Menyikapi Kasus Pelaksanaan Kebijakan JKN

Kasus

Jaminan Kesehatan Nasional di Indonesia dimulai sejak 1 Januari tahun 2014.JKN mempunyai tujuan yang terkait keadilan kesehatan. UU SJSN (2014) Pasal 2 menyatakan bahwa kebijakan ini mempunyai tujuan mulia yaitu untuk meningkatkan keadilan sosial bagi rakyat Indonesia. Dengan sistem pembayaran klaim JKN, maka ada berbagai isu penting yang mungkin dapat mengakibatkan terjadinya kegagalan penyeimbangan fasilitas dan SDM kesehatan. Dikawatirkan tujuan JKN untuk pemberian pelayanan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia akan gagal tercapai.

Untuk monitoring pelaksanaan kebijakan JKN, FK UGM bersama 10 perguruan tinggi melakukan penelitian pada tahun 2014. Penelitian ini merupakan awal penelitian monitoring yang akan berjalan dari tahun 2014 sampai dengan 2019. Ada berapa pertanyaan kritis yang terkait dengan kebijakan JKN adalah: (1) apakah masyarakat di daerah dengan ketersediaan fasilitas kesehatan dan SDM dokter dan dokter spesialis yang belum memadai akan mendapatkan manfaat JKN seperti daerah lain yang lebih baik?; (2) dalam kondisi Indonesia yang sangat bervariasi apakah JKN yang mempunyai ciri sentralistis dengan peraturan yang relatif seragam dapat mencapai tujuan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia?; (3) apakah dana pemerintah yang dianggarkan untuk Penerima Bantuan Iuran (PBI) dapat mencapai sasarannya. Pertanyaan-pertanyaan tersebut dibahas melalui pendekatan skenario yang akan menggambarkan berbagai kemungkinan berjalannya JKN di masa mendatang. Diharapkan dengan memahami skenario-skenario yang ditulis, berbagai keputusan dan kebijakan baru dapat diambil untuk mencegah terjadinya skenario terburuk.

Metode Penelitian

Kegiatan ini merupakan penelitian multi-center di 12 Provinsi dan di Pusat. Data yang dipergunakan adalah data sekunder mengenai perkembangan pembiayaan kesehatan di pemerintah pusat dari berbagai sumber; penyebaran tenaga kesehatan yang berada di di Kementerian Kesehatan dan KKI; penyebaran fasilitas kesehatan di Kementerian Kesehatan dan pengamatan/observasi di 12 provinsi yang dilakukan oleh peneliti. Data ini dipergunakan sebagai bahan untuk melakukan penulisan skenario.

Hasil:

berdasarkan data sekunder yang dikumpulkan di level propinsi pada bulan April 2014, propinsi-propinsi ini dapat dikelompokkan menjadi 2 bagian: (1) kelompok yang sudah maju dan (2) kelompok yang belum maju. Pembagian ini terutama pada masalah ketersediaan tenaga dokter dan dokter spesialis sebagai tulang punggung.Terjadi perbedaan yang ekstrim antara kedua jenis daerah tersebut. Secara ringkas, skenario optimis untuk pencapaian Universal Coverage di tahun 2019 dinyatakan oleh para peneliti di DKI, DIY, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, sebagian Kabupaten/Kota di Jawa Barat, sebagian kabupaten/kota di Jawa Tengah dan sebagian di Sulawesi Selatan. Sementara itu, skenario pesimis ringan dan berat untuk tercapainya UHC melalui JKN pada tahun 2019 dinyatakan oleh peneliti di NTT, Kalimatan Timur, sebagian Kab/Kota di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bengkulu, dan Sulawesi Tenggara.

Analisis Kebijakan:

Hasil dari skenario yang ditulis pada awal berjalannya BPJS di atas menunjukkan bahwa kebijakan sistem pembiayaan (adanya UU SJSN dan UU BPJS, JKN) ini mempunyai kemungkinan tidak berhasil mencapai tujuan dalam kriteria keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Bahkan ada kemungkinan terjadi peningkatankesenjangan. Masyarakat di daerah sulit dan di daerah maju tidak mempunyai manfaat yang sama, walaupun menjadi anggota BPJS. Portabilitas dapat memperburuk pemerataan, karena masyarakat daerah sulit yang dapat mendapat manfaat di daerah lain cenderung adalah orang mampu. Mengapa mungkin terjadi peningkatan kesenjangan?

Dalam hal ini ada kemungkinan cakupan pelayanan kesehatan yang akan semakin berbeda antara daerah maju dan sulit. Di daerah yang buruk terjadi kekurangan investasi. Penambahan RS dan tempat tidur di antara tahun 2012 sampai sekarang , terutama berada di daerah maju. Adanya Coordination of Benefit dengan Askes Swasta dapat menyebabkan masyarakat menengah ke atas di daerah maju akan lebih banyak mempunyai akses terhadap pelayanan. Saat ini terlihat kurangnya kebijakan publik untuk mengurangi biaya pelayanan yang ditanggung oleh masyarakat. Ada beberapa kebijakan untuk mengurangi beban masyarakat yang belum berjalan maksimal antara lain: belum adanya pelaksanaan kebijakan untuk menambah anggaran investasi fasilitas kesehatan dan sumber daya manusia untuk daerah sulit dan dana kompensasi BPJS. Dalam monitoring awal ini terlihat ada kemungkinan dana PBI di daerah yang buruk seperti NTT tidak terserap seluruhnya karena kekurangan tenaga medik dan keterbatasan akses terhadap pelayanan kesehatan. Sementara itu di daerah maju akan terserap untuk keperluan peserta PBI, non PBI dan non PBI Mandiri yang mengalami adverse selection. Ada kemungkinan terjadi gotong royong terbalik dimana dana "tidak terserap" di NTT akan dipergunakan untuk menutup biaya di daerah lain. Hal lain dalam skenario yang dapat memperbesar kesenjangan adalah potensi terjadinya Fraud pelayanan kesehatan di Daerah yang Baik.

Kesimpulan

Berdasarkan analisis skenario dalam monitoring awal pelaksanaan JKN, di perkirakan akan terjadi ketimpangan dan ketidakadilan yang semakin besar antara daerah maju dan daerah sulit, jika tidak dilakukan perbaikan kebijakan. Secara lebih rinci dapat disimpulkan: Pertama, bahwa masyarakat di daerah dengan ketersediaan fasilitas kesehatan dan SDM kesehatan yang tidak memadai akan mendapatkan manfaat JKN yang jauh lebih sedikit dibanding daerah yang maju/kota-kota besar.

Kedua, dalam kondisi Indonesia yang sangat bervariasi, JKN yang mempunyai ciri sentralistis dalam pembiayaan dengan peraturan yang relatif seragam, akan sulit mencapai tujuan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Ketiga, saerah-daerah yang sulit tidak dapat menyerap anggaran untuk PBI karena kekurangan fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan, sehingga terjadi "sisa" anggaran.Dikawatirkan itu anggaran "sisa" di daerah sulit ada kemungkinan dipergunakan untuk mendanai masyarakat di daerah maju.

Rekomendasi kebijakan
:
  1. Memperhatikan aspek preventif dan promotif secara lebih kuat.
    Kementerian Kesehatan perlu meningkatkan kegiatan preventif dan promotif.Disamping meningkatkan kemampuan Kementerian Kesehatan untuk penguatan aspek preventif dan promotif perlu dicatat bahwa usaha preventif dan promotif sebagian besar berada di luar wewenang Kementerian Kesehatan, atau menjadi tanggungjawab kementerian lainnya.Untuk itu diharapkan ada kebijakan meningkatka pencegahan dan promosi kesehatan di seluruh Kementerian.
  2. Memperbaiki berbagai kebijakan di JKN.
    Berdasarkan konsep pembiayaan kesehatan, diharapkan ada kebijakan yang memperhatikan berbagai titik kritis di sistem, sebagai berikut.
    • Kebijakan di pengumpulan dana kesehatan (Revenue Collection): Perlu peningkatan dana untuk program kesehatan dari APBN dan APBD dan masyarakat. Peningkatan dana ini berwujud anggaran investasi dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang mampu untuk memperluas akses terhadap pelayanan kesehatan dan pemenuhan kecukupan tenaga kesehatan khususnya di daerah sulit.
    • Perubahan kebijakan penanganan dana di BPJS dan APBN/APBD (Pooling the Risk): Perlu kebijakan yang lebih menngaplikasikan prinsip asuransi kesehatan sosial dalam BPJS; Bagi masyarakat yang menggunakan kelas I dan VIP sebaiknya menggunakan asuransi komersial tanpa ada hubungan dengan dana BPJS; Perlu kebijakan untuk mencegah adverse selection, khususnya bagi masyarakat yang mampu; Perlu kebijakan untuk memisahkan dana yang berasal dari PBI dan non PBI sehingga dapat dilakukan transparansi dan akuntabilitas yang lebih baik. Dengan demikian di dalam BPJS akan ada kompartemen-kompartemen berdasarkan sumber dana dan pengeluarannya. Diharapkan ada pemisahan yang tegas sehingga mencegah terjadinya dana yang masuk dari PBI di BPJS dipergunakan untuk pengeluaran kesehatan bagi masyarakat yang non-PBI mandiri; Perlu mengaktifkan kebijakan Dana Kompensasi untuk daerah-daerah yang belum mempunyai sumber daya kesehatan yang cukup.
    • Perubahan Kebijakan di penyaluran dana BPJS: Perlu ada kebijakan pembatasan Benefit Package (Paket Manfaat) dan/atau menggunakan iur biaya untuk berbagai pelayanan yang besar biayanya; Perlu ada kebijakan untuk memperbaiki aspek pemberi pelayanan (supply) pelayanan kesehatan terlebih dahulu sebelum menggunakan klaim; Perlu adanya sistem verifikator dan investigator yang lebih baik di pelayanan primer dan rujukan untuk mencegah fraud dan pemborosan dana yang tidak perlu. Untuk mengurangi biaya sumber daya manusia dan pemerataan pelayanan, residen perlu dijadikan pekerja medis dalam pelayanan kesehatan yang didanai oleh BPJS.Dalam jangka pendek diharapkan ada kebijakan pengiriman tenaga medis ke berbagai rumah sakit dan puskesmas yang kekurangan SDM. Disamping itu perlu ada kebijakan sistem pencegahan dan penindakan fraud dalam jaminan kesehatan.

(Sumber: http://www.kebijakankesehatanindonesia.net/component/content/article/2992-minggu-4) 

=DISKUSI: ARDA DINATA

Diskusi 4.1
Menurut anda, apakah pelaksanaan kebijakan JKN merupakan pelaksanaan yang top-down atau bottom-up? Mohon dianalisis.

Untuk menentukan apakah pelaksanaan kebijakan JKN merupakan pelaksanaan yang top-down atau bottom-up? Menurut saya, hal ini bisa dianalisis bersadarkan studi implementasi kebijakan.

Dalam studi implementasi kebijakan, kita tahu ada dua pendekatan guna memahami implementasi kebijakan, yakni: (1) Pendekatan top-down. Yakni implementasi kebijakan yang dilakukan tersentralisir dan dimulai dari aktor tingkat pusat dan keputusannnya pun diambil dari tingkat pusat. Pendekatan ini bertitik tolak dari perspektif keputusan politik (kebijakan) yang ditetapkan oleh pembuat kebijakan harus dilaksanakan oleh administratur atau birokrat level bawahnya.

(2) Pendekatan Bottom-Up. Didasarkan pada jenis kebijakan publik yang mendorong masyarakat untuk mengerjakan sendiri implementasi kebijakannya, atau masih melibatkan pemerintah, namun hanya ditataran rendah. Para ahli kebijakan juga mengajukan beberapa model implementasi kebijakan untuk keperluan penelitian maupun analisis. Model yang digunakan untuk menganalisis permasalahan kebijaksanaan yang semakin kompleks. Untuk itu diperlukan teori yang mampu menjelaskan hubungan kausalitas antar variabel yang menjadi fokus analisis.

Atas dasar penjelasan di atas, maka pelaksanaan kebijakan JKN ini merupakan pelaksanaan kebijakan yang top-down.

Diskusi 4.2
Apakah ada situasi Principle-Agency Relationship dalam hubungan antara BPJS dengan pemerintah dan masyarakat?

Terkait hal ini, harus ada perbaikan berbagai kebijakan di JKN. Berdasarkan  konsep pembiayaan kesehatan, diharapkan ada kebijakan yang memperhatikan berbagai titik kritis di dalam sistem, diantaranya: (1) Perlu peningkatan dana untuk program kesehatan dari APBN dan APBD serta masyarakat. Peningkatan dana ini berwujud anggaran investasi dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang mampu untuk memperluas akses terhadap pelayanan kesehatan dan pemenuhan kecukupan tenaga kesehatan khususnya di daerah sulit.

(2) Perlu kebijakan yang lebih mengaplikasikan prinsip asuransi kesehatan sosial dalam BPJS; Bagi masyarakat yang menggunakan kelas I dan VIP sebaiknya menggunakan asuransi komersial tanpa ada hubungan dengan dana BPJS;  perlu kebijakan untuk mencegah adverse selection, khususnya bagi masyarakat yang mampu; kemudian perlu kebijakan untuk memisahkan dana yang berasal dari PBI dan non PBI sehingga dapat dilakukan transparansi dan akuntabilitas yang lebih baik. Dengan demikian, di dalam BPJS akan ada kompartemen-kompartemen berdasarkan sumber dana dan pengeluarannya. Lalu, diharapkan ada pemisahan yang tegas sehingga mencegah terjadinya dana yang masuk dari PBI di BPJS dipergunakan untuk pengeluaran kesehatan bagi masyarakat yang non-PBI mandiri; serta perlu mengaktifkan kebijakan dana kompensasi untuk daerah-daerah yang belum mempunyai sumber daya kesehatan yang cukup.

(3) Perlu ada kebijakan pembatasan Benefit Package (Paket Manfaat) dan/atau menggunakan iur biaya untuk berbagai pelayanan yang besar biayanya; perlu ada kebijakan untuk memperbaiki aspek pemberi pelayanan (supply) kesehatan terlebih dahulu sebelum menggunakan klaim; perlu adanya sistem verifikator dan investigator yang lebih baik di pelayanan primer dan rujukan untuk mencegah fraud dan pemborosan dana yang tidak perlu. Untuk mengurangi biaya sumber daya manusia dan pemerataan pelayanan, residen perlu dijadikan pekerja medis dalam pelayanan kesehatan yang didanai oleh BPJS.

Dalam jangka pendek, diharapkan ada kebijakan pengiriman tenaga medis keberbagai rumah sakit dan puskesmas yang kekurangan SDM. Di samping itu perlu ada kebijakan sistem pencegahan dan penindakan fraud dalam jaminan kesehatan.

Diskusi 4.3
Menurut anda apakah kasus di Minggu 4 merupakan: Penelitian Kebijakan atau bukan?

Bila dilihat dari kasus yang dipaparkan di atas, maka kasus itu merupakan salah satu hasil dari penilitian tentang kebijakan kesehatan terkait kebijakan pembiayaan kesehatan.

Apalagi kalau kita lihat situasi sistem kesehatan di Indonesia saat ini masih mempunyai berbagai tantangan berat. Ada masalah pemerataan pelayanan kesehatan, perencanaan kesehatan yang tidak tepat sasaran, pelaksanaan yang terdesak waktu, belum baiknya kesinambungan dan integrasi antar program kesehatan. Secara geografis masih terdapat ketimpangan antar regional dalam pelayanan kesehatan. Sebagai catatan di tahun 2014 program BPJS akan berjalan dengan asumsi sudah terjadi pemerataan pelayanan kesehatan.

Merupakan Evaluasi Kebijakan yang Sumatif atau Formatif?

Evaluasi kebijakan dalam perspektif alur proses atau siklus kebijakan itu menempati posisi terakhir setelah implementasi kebijakan, sehingga sudah sewajarnya jika kebijakan publik yang telah dibuat dan dilaksanakan lalu dievaluasi.

Dari evaluasi akan diketahui keberhasilan atau kegagalan sebuah kebijakan, sehingga secara normatif akan diperoleh rekomendasi apakah kebijakan dapat dilanjutkan; atau perlu perbaikan sebelum dilanjutkan, atau bahkan harus dihentikan.

Dari hasil evaluasi pula kita dapat menilai apakah sebuah kebijakan/program memberikan manfaat atau tidak bagi masyarakat yang dituju. Secara normatif fungsi evaluasi sangat dibutuhkan sebagai bentuk pertanggungjawaban publik, terlebih di masa masyarakat yang makin kritis menilai kinerja pemerintah.

Pada konteks kasus kebijakan JKN tersebut, maka dapat dilihat berdasarkan dua pendekatan evaluasi, yaitu formatif dan sumatif. Evaluasi formatif, adalah evaluasi yang dilakukan pada tahap pelaksanaan program dengan tujuan untuk mengubah atau memperbaki program. Evaluasi ini dilakukan untuk memperbaiki program yang sedang berjalan dan didasarkan atas kegiatan sehari-hari, minggu, bulan bahkan tahun, atau waktu yang relatif pendek. Manfaat evaluasi formatif terutama untuk memberikan umpan balik kepada manajer program tentang hasil yang dicapai beserta hambatan-hambatan yang dihadapi. Evaluasi formatif sering disebut sebagai evaluasi proses atau monitoring.

Sedangkan evaluasi sumatif, adalah evaluasi yang dilakukan untuk melihat hasil keseluruhan dari suatu program yang telah selesai dilaksanakan. Evaluasi ini dilakukan pada akhir kegiatan atau beberapa kurun waktu setelah program, guna menilai keberhasilan program.

Berdasarkan kajian evalusi tersebut, maka kasus kebijakan JKN itu harus dilakukan dengan kedua pendekatan evaluasi, yaitu baik evaluasi formatif maupun evalusi sumatif. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan Azwar (1996), bahwa evaluasi formatif itu menghasilkan informasi yang akan dipergunakan untuk mengembangkan program, agar program lebih sesuai dengan situasi dan kondisi sasaran. Sedangkan, evaluasi sumatif ialah suatu evaluasi yang memberikan pernyataan suatu program selama urun waktu tertentu dan evaluasi ini menilai suatu program itu berjalan.

Apakah mengandung Analisis kebijakan yang retrospektif dan prospektif?

Sementara itu, ada kecenderungan regionalisasi dan desentralisasi sistem kesehatan semakin meningkat. Berbagai peraturan baru mengatur kebijakan regionalisasi dan desentralisasi. Konsekuensinya, kebijakan di pusat dan daerah harus sambung, tidak boleh terfragmentasi. Dan di sisi pengambilan kebijakan, masih ada kekurangan pemahaman mengenai kebutuhan penelitian yang dapat meningkatkan efektifitas pengambilan kebijakan.

Dengan minimnya tenaga peneliti kebijakan, terjadi suatu situasi dimana tidak ada dorongan untuk melakukan penelitian kebijakan. Celakanya di sisi pengambil kebijakan, masih ada pendapat yang menganggap tidak perlu adanya penelitian kebijakan yang independen. Sejarah mencatat bahwa beberapa kebijakan besar (baca: kebijakan JKN), dilakukan tanpa didahului, dimonitor pelaksanaannya, dan dievaluasi oleh penelitian yang independen. Akibatnya efektifitas kebijakan menjadi buruk dan sulit dinilai.

Apakah dapat menjadi bahan untuk pengambil keputusan?
          
Hasil penelitian kebijakan itu, dapat dijadikan bahan untuk pengambilan kebjiakan kesehatan terkait pembiayaan kesehatan. Yakni dalam implementasi kebijakan untuk cakupan kesehatan universal, peran pemerintah sebagai pelayan memiliki dampak yang terbatas. Pemerintah menghadapi kesulitan dalam pengembangan infrastruktur kesehatan-layanan baru dan menggunakan sumber daya manusia yang memadai untuk kesehatan dalam rangka meminimalkan kesenjangan ketimpangan akses ke layanan. Kementerian kesehatan dan dinas kesehatan pemerintah daerah memiliki masalah dalam memantau kinerja pembeli. Tidak ada desain kebijakan untuk memantau kinerja BPJS. Di pemerintah daerah, ada kebimbangan tentang peran dinas kesehatan kabupaten.
(Arda Dinata).
BACA ARTIKEL LAINNYA:
Lebih baru Lebih lama