnis Arab di negeri ‘Ajam.
Menyimak ciri zaman edan itu, setidaknya ada tiga karakter yang sangat mendukung terhadap fakta yang diungkap dalam bukunya Moammar bahwa kota Jakarta sedang diselimuti zaman edan. Pertama, hiburan maksiat merajalela. Dari ‘Imran, ujarnya: Seorang laki-laki muslim berkata (kepada Rasulullah): “Wahai Rasulullah, kapan hal semacam itu (zaman edan) terjadi?” Sabdanya: “Bila penyanyi-penyanyi perempuan, segala macam alat musik berdawai, dan minuman keras telah merajalela.” (H.R. Tirmidzi).
Kedua, perzinaan di mana-mana. Dari Abu Hurairah, ujarnya: Nabi saw bersabda: “Demi Tuhan yang menggenggam diriku, umat ini tidak akan binasa sampai kelak terjadi seorang laki-laki mendatangi seorang perempuan, lalu menidurinya di jalanan, sedangkan orang-orang yang baik di antara mereka pada saat itu berkata: ‘Alangkah baiknya saya bersembunyi di balik pagar.’” (H.R. Abu Ya’la).
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr ra., ujarnya: Rasulullah saw pernah bersabda: “Sungguh akan datang atas umatku –seperti—apa yang telah datang atas kaum Bani Israil selangkah demi selangkah, sehingga jikalau ada dari mereka itu orang yang mendatangi (mencampuri) ibunya dengan terang-terangan, niscaya ada pula di antara umatku yang mengerjakan demikian ….” (H.R. Tirmidzi).
Ketiga, sendi-sendi moral hancur. Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, sesungguhnya ia mendengar Rasulullah saw bersabda: “Allah sungguh-sungguh membenci perbuatan keji dan perkataan keji. Demi Tuhan yang mengenggam diriku, kiamat tidak akan terjadi sehingga orang yang amanah disingkirkan, tetapi orang yang khianat dipercayai, dan perbuatan keji serta perkataan keji, putusnya tali persaudaraan, dan tetangga yang jahat meluas di mana-mana.” (H.R. Ashbahani).
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, ujuarnya: Rasulullah saw bersabda: “Tidak akan terjadi kiamat sehingga perzinaan, putusnya tali persaudaraan, tetangga yang buruk meluas di mana-mana, dan orang yang amanah disingkirkan.” Lalu ada yang bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana halnya dengan orang mukmin?” Sabdanya: “Dia laksana lebah, hinggap tetapi tidak merusak, memakan tetapi tidak merusak, dan mengeluarkan yang baik.” (H.R. Bazzar).
Dengan demikian, pantaskah negeri ini tetap menyandang predikat religius, sementara perilaku masyarakatnya jauh dari sikap-sikap religius? Semoga dengan memahami kondisi zaman edan yang digambarkan melalui hadis-hadis Rasulullah saw tersebut, akhirnya kita mendapatkan petunjuk yang jelas tentang bagaimana seharusnya bersikap dan memilih langkah hidup yang benar dan Islami, berkait dengan fenomena masyarakat yang terjadi dewasa ini. Wallahu’alam.***
Arda Dinata adalah pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia, http://www.miqra.blogspot.com.
Oleh: ARDA DINATA
PREDIKAT negeri yang religius, beradab dan bermoral merupakan sesuatu yang menyejukkan sekaligus membikin hati ini berbangga diri. Siapa sih orangnya yang tidak mau menerima predikat semacam itu. Namun demikian, bukan berarti tidak ada konsekuensi yang mesti dinilai melalui bahasa tingkah laku.
Adanya predikat religius yang melekat dalam keseharian negeri ini, harusnya telah melahirkan suatu temperamen keteladanan dari mereka yang bersemayam di dalamnya. Keteladanan adalah bahasa tingkah laku yang adil dan tidak akan mudah dibohongi. Di kala negeri ini sangat sulit menemukan pigur dari predikat kereligiusannya, maka hati kecil kita pasti gelisah dan perih untuk menerima kenyataan serta mempertanggung jawabkan “buku religius” yang kepalang mendera rapor negeri ini.
Sungguh tidak sedikit, keganjilan dan kemunafikan itu muncul dan bertebaran di sisi-sisi kehidupan rakyat Indonesia. Mulai dari kalangan bawah sampai (lebih-lebih) kalangan elite yang sering kali terekspos oleh berbagai media massa. Korupsi, praktek amoral, hilangnya kedamaian dan kasih sayang sesama manusia ---seperti yang diusung ajaran Pancasila--- hanyalah sebuah nyanyian anak-anak jalanan. Ia hanya untuk mendapat pujian dan imbalan alakadarnya. Yang kadangkala ia berujung cacian dan tak bernilai sepeserpun.
Memang dalam hidup ini, seperti diakui Muhammad Subarkah, sepanjang matahari masih bersinar, kejahatan dan perbuatan anomali lainnya memang akan terus ada. Dan ceritanya tidak ada yang baru, tetap berkisar pada lingkup wilayah yang ada di sekitar pakaian dalam wanita: underrok. Dengan segala kemasan teknik cerita, alurnya akan sama saja. Persis syair lagu lama yang diulang terus-menerus.
Kota Sarang Maksiat
“Bacalah buku, maka Anda akan mendapat sesuatu yang baru,” ujar seorang bijak. Buktinya, memang benar. Dengan membaca buku kita mendapatkan sesuatu (bisa informasi atau fakta) baru yang dapat membuat hati ini menjadi tenang atau sebaliknya menjadi gelisah karena berisi kemunafikan yang terjadi antara kenyataan dan isi buku.
Paling tidak, hal itu didapat ketika Anda membaca buku karya Moammar Emka (2003), seorang santri dan jebolan IAIN Jakarta, yang berjudul: “Jakarta Undercover: Sex ‘n the City”, hati kita akan gelisah membaca fakta-fakta kemaksiatan yang terjadi di ibu kota Jakarta.
Melalui karya jurnalistik Jakarta Undercover-nya itu, Moammar tanpa basa-basi malah mengatakan bahwa Jakarta sama brengseknya dengan ‘kota-kota bangsat’ dunia lainnya. Dalam bahasa Subarkah, Moammar memang diakui sebagai manusia ‘berhati singa’. Santri ini berani berterus terang bahwa Jakarta, meski tetap mengumandangkan adzan lima kali sehari, ternyata sudah tidak lebih dari Hongkong, Las Vegas, atau New York. Semua tidak ada bedanya. Bahkan terkesan menjadi lebih seram, karena anomali itu dilakukan di tengah suasana klaim khotbah religius dari para pengelola kotanya. Tak peduli itu orang Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, animisme, atau penganut agnostik sekalipun. Meskipun bejat, Jakarta enggan mengakui dirinya sebagai kota sarang maksiat.
Paling tidak, kita akan merinding tak kala melahap isi buku karya Moammar ini. Pasalnya, kita akan dibawa dalam cerita realitas kehidupan malam kota Jakarta. Moammar menceritakan sedikitnya 24 model ‘ritual’ seks di dunia malam yang tidak sembarang orang bisa masuk ke dalamnya.
Ada pesta nudies bawah tanah. Pesta ini dilakukan oleh puluhan laki-laki dan perempuan dalam sebuah pesta yang semuanya telanjang bulat. Tarifnya sangat mahal, karena untuk menjadi members selama enam bulan, seorang peserta harus membayar Rp 50 juta dengan pesta minimal dua kali.
Ada juga ‘Arabian Nite Bachelor Party’. Ini adalah pesta melepas ‘lanjang’ bagi laki-laki, sebelum ia melaksanakan pernikahan yang sah. Dinamakan ‘Arabian Nite’ karena wanita-wanita yang melayani kaum lanjang itu menggunakan cadar, namun mereka hanya menggunakan BH dan celana model Aladin dengan perut terbuka. Tarifnya Rp 20 juta untuk satu paket.
Selain itu, ada ‘Seks Bulan Madu Pajero Goyang’. Ini adalah gaya permainan seks di atas mobil-mobil mewah sekelas Pajero, BMW, atau Mercy sambil berkeliling kota Jakarta dengan tarif Rp 5 Juta. Pemilik bisnis ini mendesain mobil-mobil mewahnya menjadi sebuah kamar yang dengan jok kemudinya disekat sedemikian rupa. Ada pula ‘Seks Sandwich Sashimi Girls’, yakni sebuah pesta di mana daging sashimi (masakan khas Jepang) disuguhkan di atas wanita cantik yang tanpa sehelai pun busana. Itu baru pembuka sebelum pesta perayaan pelampiasan nafsu dilakukan.
Itulah beberapa fakta yang membikin merinding bila kita membacanya. Jadi, ibu kota Jakarta benar-benar ibarat makanan gado-gado, semua tumplek menjadi satu. Ekstrimnya, meminjam bahasa Subarkah, jangankan cuma cari surga dunia, di Jakarta neraka dunia pun tersedia! Naudzubillah.
Zaman Edan
Berbagai kerusuhan, pembunuhan, perzinaan, dan kemelut keresahan masyarakat di kota Jakarta dan kota-kota besar lainnya kerap kali terjadi. Fenomena ini merupakan pertanda zaman fitnah (baca: edan) seperti yang pernah disabdakan Rasulullah saw. Sayangnya, masyarakat kurang memperhatikan sabda beliau sehingga tidak siap untuk menghadapi dan mengantisipasinya. Bahkan, di antara kita tidak jarang larut dalam keedanan.
Harusnya kita sadar betul akan makna hidup di dunia. Yakni kita diajarkan bahwa lingkungan alam merupakan politik yang paling adil. Artinya setiap kejadian alam yang terjadi harus menjadi bahan tafakur buat diri kita masing-masing. Sebagai contoh, bencana yang terjadi di kota Jakarta dan beberapa daerah lainnya, haruslah ditafakuri sebagai suatu cermin diri atas derajat religius perilaku kita. Bisa jadi, itu semua menjadi peringatan, pelajaran, atau azab yang menimpa kita. Inilah pelajaran hidup berlandaskan hikmah.
Aktualitasnya, bisa kita renungkan. Dulu, kota Jakarta paling tidak kalau musim hujan terjadi banjir dan pada musim kemarau terjadi kebakaran. Tapi, belakangan ini, pada satu musim ---baik musim kemarau ataupun hujan---, kedua bencana itu sering kali terjadi bergantian. Oleh karena itu, kita hendaknya harus mampu memaknai gejolak kehidupan yang mengarah pada ciri-ciri zaman edan tersebut dengan sikap yang bijaksana.
Dari beberapa keterangan hadis Rasulullah saw, kita menemukan tentang akan datangnya suatu masa atau zaman yang penuh dengan berbagai fitnah. Makna fitnah, ini bisa bermakna merajalelanya kerusuhan, pembunuhan, dan segala macam kemaksiatan, sehingga orang-orang beriman menghadapi tantangan luar biasa. Yang mengakibatkan mereka bingung menghadapi keadaan ini. Rasulullah saw menggambarkan banyak orang yang pagi harinya beriman, tetapi sore harinya kafir, atau sebaliknya.
Keadaan tersebut, diterjemahkan secara bebas oleh Drs.M Thalib (2000), dengan kata zaman edan. Dalam bahasa Indonesia kata edan menggambarkan orang yang tidak berakal atau melakukan perbuatan-perbuatan yang berlawanan dengan akal sehat.
Lebih jauh M Thalib dalam buku “25 Ciri Zaman Edan dan 20 Langkah Menghadapinya”, mengungkapkan ciri-ciri zaman edan itu diantaranya: masyarakat berebut mengumpulkan harta; umat Islam lebih cinta dunia dan benci mati; orang shalih lenyap; orang mencari ilmu Islam dari ahli bid’ah; banyak penyeru kesesatan; masjid dan Alquran hanya menjadi hiasan; muslim berat berpegang teguh pada sunnah Rasulullah; banyak terjadi kudeta; banyak orang tidak berbudaya menjadi pemimpin; penguasa memerintah tanpa ilmu dan menggunakan orang jahat sebagai pendukungnya; egoisme merajalela; banyak orang merusak janji dan amanah; watak plin-plan merajalela; banyak orang makan dengan lidahnya; perempuan miskin memaksakan diri meniru perempuan kaya; hiburan maksiat merajalela; perzinaan di mana-mana; yang kuat memakan yang lemah; kedurjanaan dan kedzaliman merajalela; sendi-sendi moral hancur; banyak terjadi kelaparan; banyak penyakit lumpuh dan kematian mendadak; keputusasaan merajalela; umat Islam saling bunuh; dan terjadi pembersihan etnis Arab di negeri ‘Ajam.
Menyimak ciri zaman edan itu, setidaknya ada tiga karakter yang sangat mendukung terhadap fakta yang diungkap dalam bukunya Moammar bahwa kota Jakarta sedang diselimuti zaman edan. Pertama, hiburan maksiat merajalela. Dari ‘Imran, ujarnya: Seorang laki-laki muslim berkata (kepada Rasulullah): “Wahai Rasulullah, kapan hal semacam itu (zaman edan) terjadi?” Sabdanya: “Bila penyanyi-penyanyi perempuan, segala macam alat musik berdawai, dan minuman keras telah merajalela.” (H.R. Tirmidzi).
Kedua, perzinaan di mana-mana. Dari Abu Hurairah, ujarnya: Nabi saw bersabda: “Demi Tuhan yang menggenggam diriku, umat ini tidak akan binasa sampai kelak terjadi seorang laki-laki mendatangi seorang perempuan, lalu menidurinya di jalanan, sedangkan orang-orang yang baik di antara mereka pada saat itu berkata: ‘Alangkah baiknya saya bersembunyi di balik pagar.’” (H.R. Abu Ya’la).
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr ra., ujarnya: Rasulullah saw pernah bersabda: “Sungguh akan datang atas umatku –seperti—apa yang telah datang atas kaum Bani Israil selangkah demi selangkah, sehingga jikalau ada dari mereka itu orang yang mendatangi (mencampuri) ibunya dengan terang-terangan, niscaya ada pula di antara umatku yang mengerjakan demikian ….” (H.R. Tirmidzi).
Ketiga, sendi-sendi moral hancur. Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, sesungguhnya ia mendengar Rasulullah saw bersabda: “Allah sungguh-sungguh membenci perbuatan keji dan perkataan keji. Demi Tuhan yang mengenggam diriku, kiamat tidak akan terjadi sehingga orang yang amanah disingkirkan, tetapi orang yang khianat dipercayai, dan perbuatan keji serta perkataan keji, putusnya tali persaudaraan, dan tetangga yang jahat meluas di mana-mana.” (H.R. Ashbahani).
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, ujuarnya: Rasulullah saw bersabda: “Tidak akan terjadi kiamat sehingga perzinaan, putusnya tali persaudaraan, tetangga yang buruk meluas di mana-mana, dan orang yang amanah disingkirkan.” Lalu ada yang bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana halnya dengan orang mukmin?” Sabdanya: “Dia laksana lebah, hinggap tetapi tidak merusak, memakan tetapi tidak merusak, dan mengeluarkan yang baik.” (H.R. Bazzar).
Dengan demikian, pantaskah negeri ini tetap menyandang predikat religius, sementara perilaku masyarakatnya jauh dari sikap-sikap religius? Semoga dengan memahami kondisi zaman edan yang digambarkan melalui hadis-hadis Rasulullah saw tersebut, akhirnya kita mendapatkan petunjuk yang jelas tentang bagaimana seharusnya bersikap dan memilih langkah hidup yang benar dan Islami, berkait dengan fenomena masyarakat yang terjadi dewasa ini. Wallahu’alam.***
Arda Dinata adalah pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia, http://www.miqra.blogspot.com.