"Senyuman sejati adalah doa yang kasat mata—ia tidak pernah hilang, hanya berpindah dari satu hati ke hati yang lain, menciptakan keajaiban kecil di setiap sudut kehidupan." (Sumber foto: Arda Dinata).
Cerpen: Arda Dinata
BLOG INSPIRASI - "Jabir datang menjual untanya. Rasulullah membelinya lalu memberinya kembali bersama harga. Jabir pun tersenyum haru." (HR. Bukhari)
"Kadang, keajaiban terindah datang dalam bentuk yang paling sederhana—senyuman yang mampu menyembuhkan luka berabad-abad."
Angin gurun berbisik di antara reruntuhan kota tua Madinah. Aku, Ahmad bin Jabir, cucu dari cucu Jabir ibn Abdullah, berdiri di depan sebuah makam sederhana yang telah kusapu bersih dari debu waktu. Tanganku gemetar memegang gulungan kertas usang—wasiat kakek buyutku yang baru kutemukan di loteng rumah warisan.
"Wahai keturunanku yang akan membaca ini," demikian tulisan tangan yang mulai pudar, "ketahuilah bahwa senyuman Rasulullah kepada kakekmu, Jabir, bukanlah sekadar kemurahan hati. Ada rahasia yang tersimpan dalam transaksi unta itu—rahasia yang harus kalian jaga hingga akhir zaman."
Aku terduduk di samping makam, membiarkan memori kolektif keluarga mengalir dalam darahku. Cerita tentang kakek buyut Jabir telah kudengar sejak kecil, namun selalu ada bagian yang terasa janggal. Mengapa seorang pedagang unta yang cerdik seperti Jabir begitu terharu hanya karena mendapat kembali untanya setelah dijual? Bukankah itu berarti ia tidak mendapat keuntungan apa-apa?
Gulungan kertas itu melanjutkan kisahnya:
"Hari itu, aku datang ke pasar dengan hati berat. Unta betinaku, si Zafira, adalah satu-satunya harta yang tersisa setelah ayahku meninggal dalam perang Uhud. Ibuku sakit parah, membutuhkan obat-obatan mahal yang hanya bisa dibeli di Damaskus. Terpaksa, aku harus menjual Zafira—unta yang telah kurawat sejak masih anak.
Rasulullah saw. datang menghampiri. Mata beliau yang jernih menatapku dengan penuh kasih sayang. 'Maukah kau jual unta ini kepadaku, Jabir?' tanya beliau.
Hatiku terasa tercabik. 'Tentu, ya Rasulullah. Berapa harga yang pantas?'
'Berapa yang kau butuhkan?'
Aku menyebutkan jumlah yang cukup untuk membeli obat ibu. Rasulullah mengangguk, membayar dengan emas yang berkilauan di telapak tangan beliau. Namun, sebelum aku melangkah pergi, beliau memanggilku lagi.
'Jabir, ambillah untamu kembali. Ia adalah hadiah dariku untukmu.'
Saat itu, aku tidak hanya mendapat uang untuk obat ibu, tetapi juga tetap memiliki Zafira. Air mataku berlinang, bukan karena kegembiraan semata, melainkan karena aku merasakan sesuatu yang tak terlukiskan—seakan seluruh alam semesta bersenyum bersamaku."
Aku menghentikan bacaan sejenak. Mata kakek buyut pasti telah melihat lebih dari sekadar kemurahan hati biasa. Ada dimensi spiritual yang melampaui transaksi material.
Wasiat itu berlanjut dengan kalimat yang membuatku tercenung:
"Namun, yang tidak pernah kuceritakan kepada siapa pun adalah apa yang terjadi setelahnya. Ketika aku sampai di rumah dengan obat untuk ibu, Zafira tiba-tiba berlutut di depan pintu. Ia mengeluarkan suara aneh, seperti sedang menangis. Saat aku memeriksa perutnya, ternyata ia sedang bunting—sesuatu yang tidak kusadari sebelumnya.
Tiga hari kemudian, Zafira melahirkan anak unta kembar yang luar biasa cantik. Salah satunya memiliki tanda lahir berbentuk bulan sabit di dahinya. Aku yakin, ini adalah berkah dari transaksi yang diberkahi oleh Rasulullah.
Tapi yang paling mengejutkan adalah ketika ibu mulai sembuh setelah meminum obat itu. Dokter berkata bahwa obat tersebut seharusnya hanya bisa memperlambat sakitnya, bukan menyembuhkan. Namun, ibu benar-benar sembuh total, seolah-olah penyakitnya menghilang begitu saja.
Aku menyadari bahwa senyuman Rasulullah hari itu bukan hanya menghadirkan keajaiban materi, tetapi juga keajaiban spiritual yang akan terus mengalir dalam darah keturunannya."
Jantungku berdebar keras. Selama ini, keluarga kami memang dikenal sebagai keluarga yang diberkahi rezeki, namun tidak pernah kusangka ada kaitan historis yang begitu mendalam.
Wasiat itu mengungkap rahasia terakhir:
"Wahai keturunanku, ketahuilah bahwa senyuman itu masih hidup dalam kalian. Setiap kali kalian berbuat baik dengan tulus, senyuman Rasulullah akan kembali hadir. Setiap kali kalian memberi tanpa mengharapkan balasan, kalian telah mengulangi keajaiban transaksi unta itu.
Jaga rahasia ini, tetapi praktikkanlah dalam hidup. Berikan yang terbaik dari diri kalian, maka alam semesta akan memberikan kembali lebih dari yang kalian bayangkan.
Satu hal lagi—makam yang kalian kunjungi ini bukanlah makamku. Ini adalah makam Zafira, unta yang menjadi saksi keajaiban itu. Makamku ada di sebelah kiri, di bawah pohon kurma yang sudah tua. Aku sengaja membuat makam palsu ini untuk menguji apakah keturunanku masih ingat esensi cerita sejati: bahwa yang terpenting bukanlah siapa yang memberi, melainkan ketulusan dalam memberi."
Aku tersentak, menatap makam di sebelah kiri. Benar ada makam sederhana di bawah pohon kurma tua, hampir tak terlihat karena ditumbuhi rumput liar. Dengan langkah gemetar, aku mendekatinya dan membersihkan batu nisannya. Terukir nama: "Jabir ibn Abdullah—Sang Penerima Senyuman Abadi."
Saat aku berlutut di makam yang sesungguhnya, angin gurun kembali berhembus. Kali ini, aku merasakan sesuatu yang hangat menyentuh hatiku—sebuah senyuman tak kasat mata yang seolah menemaniku dalam keheningan.
Aku memahami sekarang mengapa kakek buyut menyembunyikan rahasia ini. Keajaiban sejati bukanlah tentang mendapat kembali apa yang telah kita berikan, melainkan tentang ketulusan hati yang mampu menghadirkan berkah tak terduga.
Dalam perjalanan pulang, aku bertemu seorang anak yatim yang sedang kelaparan. Tanpa berpikir panjang, aku memberikan seluruh bekal makananku. Anak itu tersenyum—senyuman yang begitu familiar, seolah mengingatkanku pada sesuatu yang pernah kudengar dalam cerita.
Dan di ujung jalan, seorang pedagang tua menghampiriku dengan sepiring makanan. "Ini untukmu, nak. Sepertinya kau butuh."
Aku tersenyum, akhirnya memahami bahwa senyuman Rasulullah kepada Jabir bukanlah peristiwa yang berakhir 1400 tahun lalu. Senyuman itu masih berputar dalam lingkaran kebaikan yang tak pernah putus—dari hati ke hati, dari generasi ke generasi.
"Senyuman sejati adalah doa yang kasat mata—ia tidak pernah hilang, hanya berpindah dari satu hati ke hati yang lain, menciptakan keajaiban kecil di setiap sudut kehidupan."
Arda Dinata, lahir di Indramayu, 28 Oktober 1973, penyuka prosa dan pendiri Majelis Inspirasi MIQRA Indonesia. Buku prosa terbarunya: Epos Aurora (novel, Juni 2024), Retakan (Kupcer, Maret 2025), dan Pecahan Cinta (Kupcer, Maret 2025). Kini bermukim di Pangandaran. Yuk baca cerpen karya Arda Dinata di link ini: https://blog.ardadinata.com/search/label/Cerpen
***
Jangan ragu untuk memberikan komentar di bawah ini dan mengikuti kami di saluran WhatsApp "ProduktifMenulis.com (Group)" dengan klik link ini: WhatsApp ProduktifMenulis.com (Group) untuk mendapatkan info terbaru dari website ini.
Arda Dinata adalah Penulis di Berbagai Media Online dan Penulis Buku, Aktivitas Kesehariannya Membaca dan Menulis, Tinggal di Pangandaran - Jawa Barat.