Oleh: ARDA DINATA
BERBARENGAN dengan menghangatnya suhu perpolitikan di tanah air, ada beberapa permasalahan lingkungan yang perlu kita kedepankan, karena banyak nyawa manusia yang terancam olehnya. Tepatnya, beberapa daerah di Indonesia saat ini telah terjadi musibah banjir, tanah longsor dan angin badai.
Harian Suara Pembaruan, terbitan 15 Februari 2001 memberitakan ratusan Kepala Keluarga (KK) di sepuluh desa pada tiga kecamatan di Kabupaten Bogor yang kehilangan tempat tinggal akibat terkena musibah bencana alam tanah longsor dan angin ribut berturut-turut sejak Minggu (11/2) hingga Rabu (14/2), mengharapkan kepedulian Pemda setempat.
Di daerah Sumatra Barat, seperti diungkap Gubernur Zainal Bakar (Suara Pembaruan, 14/2), saat ini, masyarakat Sumatra Barat dihadapkan kepada cobaan yang teramat berat. Hujan deras turun terus-menerus, dengan curah hujan mencapai 362 mm, disertai angin kencang, menyebabkan terjadinya musibah banjir, longsor, dan angin badai.
Bencana alam serupa juga, sebelumnya melanda propinsi termuda, Banten. Dalam laporan yang dituturkan Penj. Gubernur Banten, Hakamuddin Djamal, jumlah kecamatan yang terkena bencana banjir dan longsor sebanyak 49 dan 209 desa di 4 kabupaten. Sementara itu, musibah tanah longsor dan banjir bandang di Sukabumi Selatan sedikitnya telah melanda 20 kecamatan. Menyusul musibah banjir di Propinsi Banten, di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Bengawan Solo di Bojonegoro, kembali terendam banjir akibat meluapnya sungai tersebut dan kabarnya merupakan banjir terbesar yang terjadi selama ini.
Gambaran di atas merupakan serangkaian musibah bencana alam yang telah menimpa sebagian daerah di Indonesia yang perlu segera mendapat pertolongan dan dicari jalan penyelesaiannya berkait dengan pengelolaan lingkungan di tanah air Indonesia.
Kalau kita amati, sebagian besar daerah rawan longsor itu berada di lokasi yang memiliki tekstur tanah terjal dan bergunung. Selain itu ada beberapa wilayah yang memang benar-benar memiliki lapisan tanah mudah sekali terjadi longsor apabila terkena rembesan air tanah yang berasal dari air hujan. Disamping juga dikarenakan hilangnya hutan di daerah tersebut. Dengan berkurangnya hutan, air hujan yang meresap ke dalam tanah berkurang pula. Dalam sekup yang luas, fenomena ini akan menyebabkan banjir di musim hujan dan kekurangan air akan makin parah pada musim kemarau.
Hilangnya hutan pada konteks ini, berarti pula makin besarnya erosi dan makin tingginya kandungan lumpur dalam air sungai. Kandungan lumpur yang tinggi; menyebabkan air sungai berwarna keruh, yang akhirnya lumpur akan mengendap di hilir dan muara sungai, sehingga aliran air terhambat. Dengan terhambatnya aliran sungai, kemungkinan terjadinya banjir makin besar. Apalagi bila didukung dengan curah hujan yang tinggi di daerah tersebut. Inilah sebenarnya penyebab yang mendasari terjadinya longsor dan banjir di beberapa daerah.
Kependudukan dan Lingkungan
Menyangkut fenomena masalah-masalah yang paling mendasar saat ini seperti disinggung di awal tulisan, menurut Ervin Laszlo (1999), kecenderungan-kecenderungan dan proses-proses yang menimbulkan masalah telah ada sejak dahulu, namun sekarang sedang menuju ambang kritis.
Menurutnya ada dua masalah penyebab timbulnya kecenderungan yang dampaknya sangat besar itu, yakni: Pertama, pertumbuhan keluarga manusia di seluruh dunia dan penggunaan sumber daya fisik planet bumi serta sistem biologis pendukung kehidupan. Kedua, cepat habisnya banyak sumber fisik bumi dan kerusakan sistem biologis pendukung kehidupan.
Secara demikian, problematika menyangkut kependudukan dan lingkungan hidup akan terus bergema dalam tahun-tahun ke depan, apalagi bila dikaitakan dengan telah diberlakunya otonomi daerah (Otda). Hal ini sejalan dengan prediksi pakar lingkungan hidup dari Universitas Padjadjaran, Prof. Dr. Otto Soemarwoto, yaitu kerusakan lingkungan hidup di daerah akan makin parah dengan diterapkannya otonomi daerah. Karena penerapan Otda, sangat berkaitan erat dengan keinginan daerah meningkatkan pendapatan asli daerahnya (PAD).
Untuk itu, dua permasalahan tersebut hendaknya sejak awal harus disadari oleh setiap mahluk bernama manusia. Karena secara sadar atau pun tidak sadar, yang jelas dua hal ini akan saling berinteraksi, “bercengkrama” membentuk sebuah formasi sebab akibat, yang ujung-ujungnya akan berimplikasi terhadap kelangsungan kehidupan (alam) manusia.
Menyikapi fenomena bencana longsor yang hampir terjadi tiap tahun ini, ternyata tidak membuat sebagian orang jera untuk membangun tempat tinggal di daerah rawan longsor. Penyebabnya dapat dipastikan karena mereka bukanya tidak mengetahui, kalau tinggal di lereng-lereng bukit/ gunung itu, resiko untuk tertimbun longsor sangat besar. Tetapi, faktor keterpaksaan itulah sebenarnya yang melatarbelakangi mereka untuk tetap tinggal di daerah rawan longsor. Keterpaksaan itu diantaranya menyangkut dengan keterbatasan kemampuan untuk memiliki lahan, dan terbatasnya ketersediaan lahan yang relatif aman bagi mereka.
Berkait dengan kondisi lahan kritis ini, berdasarkan data tahun 1996 di Jawa Barat saja, secara keseluruhan luas lahan kritis meningkat pesat menjadi 1.057.439 ha. Padahal sebelumnya (tahun 1994), luas lahan kritis di Jawa Barat tercatat 532.650,16 ha (meliputi luas lahan kritis yang berada di luar kawasan hutan (478.028,16 ha); dan yang berada di dalam kawasan hutan (36.622 ha).
Adanya lahan-lahan kritis ini umumnya disebabkan oleh adanya kegiatan yang secara langsung menyebabkan rusaknya daya dukung tanah/lahan, antara lain pemanfaatan lereng bukit yang tidak sesuai dengan peruntukkannya (untuk lahan pertanian yang tidak menerapkan teknologi konservasi, bahkan tidak sedikit yang berubah fungsi menjadi areal pemukiman).
Implikasi kondisi itu, tentunya akan membawa dampak permasalahan tersendiri bagi lingkungan sekitarnya. Lebih-lebih, jika perilaku dan pola pikir masyarakat golongan ini tidak benar-benar sejalan dengan pola pembangunan berwawasan lingkungan. Dalam bahasa Ervin Laszlo, selaku Sekretaris Jenderal European Culture Impact Research Consortium (EUROCIRCON), masalah yang timbul akibat jumlah populasi manusia yang mempergunakan sumber alam, menjadi faktor utama penyebab kerusakan sumber daya alam dan sistem biologi (baca: bencana longsor dan banjir).
Kerusakan Lingkungan
Terjadinya bencana banjir dan longsor belakangan ini, selain disebabkan oleh perilaku penduduk, juga didukung pula dengan kondisi lingkungan yang telah rusak akibat proses pembangunan yang ‘dipaksakan’ tanpa kontrol dan selektif meniru model-model pembangunan negara lain, yakni berupa germodernisasi pertanian, industrilisasi, dan urbanisasi. Ketiga unsur itu, dalam kaca mata Egger (1985) dapat membentuk kerusakan pada lingkungan.
Bentuk yang utama kerusakan lingkungan itu, antara lain: Pertama, hutan-hutan tropik menghilang berubah menjadi padang rumput, karena kenyataannya banyak hutan ditebangi, terkadang dibakar habis dan bukannya dimanfaatkan secara hati-hati. Bukti fenomena ini dapat dilihat dengan mudah setelah era reformasi bergulir, di mana banyak masyarakat yang dengan sesuka hatinya menjarah dan merusak habitat hutan.
Kedua, padang rumput (savana) yang lembab, kaya pepohonan berubah menjadi padang tandus luas (steppe) dan tanahnya mengalami erosi akibat membiarkan tanahnya menjadi gundul. Atau bisa juga akibat adanya pola tanam pertanian yang berada pada sepanjang daerah aliran sungai (terutama) bagian hulu yang kurang memperhatikan kelestarian tanahnya.
Ketiga, dengan terkikisnya lapisan atas tanah (erosi) yang tersapu masuk ke sungai-sungai semakin banyak, akibatnya keseimbangan air menjadi terganggu, dalam jangka panjang iklim menjadi kacau seperti yang terjadi pada tahun 1997-1998. Berkait dengan erosi tanah ini, maka akan berakibat banyaknya zat padatan yang terbawa air hujan menuju badan air (sungai).
Keempat, ‘tandon genetik’ menjadi berkurang karena ruang hidup flora dipersempit dan terbakukan. Sementara itu, budidaya satu jenis tanaman diperluas (areal pertanian baru).
Kelima, adanya industrilisasi yang tidak berwawasan lingkungan akan berakibat pada terjadinya pencemaran air, udara, dan tanah.
Keenam, mobilisasi urbanisasi besar-besaran akan berdampak pada munculnya pemukiman-pemukiman kumuh, perusakan ekosistem dan keadaan sanitasi lingkungan yang rendah. Lantas, bagaimana cara pengendalian longsor tersebut dan melakukan pembangunan yang sekaligus menyelamatkan lingkungan hidup?
Konservasi Alam
Berkait dengan upaya pengendalian longsor, pemerintah hendaknya tidak hanya sebatas memikirkan penerangan tentang bahaya longsor jika penduduk tetap bermukim di lereng-lereng gunung/bukit, tapi sudah sepatutnya ada tindakan nyata mengupayakan perubahan perilaku masyarakat untuk dapat menyesuaikan dengan habitat alam sekitarnya.
Seandainya lokasi pemukiman penduduk nyata-nyata berada di daerah rawan longsor, di sini pemerintah harus secara bijaksana mengupayakan/ mencari lokasi terbaik, misalnya dengan memindahkan pemukiman mereka ke daerah yang relatif lebih aman. Jika, ternyata di daerah itu nyata-nyata tidak ada lahan yang lebih aman, kemungkinannya dapat diantisipasi dengan mengamankan daerah itu dari bahaya longsor, diantaranya dengan melakukan konservasi sumber daya alam.
Konservasi sumber daya alam diartikan sebagai pengelolaan sumber daya alam tak terbaharui untuk menjamin pemanfaatan secara bijaksana dan sumber daya alam yang terperbaharui untuk menjamin keseimbangan ketersediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya.
Secara demikian, jika saja daerah rawan longsor diteras dan di tanami tanaman keras dan dirawat melalui teknik konservasi (sumber daya) alam dengan memprioritaskan keseimbangan alam, maka kejadian longsor yang membikin manusia berduka, bisa dicegah atau barangkali lebih tepat bisa dikurangi. Sebab, bencana alam yang sering terjadi selama ini, faktor utamanya karena manusia sekarang sudah tidak lagi menjaga kelestarian dan keseimbangan alam. Padahal, tanpa kondisi lingkungan yang mendukung maka kehidupan manusia menjadi terancam.
Berkait dengan fenomena bencana banjir dan longsor, maka dalam upaya pengendalian kedua bencana ini, kita tidak akan terlepas dari masalah hutan. Karena kedua bencana ini bisa berawal akibat erosi tanah dan gundulnya hutan sebagai areal resapan air hujan, seperti yang terjadi di Propinsi Banten dan daerah lainnya. Sehingga dalam konteks ini, kita sudah seharusnya menjaga hutan dari fungsi-fungsi yang diembannya.
Secara umum hutan itu dapat berfungsi seperti berikut. Pertama, sebagai hutan lindung. Yang berarti merupakan suatu kawasan hutan dengan keadaan sifat alam yang berkemampuan untuk mengatur tata air, mencegah erosi dan banjir, serta memelihara kesuburan tanah juga untuk melindungi dan melestarikan tipe-tipe ekosistem tertentu yang menjamin stabilitas tumbuhan maupun binatang.
Kedua, berfungsi sebagai hutan konservasi, di mana hutan model ini boleh diubah untuk keperluan pertanian, pemukiman, dan lain-lain. Ketiga, berfungsi sebagai hutan produksi. Yakni merupakan kawasan hutan yang sengaja ditanami jenis kayu-kayuan yang dapat dipungut hasilnya.
Kalau saja hal-hal disebut di atas dilaksanakan dengan baik dan bijaksana, maka kondisi lingkungan di sekitar kita tidak akan separah saat ini. Semoga hal ini menjadi pelajaran yang berarti buat kita dalam melakukan pengelolaan lingkungan ke depan. Kita hendaknya sadar bahwa pembangunan berkelanjutan berarti “Pemenuhan generasi sekarang secara adil dengan meluangkan kesemptan bagi generasi yang akan datang menentukan keinginan, serta meletakkan dasar bagi kemampuan mereka untuk memenuhi keinginan dan mencukupi kebutuhan.”***
Penulis, adalah dosen dan pemerhati masalah lingkungan hidup, tinggal di Bandung.
Arda Dinata adalah pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia, http://www.miqra.blogspot.com/.
BERBARENGAN dengan menghangatnya suhu perpolitikan di tanah air, ada beberapa permasalahan lingkungan yang perlu kita kedepankan, karena banyak nyawa manusia yang terancam olehnya. Tepatnya, beberapa daerah di Indonesia saat ini telah terjadi musibah banjir, tanah longsor dan angin badai.
Harian Suara Pembaruan, terbitan 15 Februari 2001 memberitakan ratusan Kepala Keluarga (KK) di sepuluh desa pada tiga kecamatan di Kabupaten Bogor yang kehilangan tempat tinggal akibat terkena musibah bencana alam tanah longsor dan angin ribut berturut-turut sejak Minggu (11/2) hingga Rabu (14/2), mengharapkan kepedulian Pemda setempat.
Di daerah Sumatra Barat, seperti diungkap Gubernur Zainal Bakar (Suara Pembaruan, 14/2), saat ini, masyarakat Sumatra Barat dihadapkan kepada cobaan yang teramat berat. Hujan deras turun terus-menerus, dengan curah hujan mencapai 362 mm, disertai angin kencang, menyebabkan terjadinya musibah banjir, longsor, dan angin badai.
Bencana alam serupa juga, sebelumnya melanda propinsi termuda, Banten. Dalam laporan yang dituturkan Penj. Gubernur Banten, Hakamuddin Djamal, jumlah kecamatan yang terkena bencana banjir dan longsor sebanyak 49 dan 209 desa di 4 kabupaten. Sementara itu, musibah tanah longsor dan banjir bandang di Sukabumi Selatan sedikitnya telah melanda 20 kecamatan. Menyusul musibah banjir di Propinsi Banten, di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Bengawan Solo di Bojonegoro, kembali terendam banjir akibat meluapnya sungai tersebut dan kabarnya merupakan banjir terbesar yang terjadi selama ini.
Gambaran di atas merupakan serangkaian musibah bencana alam yang telah menimpa sebagian daerah di Indonesia yang perlu segera mendapat pertolongan dan dicari jalan penyelesaiannya berkait dengan pengelolaan lingkungan di tanah air Indonesia.
Kalau kita amati, sebagian besar daerah rawan longsor itu berada di lokasi yang memiliki tekstur tanah terjal dan bergunung. Selain itu ada beberapa wilayah yang memang benar-benar memiliki lapisan tanah mudah sekali terjadi longsor apabila terkena rembesan air tanah yang berasal dari air hujan. Disamping juga dikarenakan hilangnya hutan di daerah tersebut. Dengan berkurangnya hutan, air hujan yang meresap ke dalam tanah berkurang pula. Dalam sekup yang luas, fenomena ini akan menyebabkan banjir di musim hujan dan kekurangan air akan makin parah pada musim kemarau.
Hilangnya hutan pada konteks ini, berarti pula makin besarnya erosi dan makin tingginya kandungan lumpur dalam air sungai. Kandungan lumpur yang tinggi; menyebabkan air sungai berwarna keruh, yang akhirnya lumpur akan mengendap di hilir dan muara sungai, sehingga aliran air terhambat. Dengan terhambatnya aliran sungai, kemungkinan terjadinya banjir makin besar. Apalagi bila didukung dengan curah hujan yang tinggi di daerah tersebut. Inilah sebenarnya penyebab yang mendasari terjadinya longsor dan banjir di beberapa daerah.
Kependudukan dan Lingkungan
Menyangkut fenomena masalah-masalah yang paling mendasar saat ini seperti disinggung di awal tulisan, menurut Ervin Laszlo (1999), kecenderungan-kecenderungan dan proses-proses yang menimbulkan masalah telah ada sejak dahulu, namun sekarang sedang menuju ambang kritis.
Menurutnya ada dua masalah penyebab timbulnya kecenderungan yang dampaknya sangat besar itu, yakni: Pertama, pertumbuhan keluarga manusia di seluruh dunia dan penggunaan sumber daya fisik planet bumi serta sistem biologis pendukung kehidupan. Kedua, cepat habisnya banyak sumber fisik bumi dan kerusakan sistem biologis pendukung kehidupan.
Secara demikian, problematika menyangkut kependudukan dan lingkungan hidup akan terus bergema dalam tahun-tahun ke depan, apalagi bila dikaitakan dengan telah diberlakunya otonomi daerah (Otda). Hal ini sejalan dengan prediksi pakar lingkungan hidup dari Universitas Padjadjaran, Prof. Dr. Otto Soemarwoto, yaitu kerusakan lingkungan hidup di daerah akan makin parah dengan diterapkannya otonomi daerah. Karena penerapan Otda, sangat berkaitan erat dengan keinginan daerah meningkatkan pendapatan asli daerahnya (PAD).
Untuk itu, dua permasalahan tersebut hendaknya sejak awal harus disadari oleh setiap mahluk bernama manusia. Karena secara sadar atau pun tidak sadar, yang jelas dua hal ini akan saling berinteraksi, “bercengkrama” membentuk sebuah formasi sebab akibat, yang ujung-ujungnya akan berimplikasi terhadap kelangsungan kehidupan (alam) manusia.
Menyikapi fenomena bencana longsor yang hampir terjadi tiap tahun ini, ternyata tidak membuat sebagian orang jera untuk membangun tempat tinggal di daerah rawan longsor. Penyebabnya dapat dipastikan karena mereka bukanya tidak mengetahui, kalau tinggal di lereng-lereng bukit/ gunung itu, resiko untuk tertimbun longsor sangat besar. Tetapi, faktor keterpaksaan itulah sebenarnya yang melatarbelakangi mereka untuk tetap tinggal di daerah rawan longsor. Keterpaksaan itu diantaranya menyangkut dengan keterbatasan kemampuan untuk memiliki lahan, dan terbatasnya ketersediaan lahan yang relatif aman bagi mereka.
Berkait dengan kondisi lahan kritis ini, berdasarkan data tahun 1996 di Jawa Barat saja, secara keseluruhan luas lahan kritis meningkat pesat menjadi 1.057.439 ha. Padahal sebelumnya (tahun 1994), luas lahan kritis di Jawa Barat tercatat 532.650,16 ha (meliputi luas lahan kritis yang berada di luar kawasan hutan (478.028,16 ha); dan yang berada di dalam kawasan hutan (36.622 ha).
Adanya lahan-lahan kritis ini umumnya disebabkan oleh adanya kegiatan yang secara langsung menyebabkan rusaknya daya dukung tanah/lahan, antara lain pemanfaatan lereng bukit yang tidak sesuai dengan peruntukkannya (untuk lahan pertanian yang tidak menerapkan teknologi konservasi, bahkan tidak sedikit yang berubah fungsi menjadi areal pemukiman).
Implikasi kondisi itu, tentunya akan membawa dampak permasalahan tersendiri bagi lingkungan sekitarnya. Lebih-lebih, jika perilaku dan pola pikir masyarakat golongan ini tidak benar-benar sejalan dengan pola pembangunan berwawasan lingkungan. Dalam bahasa Ervin Laszlo, selaku Sekretaris Jenderal European Culture Impact Research Consortium (EUROCIRCON), masalah yang timbul akibat jumlah populasi manusia yang mempergunakan sumber alam, menjadi faktor utama penyebab kerusakan sumber daya alam dan sistem biologi (baca: bencana longsor dan banjir).
Kerusakan Lingkungan
Terjadinya bencana banjir dan longsor belakangan ini, selain disebabkan oleh perilaku penduduk, juga didukung pula dengan kondisi lingkungan yang telah rusak akibat proses pembangunan yang ‘dipaksakan’ tanpa kontrol dan selektif meniru model-model pembangunan negara lain, yakni berupa germodernisasi pertanian, industrilisasi, dan urbanisasi. Ketiga unsur itu, dalam kaca mata Egger (1985) dapat membentuk kerusakan pada lingkungan.
Bentuk yang utama kerusakan lingkungan itu, antara lain: Pertama, hutan-hutan tropik menghilang berubah menjadi padang rumput, karena kenyataannya banyak hutan ditebangi, terkadang dibakar habis dan bukannya dimanfaatkan secara hati-hati. Bukti fenomena ini dapat dilihat dengan mudah setelah era reformasi bergulir, di mana banyak masyarakat yang dengan sesuka hatinya menjarah dan merusak habitat hutan.
Kedua, padang rumput (savana) yang lembab, kaya pepohonan berubah menjadi padang tandus luas (steppe) dan tanahnya mengalami erosi akibat membiarkan tanahnya menjadi gundul. Atau bisa juga akibat adanya pola tanam pertanian yang berada pada sepanjang daerah aliran sungai (terutama) bagian hulu yang kurang memperhatikan kelestarian tanahnya.
Ketiga, dengan terkikisnya lapisan atas tanah (erosi) yang tersapu masuk ke sungai-sungai semakin banyak, akibatnya keseimbangan air menjadi terganggu, dalam jangka panjang iklim menjadi kacau seperti yang terjadi pada tahun 1997-1998. Berkait dengan erosi tanah ini, maka akan berakibat banyaknya zat padatan yang terbawa air hujan menuju badan air (sungai).
Keempat, ‘tandon genetik’ menjadi berkurang karena ruang hidup flora dipersempit dan terbakukan. Sementara itu, budidaya satu jenis tanaman diperluas (areal pertanian baru).
Kelima, adanya industrilisasi yang tidak berwawasan lingkungan akan berakibat pada terjadinya pencemaran air, udara, dan tanah.
Keenam, mobilisasi urbanisasi besar-besaran akan berdampak pada munculnya pemukiman-pemukiman kumuh, perusakan ekosistem dan keadaan sanitasi lingkungan yang rendah. Lantas, bagaimana cara pengendalian longsor tersebut dan melakukan pembangunan yang sekaligus menyelamatkan lingkungan hidup?
Konservasi Alam
Berkait dengan upaya pengendalian longsor, pemerintah hendaknya tidak hanya sebatas memikirkan penerangan tentang bahaya longsor jika penduduk tetap bermukim di lereng-lereng gunung/bukit, tapi sudah sepatutnya ada tindakan nyata mengupayakan perubahan perilaku masyarakat untuk dapat menyesuaikan dengan habitat alam sekitarnya.
Seandainya lokasi pemukiman penduduk nyata-nyata berada di daerah rawan longsor, di sini pemerintah harus secara bijaksana mengupayakan/ mencari lokasi terbaik, misalnya dengan memindahkan pemukiman mereka ke daerah yang relatif lebih aman. Jika, ternyata di daerah itu nyata-nyata tidak ada lahan yang lebih aman, kemungkinannya dapat diantisipasi dengan mengamankan daerah itu dari bahaya longsor, diantaranya dengan melakukan konservasi sumber daya alam.
Konservasi sumber daya alam diartikan sebagai pengelolaan sumber daya alam tak terbaharui untuk menjamin pemanfaatan secara bijaksana dan sumber daya alam yang terperbaharui untuk menjamin keseimbangan ketersediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya.
Secara demikian, jika saja daerah rawan longsor diteras dan di tanami tanaman keras dan dirawat melalui teknik konservasi (sumber daya) alam dengan memprioritaskan keseimbangan alam, maka kejadian longsor yang membikin manusia berduka, bisa dicegah atau barangkali lebih tepat bisa dikurangi. Sebab, bencana alam yang sering terjadi selama ini, faktor utamanya karena manusia sekarang sudah tidak lagi menjaga kelestarian dan keseimbangan alam. Padahal, tanpa kondisi lingkungan yang mendukung maka kehidupan manusia menjadi terancam.
Berkait dengan fenomena bencana banjir dan longsor, maka dalam upaya pengendalian kedua bencana ini, kita tidak akan terlepas dari masalah hutan. Karena kedua bencana ini bisa berawal akibat erosi tanah dan gundulnya hutan sebagai areal resapan air hujan, seperti yang terjadi di Propinsi Banten dan daerah lainnya. Sehingga dalam konteks ini, kita sudah seharusnya menjaga hutan dari fungsi-fungsi yang diembannya.
Secara umum hutan itu dapat berfungsi seperti berikut. Pertama, sebagai hutan lindung. Yang berarti merupakan suatu kawasan hutan dengan keadaan sifat alam yang berkemampuan untuk mengatur tata air, mencegah erosi dan banjir, serta memelihara kesuburan tanah juga untuk melindungi dan melestarikan tipe-tipe ekosistem tertentu yang menjamin stabilitas tumbuhan maupun binatang.
Kedua, berfungsi sebagai hutan konservasi, di mana hutan model ini boleh diubah untuk keperluan pertanian, pemukiman, dan lain-lain. Ketiga, berfungsi sebagai hutan produksi. Yakni merupakan kawasan hutan yang sengaja ditanami jenis kayu-kayuan yang dapat dipungut hasilnya.
Kalau saja hal-hal disebut di atas dilaksanakan dengan baik dan bijaksana, maka kondisi lingkungan di sekitar kita tidak akan separah saat ini. Semoga hal ini menjadi pelajaran yang berarti buat kita dalam melakukan pengelolaan lingkungan ke depan. Kita hendaknya sadar bahwa pembangunan berkelanjutan berarti “Pemenuhan generasi sekarang secara adil dengan meluangkan kesemptan bagi generasi yang akan datang menentukan keinginan, serta meletakkan dasar bagi kemampuan mereka untuk memenuhi keinginan dan mencukupi kebutuhan.”***
Penulis, adalah dosen dan pemerhati masalah lingkungan hidup, tinggal di Bandung.
Arda Dinata adalah pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia, http://www.miqra.blogspot.com/.