Belenggu Kota “Metropolutan”

Belenggu Kota “Metropolutan”

“emosi mau tumpah, kota ini parah, jalan macet bikin gerah,
OlehEREN MARSYUKRILLA
·

KOMPAS/AGUS SUSANTO


Polusi udara mengepung Kota Jakarta, Selasa (25/6/2019) pukul 17.30 WIB. Menurut data AirVisual, situs penyedia peta polusi daring harian kota-kota besar di dunia, pada Selasa pukul 08.00 nilai air quality index (AQI) Jakarta adalah 240 (sangat tidak sehat). Kondisi udara di rentang 201-300 dapat mempengaruhi kesehatan masyarakat.

“emosi mau tumpah, kota ini parah, jalan macet bikin gerah,
aku terjebak di sini, hey, aku ada di dalam kota metropolutan”
(Navicula, 2012)

Penggalan lirik lagu berjudul Metropolutan dari band Navicula ini begitu pas menggambarkan minimnya kualitas udara di Ibu Kota. Istilah metropolutan yang dibuat grup musik rock asal Bali tersebut menggambarkan kejengahan hidup di kota dengan bermacam kerusakan akibat polutan (bahan atau zat pencemar).
Buruknya kualitas udara menjadi salah satu ancaman yang terus membayangi warga DKI Jakarta. Di tengah kemodernan kota, warga harus hidup dengan berbagai partikel buruk yang bertebaran melayang di langit Jakarta.
Kualitas udara Jakarta jauh berada di bawah ambang batas layak dan sehat. Hasil pemantauan dari organisasi lingkungan global Green Peace Indonesia menunjukkan konsentrasi PM 2.5 harian memiliki rata-rata  di atas 38 µg/m³. Untuk rata-rata setiap jamnya berada diatas 75 µg/m³.
Angka tersebut jauh dari ambang batas udara sehat menurut WHO dengan konsterasi PM2.5 10 µg/m3. Partikel polutan PM2.5 memang berbahaya bagi tubuh manusia karena mudah terhirup dan mengendap dalam organ pernapasan.
Bahkan berdasarkan hasil evaluasi, kualitas udara di Jakarta tetap belum sehat pada saat menjadi tuan rumah perhelatan olahraga Asian Games tahun lalu. NASA Socioeconomic Data and Aplications Center (SEDAC) merilis data tingkat polusi kota di negara-negara yang pernah menjadi penyelenggara pesta olahraga. Jakarta menempati peringkat kedua dengan kualitas udara terburuk dengan konsentrasi PM2.5 rata-rata tahunan mencapai 35 µg/m³.
Kendaraan bermotor
Ada banyak asal polutan yang mencemari udara Jakarta. Hasil kajian ilmiah menemukan kendaraan bermotor turut menjadi penyumbang gumpalan polutan terbesar di udara. Kondisi ini diperparah lagi oleh masifnya aktivitas industri dan PLTU di pesisir pantai utara Jakarta yang letaknya kurang dari 15 Km dari pusat kota.
Awal Mei 2019 lalu, dalam sebuah forum diskusi publik bertajuk Sparking Change in Indonesian Energy, A Low-Carbon Strategy for Urban Mobility, yang dihelat oleh organisasi nirlaba Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) Indonesia, dipaparkan bahwa Global Antrhopegenic Emissions besarannya mencapai 38 gross ton (Gt) CO2.
Tidak kurang dari 23 persennya atau sebesar 8,8 Gt CO2 berasal dari asap buangan kendaraan. Polutan yang berasal dari transportasi ini menjadi penyumbang mayoritas dibandingkan sumber polusi lainnya.
Moda transportasi darat baik itu mobil ataupun sepeda motor menjadi penyumbang terbesar hingga 73,9 persen polutan tersebut. Itu artinya, sebagian besar dari masyarakat terutama pengguna kendaraan pribadi turut berkontribusi dalam perusakan kualitas udara ini.
Di Jakarta dan kota sekitarnya, kemacetan sudah menjadi persoalan klasik nan kompleks yang sudah tentu berdampak negatif pada kenyamanan warganya. Kondisi buruk ini kian parah karena terus meningkatnya penggunaan kendaraan bermotor baik roda dua maupun roda empat.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memperkirakan setiap hari jumlah kendaraan bertambah sekitar 1.500 unit, 80 persennya adalah sepeda motor. Tidak heran jika lalu lalang kendaraan di jalanan akan terus melambat karena jumlah kendaraan yang berjejal berebut ruang jalan.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Pengendera menembus kabut pagi yang bercampur dengan asap kendaraan bermotor di Jalan Gerbang Pemuda, Senayan, Jakarta, Rabu (26/6/2019). Asap kendaraan bermotor menjadi salah satu sumber terbesar polusi udara di Jakarta.

Data dari Kementerian Perhubungan mengungkap Jakarta menjadi kota di Indonesia dengan laju kendaraan terlambat. Rata-rata kendaraan roda empat di jalan kota ini hanya dapat melaju 10-20 km per jam.
Jika tidak dilakukan upaya yang komprehensif, melihat tren tersebut, bahkan Intellignet Transport System (ITS) Indonesia pernah memprediksikan Jakarta akan mengalami kemacetan total (grid lock) pada 2022.
Jika sudah begitu, penderitaan warga kota ketika di tengah jalanan karena menikmati kemacetan dengan durasi yang semakin lama sembari menghirup asap kendaraan yang juga semakin pekat tercemar.
Gangguan Iritasi
Barangkali banyak masyarakat yang belum sadar bahwa efek domino yang ditimbulkan dari asap kendaraan bermotor dapat berakibat sangat fatal, tidak hanya bagi kerusakan lingkungan maupun kerugian ekonomi, namun juga gangguan kesehatan. Efek negatif tersebut biasanya baru dirasakan dalam jangka waktu yang panjang.
Asap buangan dari pembakaran pada mesin kendaraan mengandung banyak berbagai polutan kimia mulai dari Karbonmonoksida (CO), Nitrogen Oksida (NO), Klorin, Sulfur atau belerang (SO2), hingga timbal (Pb).
Dampak yang ditimbulkan untuk tubuh pun beragam mulai dari keracunan ringan hingga gangguan kesehatan jangka panjang seperti masalah pada sistem pernapasan, iritasi hingga kelumpuhan.
Sebuah studi yang dilakukan para peneliti University of Montana, Amerika Serikat mengungkapkan paparan polusi udara dapat meningkatkan risiko alzheimer. Partikel udara halus yang dihirup dalam jangka panjang akan meningkatkan kadar protein APOE4 yang berkaitan dengan demensia dalam waktu cepat.
Partikel udara halus tersebut yang beratnya kurang dari 0,0025 mg biasanya berasal dari asap kendaraaan bermotor. Asap kendaraan ini dapat menyebabkan inflamasi atau peradangan yang mempengaruhi risiko Alzheimer dan gangguan mental. Lebih mengejutkan lagi, gangguan dari partikel udara tersebut dapat menaikan keinginan orang untuk bunuh diiri hingga 4,2 kali lipat.
Bulan Agustus tahun lalu, Green Peace pernah membuat kampanye di sebuah papan iklan raksasa di Jalan Gatot Subroto, Jakarta bertuliskan “We Breath The Same Air” yang berarti “Kita Menghirup Udara yang Sama” dengan keterangan Unhealty (tidak sehat).
Apa yang dituliskan dalam baliho besar ini adalah imbauan penyadaran. Siapapun itu, orang yang menginjakkan kakinya di Jakarta tidak bisa memilih udara mana yang akan dihirup untuk bernapas.
Transportasi umum menjadi pilihan untuk menekan laju polusi kota. Selain itu, gaya hidup ramah lingkungan, seperti bersepeda atau berjalan kaki bisa menjadi alternatif menggantikan kendaraan pribadi. Karena saat ini, problem yang sedang dihadapi warga kota sama-sama bergantung hidup pada udara yang sama sekali tidak sehat, menghirup metropolutan.  (LITBANG KOMPAS)
Semoga informasi ini bermanfaat dan sukses selalu. Aamiin. Salam. Arda Dinata www.ArdaDinata.com:  | Share, Reference & Education |
| Sumber Berbagi Inspirasi, Ilmu, dan Motivasi Sukses |
BACA ARTIKEL LAINNYA:
Lebih baru Lebih lama