Setahun berlalu, COVID-19 masih mengancam kesehatan, membatasi pergerakan, dan mengubah seluruh aspek kehidupan manusia di Bumi. Bagi lingkungan, virus ini bagai pisau bermata dua. Di satu sisi, ia menunjukkan persoalan pelik kehidupan satwa liar dan tata guna lahan. Di sisi lain, virus yang memaksa manusia membatasi pergerakan sosial dan fisik ini sedikit “memberikan napas” bagi Bumi untuk memulihkan diri. Berikut beberapa hal yang menjadi sorotan di sektor lingkungan hidup, baik nasional maupun global :
Akibat ulah manusia
Hingga kini, para peneliti di dunia belum benar-benar memastikan penyebab utama dari virus corona.
Namun, ada kemungkinan bahwa penyebaran virus berasal dari satwa liar (zoonosis), seperti kelelawar yang akhirnya sampai kepada manusia.
Dalam perkembangannya, para peneliti menunjukkan bahwa virus yang berasal dari hewan liar terjadi akibat perambahan habitat satwa dan praktik pertanian tidak ramah lingkungan.
Praktik-praktik tidak ramah lingkungan tersebut meningkatkan risiko satwa liar terpapar virus, dan akhirnya menimbulkan penyakit baru bagi manusia, seperti misalnya, virus Ebola dan virus Marburg yang sempat mewabah di Uganda, serta yang terbaru SARS-CoV-2 atau virus corona.
Akibat penyebaran tidak terkendali, manusia akhirnya menularkan virus COVID-19 ini kepada hewan peliharaan (kucing dan anjing), lalu kepada satwa di alam liar dan kebun binatang, seperti harimau dan gorila.
Penelitian terbaru dari Universitas Dalhousie, Kanada, bahkan sudah memperingatkan bahwa buruknya tata kelola limbah cair yang tercemar oleh SARS-CoV-2 bisa menginfeksi satwa laut yang langka, seperti paus, lumba-lumba, anjing laut, dugong, hingga beruang kutub.
Emisi karbon dioksida masih meningkat
Awal pemberlakuan kebijakan untuk menjaga jarak fisik di Indonesia, seperti Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), memang sempat membuat langit lebih bersih dan udara lebih segar, terutama terlihat di daerah perkotaan, seperti DKI Jakarta.
Namun, peneliti menyatakan bahwa penurunan polusi udara tidak membuat emisi karbon dioksida, salah satu pemicu perubahan iklim, turun.
Bulan Mei 2020, pusat pengamatan emisi Mauna Loa Observatory di Hawai'i, Amerika Serikat, mencatat ada peningkatan level karbon dioksida sebesar 2,4 bagian per sejuta (ppm), hingga total menjadi 417,1 ppm.
Artinya, pandemi tidak serta-merta menurunkan emisi karbon dioksida.
Perkembangan terbaru, Badan Energi Internasional atau (International Energy Agency) telah merilis laporan terbaru emisi global dan COVID-19 menyatakan bahwa emisi karbon dioksida (CO2) dari sektor energi meningkat 2%, atau 60 juta ton, pada Desember 2020, dibandingkan pada bulan sama di tahun 2019.
Hal ini disebabkan oleh karena kebijakan yang lebih mengutamakan pertumbuhan ekonomi selama pandemi sehingga mengesampingkan pelaksanaan kebijakan energi bersih di berbagai negara.
Alih-alih mengedepankan kebijakan energi bersih, pemerintah Indonesia justru menerbitkan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja, pada Oktober 2020, yang melemahkan perlindungan lingkungan, terutama dengan menyederhanakan AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) hingga izin lingkungan, demi kemudahan investor.
Para ahli hukum lingkungan menegaskan bahwa lingkungan yang rusak dan wabah pandemi yang masih terjadi justru tidak akan mengundang keamanan dan kenyamanan untuk berinvestasi di Indonesia.
Lebih lanjut, pemerintah Indonesia juga tidak menunjukkan ambisi tinggi untuk menurunkan emisi nasional.
Tahun 2009, pemerintah Indonesia menargetkan penurunan emisi 29% (dengan usaha sendiri) dan 41% (dengan bantuan internasional) hingga tahun 2030.
Di bawah pemerintahan Joko “Jokowi” Widodo, target ini hanya meningkat 3% menjadi 29% dengan upaya sendiri dan 41% dengan bantuan dana internasional hingga tahun 2030, yang diumumkan pada tahun 2016 lalu.
Hingga 2020, tidak ada perubahan target emisi dari Indonesia.
Hal ini sangat disayangkan karena Indonesia merupakan salah satu negara penghasil emisi terbesar di dunia.
Masa pemulihan
Selama pandemi, jeda atas aktivitas manusia ternyata memberikan kesempatan laut untuk memulihkan diri.
Sebagai contoh, paus pembunuh atau Orca (Orcinus Orca) terlihat di Anambas, Kepulauan Riau, aktivitas pelayaran manusia berkurang selama pandemi.
Kedua, proses pengasaman laut yang berbahaya bagi terumbu karang (coral bleaching) semakin berkurang.
Terumbu karang sangat penting bagi spesies laut karena menjadi pusat aktivitas berkembang biak and pencarian makan.
Meski harus melakukan berbagai penelitian lanjutan, namun berkurangnya kegiatan manusia selama pandemi ternyata bisa sedikitnya memberikan kesempatan bagi habitat laut untuk memulihkan diri secara alami.
Pentingnya berada di alam selama pandemi
Adanya pembatasan aktivitas manusia berbulan-bulan lamanya dan ketidakpastian akan kapan pandemi berakhir berujung kepada kelelahan psikologis atau disebut sebagai pandemic fatigue bagi manusia.
Para peneliti mulai mengemukakan konsep ruang terbuka hijau (RTH), berupa taman kota, jalur hijau di sepanjang jalan, hingga areal di sepanjang sungai, menjadi sarana bagi manusia untuk melarikan diri dari kepenatan selama pandemi.
Riset mengungkapkan bahwa interaksi manusia dengan alam sekitarnya bisa menimbulkan perasaan nyaman sehingga membuat kesehatan mental membaik.
Berdasarkan peraturan, idealnya, ruang terbuka hijau mencakup 30% dari luas suatu daerah. Namun, banyak kota di Indonesia belum sepenuhnya bisa mencapai angka ideal ini.
Ada beberapa siasat untuk mendapatkan manfaat dari ruang terbuka hijau ini, seperti berkebun di atap (taman atap), membangun taman vertikal, hingga taman gantung.
Tantangan sampah
Masalah lainnya adalah sampah.
Bank Pembangunan Asia memprediksi bahwa DKI Jakarta bisa menghasilkan tambahan 12.720 ton limbah medis berupa sarung tangan, baju Alat Pelindung Diri(APD), masker, dan kantong infus selama 60 hari selama pandemi.
Jumlah sampah media yang meningkat menambah beban penanganan sampah, baik nasional dan global, yang saat ini masih belum teratasi.
Dalam 4 tahun, para peneliti memprediksikan sampah berbahan plastik di lautan akan mencapai setidaknya 250 juta ton.
Pemerintah Indonesia sendiri sudah berkomitmen untuk mengurangi sampah plastik laut sebesar 70% selama periode 2018-2025.
Hingga kini, belum ada data resmi dari pemerintah Indonesia kepada publik sudah sejauh mana target ini bisa atau sudah tercapai.
Pandemi menunjukkan bagaimana persoalan lingkungan menjadi semakin mendesak dan perlu ada komitmen serta penerapan yang serius untuk menyelamatkan manusia dari dampak krisis iklim yang kini sedang terjadi.
Fidelis Eka Satriastanti, Editor Lingkungan Hidup, The Conversation
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation.
Bagi pembaca yang ingin berbagi inspirasi dan motivasi dengan Penulis hubungi:
| Blog: www.ArdaDinata.com | FB: ARDA DINATA |
| Twitter: @ardadinata | Instagram: @arda.dinata | Telegram: ardadinata |