SAAT ini, selain terancam berbagai penyakit infeksi seperti tifus dan diare, warga Kota Bandung khususnya yang tinggal di sekitar tempat pembuangan sementara (TPS), mengeluhkan serbuan lalat hijau dalam beberapa hari terakhir akibat menggunungnya sampah di TPS. Lalat hijau tidak hanya hinggap di gunungan sampah, namun menyebar ke permukiman warga (Pikiran Rakyat, 5/1/06).
Fenomena munculnya lalat yang berkeliaran di TPS dan menyerbu permukiman penduduk di sekitarnya, tentu sangat mengganggu kenyamanan dan bisa menyebarkan berbagai penyakit. Sehingga secara langsung kondisi ini akan menyebabkan terjadinya ancaman penyakit kepada penduduk semakin besar.
Jadi, bila pengelolaan sampah dalam beberapa hari masih terbengkalai, maka siap-siap ribuan lalat ”menyuplai” beberapa bibit penyakit terhadap penduduk sekitar TPS sampah yang ada di beberapa sudut Kota Bandung. Lalu, bagaimana caranya agar lalat itu bisa kita kendalikan, di tengah susahnya pemerintah Kota Bandung mencari tempat pembuangan akhir (TPA) sampah yang dihasilkan oleh masyarakatnya?
Mengenal Lalat
Lalat adalah insekta yang lebih banyak bergerak dengan mempergunakan sayap (terbang). Hanya sesekali bergerak dengan kakinya. Oleh karena itu, daerah jelajahnya cukup luas. Lalat merupakan salah satu ordo Diptera yaitu serangga yang mempunyai sepasang sayap berbentuk membran. Pada saat ini telah ditemukan tidak kurang dari 60.000– 100.000 spesies lalat. Namun, tidak semua spesies ini perlu diawasi, karena beberapa di antaranya tidak berbahaya bagi manusia ditinjau dari segi kesehatan.
Salah satu spesies lalat yang perlu diawasi adalah lalat rumah (Musca domestica). Umur lalat rumah antara 1–2 bulan dan ada yang 6 bulan sampai 1 tahun. Lalat rumah dapat menularkan berbagai penyakit di antaranya kolera, diare, disentri, tifus, dan virus penyakit saluran pencernaan. Sampah basah hasil buangan rumah tangga merupakan tempat yang disukai lalat rumah untuk mencari makanan dan sebagai tempat berkembang biak.
Ada ciri–ciri yang penting dari lalat rumah. Pada thorax terdapat empat garis hitam dan satu garis hitam medial pada abdomen dorsal. Sayapnya mempunyai longitudinal line 4 yang jalannya menaik ke atas sehingga ujungnya hampir bertemu dengan long 3. Bagian–bagian dari mulut tidak dapat dipakai untuk menggigit atau menusuk tetapi hanya dapat dipakai menghisap barang-barang cair saja. Serangga ini memiliki metamorfosis sempurna. Yang jelas, lalat ini berperan sebagai vektor dari penyakit tidak langsung.
Jadi, kehadiran lalat cukup merepotkan dalam kehidupan manusia, baik dalam segi etis maupun kesehatan manusia. Makin tinggi keinginan manusia baik dalam kenyaman hidup serta kesadaran akan mutu kesehatan, manusia makin tanggap dalam penanganan kehadiran insekta ini. Apalagi lalat ini merupakan serangga yang cukup tua di alam. Kehadirannya merupakan hasil dari proses evolusi yang panjang. Oleh karena itu, insekta ini memiliki sifat yang spesifik dan sangat adaptif tinggal bersama manusia.
Habitat Lalat
Lalat umumnya hidup terestrial, meskipun habitat pradewasa berbeda dengan tahap dewasa. Tahap pradewasa memilih habitat yang cukup banyak bahan organik yang sedang mengalami dekomposisi, misalnya sampah organik dan basah.
Tahap dewasa juga menyukai sampah organik, hanya daerah jelajahnya yang luas. Sehingga dapat memasuki rumah atau di mana manusia beraktifitas. Kedua perbedaan habitat ini menyebabkan kehidupan tahap pradewasa tidak bersaing dengan kehidupan tahap dewasa. Karena tanpa persaingan, maka lalat dapat berkembang dengan optimal.
Tahap pradewasa lalat lebih banyak mengganggu dibandingkan nyamuk. Manusia lebih menghindari larva lalat daripada nyamuk, meskipun keduanya tidak dikehendaki oleh manusia. Dari sudut pandang positif, larva lalat sebenarnya diperlukan oleh alam, karena bersifat sebagai dekomposer.
Suhu lingkungan, kelembaban udara dan curah hujan adalah komponen cuaca yang mempengaruhi kualitas dan kuantitas makhluk hidup di alam. Siklus hidup serangga dan khususnya lalat sangat dipengaruhi oleh cuaca. Meskipun lalat lebih banyak hidup di daerah permukiman, tahap hidup pradewasa lebih banyak hidup bebas di alam. Larva lalat amat rentan terhadap kelembaban udara, suhu udara yang menyimpang, dan curah hujan yang berlebihan.
Dengan demikian, kita harus cermat menghadapi dampak cuaca/musim terhadap perkembangan lalat. Pengendalian tanpa meneliti pengaruh musim akan membawa dampak negatif terhadap pengendalian, paling tidak mengurangi efisiensi pengendalian.
Pengendalian Lalat
Untuk kasus Kota Bandung, tentu pengendalian lalat ini harus memperhatikan hal-hal lain yang saling terkait. Artinya, bila kita akan melakukan pengendalian, kita harus menganalisa terlebih dulu sumber serangga tersebut, bagaimana populasi serangga tersebut meningkat, bagaimana derajat gangguannya pada individu dan komunitas, peran serangga terhadap penularan penyakit bakterial dan viral. Dalam dinamika populasi, keberadaan dan besarnya populasi ditentukan oleh faktor fisik berupa cuaca/ iklim, habitat dan ekosistem, keberadaan inang, dan faktor biotik (pakan dan musuh alami).
Dengan demikian, dalam pengendalian, sebelum menentukan metoda mana yang kita anut, perlu pertimbangan matang dalam analisa gangguan. Sebagai contoh, kita akan membuang waktu, tenaga dan dana dalam pengendalian serangga pengganggu, bila asal/tempat perindukan tidak kita ketahui. Kecuali dalam suatu komunitas yang masalahnya sudah sangat berkaitan dan parah, tindakan yang mudah dan praktis harus kita lakukan untuk menyelamatkan lingkungan yang terbatas dahulu.
Beberapa metoda yang dapat dirujuk. Pertama, metoda nonkimiawi. Metoda ini dikenal sebagai metoda yang ramah lingkungan, dan bilamana analisanya benar, akan lebih mengenai sasaran dan mempunyai berbagai dampak positif, misalnya populasi serangga menurun serta peningkatan mutu lingkungan. Salah satu langkahnya yaitu dengan cara:
(1) pemulihan lingkungan berupa meningkatkan mutu sanitasi, yaitu dengan cara mengatasi kelemahan dalam pembuangan sampah, meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap kebutuhan akan lingkungan yang bersih. Penataan hunian yang sehat.
(2) Penggunaan bahan fisik: penggunaan bahan fisik dipergunakan untuk mencegah kontak dengan lalat. Misalnya dengan cara mengatur tata letak dan rancang bangun rumah tinggal agar tidak mudah lalat masuk ke dalam. Penggunaan air curtain. Alat ini sering harus dipasang di tempat umum, misalnya pertokoan, rumah makan, pada pintu masuk. Alat ini mengembus udara yang cukup keras sehingga lalat enggan masuk ke dalam bangunan.
Kedua, menggunakan bahan kimiawi. Yakni dengan cara menghilangkan tempat perindukan, seperti penggunaan insektisida pada tempat perindukan berupa serbuk tabur untuk tempat perindukan lalat, atau pakan unggas yang telah diperkaya dengan insektisida. Dengan harapan tinja masih mengandung insektisida untuk membunuh larva.
Akhirnya, semoga pemerintah Kota Bandung dapat bertindak secara tepat dan bijaksana dalam pengendalian lalat akibat banyaknya timbulan sampah yang tidak terangkut di TPS yang ada di beberapa sudut kotanya, sehingga lalat itu tidak dapat menyebarkan beberapa penyakit.***
Arda Dinata
Penulis adalah dosen di Akademi Kesehatan Lingkungan (AKL) Kutamaya.
Pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia,