Peran Tenaga Kesehatan (Lingkungan) Dalam Pengendalian
Tembakau di Indonesia
Oleh:
Arda Dinata
NIM: 16/403188/PKU/16006
Minat: Kesehatan Lingkungan
Pendahuluan
Penggunaan tembakau telah menjadi masalah kesehatan global, baik di
negara maju dan berkembang. Tembakau telah membunuh 100 juta jiwa selama abad
ke 20 dan diperkirakan akan membunuh 1 milyar jiwa pada abad 21, bila hal ini
terus dibiarkan. (Wipfli,
et all., 2016).
Kebijakan pengendalian tembakau di
Indonesia masih menimbulkan perdebatan yang panjang, mulai dari hak asasi
seorang perokok, fatwa haram merokok di tempat umum sampai dengan dampak anti
rokok terhadap perekonomian dan tenaga kerja di Indonesia. Padahal hasil kajian
di beberapa negara menunjukkan bahwa kebijakan merupakan cara yang efektif
untuk mengendalikan tembakau atau lebih khusus untuk mengurangi kebiasaan
merokok. (Azkha, N.; 2013). Tulisan ini mencoba mencermati peran tenaga kesehatan
(lingkungan) dalam pengendalian tembakau di Indonesia.
Pembahasan
Epidemi tembakau memberi kita
pelajaran penting untuk mengendalikan penggunaan tembakau. Bukti ilmiah ada
kekuatan untuk memicu perubahan kebijakan yang cepat dan dramatis, yaitu
perlunya kepemimpinan yang berani untuk mengubah status quo, dan kebutuhan
untuk menahan perusahaan-perusahaan transnasional yang bertanggung jawab
terhadap bahaya yang muncul dari korporasi yang serakah dan tak terkendali. (Wipfli, et all., 2016).
Di Indonesia, upaya pengendalian konsumsi tembakau, dimulai 1999 dengan
keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 81, yang terakhir telah direvisi
melalui PP No. 19/2003 tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan. Seharusnya
pengurangan/penghentian kebiasaan merokok ini menjadi tanggung jawab semua
pihak. Profesi kesehatan (para dokter dan paramedis) mempunyai peran sangat
penting dalam promosi berhenti merokok dan menjadi contoh bagi masyarakat.
Kebiasaan merokok pada petugas kesehatan harus segera dihentikan. Selanjutnya,
petugas kesehatan diyakini mempunyai peran mencapai 10% dalam mendorong pasien
untuk berhenti merokok berupa intruksi tegas pada pasien untuk berhenti
merokok. (Sukmaningsih, dalam Daroji; 2012).
Namun nyatanya, sampai saat ini peran petugas kesehatan dalam upaya
pengurangan jumlah konsumsi tembakau belum bisa optimal. Apalagi masih banyak
dijumpai petugas kesehatan sendiri mempunyai perilaku merokok, bahkan di tempat
kerja dan ruang kerjanya. Fakta ada 94% pegawai kesehatan laki-laki di RSUD STS
Tebo, mempunyai kebiasaan merokok di tempat kerja. Hal ini menunjukkan
kurangnya kepedulian petugas kesehatan terhadap upaya promosi berhenti merokok
pada pasien dan masyarakat. (Apriwal dalam Daroji; 2012).
Pelaksanaan Kebijakan Kawasan Tanpa
Rokok (KTR) tidak terlepas dari komitmen Kepala Daerah, bentuk komitmen itu
terlihat dari kegiatan pemantauan secara rutin, dan memberikan teguran kepada
warga yang tidak mengindahkan peraturan tersebut, seperti di Kota Padang
Panjang. Penerapan KTR ini sudah dapat melarang adanya iklan rokok di sepanjang
kota, bahkan juga sudah menunjuk institusi kesehatan dan pendidikan sebagai
pelopor dari KTR, walaupun warga masih ada yang merokok, tapi penerapan KTR ini
sudah dapat menurunkan perokok aktif (Azkha, N.; 2013).
Peran SDM Kesehatan
SDM tenaga kesehatan (lingkungan)
harus berkesrjasama dengan semua tenaga kesehatan lainnya. Bahkan, dalam melaksanakan
kebijakan KTR ini harus bekerjasama dengan seluruh lintas sektor yang ada, yakni
dengan SKPD terkait lainnya harus terlibat dalam pelaksanaan kebijakan ini.
Belajar dari Provinsi Sumatera
Barat, bentuk ketenagaan lintas sektoral ini dilegalkan dalam bentuk tim
pelaksana pengawasan, tim pemantau, serta tim penegak Perda (Azkha, N.; 2013). Sebab,
SDM ini adalah orang yang berpengaruh terhadap keberhasilan implementasi suatu
kebijakan. Dalam hal ini, peran tenaga kesehatan
(lingkungan) dalam pengendalian tembakau harus mengambil sesuai kompentsinya, antara
lain: mengkatalisasi perubahan, kepemimpinan, penilaian, perencanaan, implementasi,
evaluasi, advokasi, dan kemitraan terkait pengendalian tembakau itu.
Petugas kesehatan (lingkungan) di puskesmas seharusnya mempunyai peran
yang sangat strategis dalam upaya mengurangi risiko kesehatan dari rokok pada
masyarakat melalui promosi berhenti merokok pada pasien dan masyarakat. Peran
petugas puskesmas dalam upaya promosi kesehatan berhenti merokok pada pasien
dan masyarakat (Daroji; 2012) adalah:
(1) Memberi edukasi kepada pasien dan keluarga, (2) Memberi edukasi pada
masyarakat melalui penyuluhan, rakordasi dan sekolah, (3) Memberi saran atau
intruksi pengobatan pada pasien, (4) Menyediakan media informasi tentang bahaya
rokok, (5) Menjadi model perilaku tidak merokok, (6) Membuat model wilayah
bebas asap rokok, (7) Membuat kolaborasi pelayanan klinis dengan psikolog.
Kesimpulan
Implementasi kebijakan pengendalian
tembakau tidak akan berhasil tanpa adanya dukungan dari SDM yang cukup kualitas
dan kuantitasnya. World Health Organization (WHO) menyarankan ada enam langkah strategis pengendalian tembakau sebagai
cerminan dari Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), yaitu: Monittor
penggunaan tembakau dan kebijakan pencegahannya; Perlindungan terhadap asap
rokok; Optimalkan dukungan untuk berhenti merokok; Waspadakan masyarakat akan
bahaya tembakau; Eliminasi iklan, promosi dan sponsor terkait tembakau; dan
Raih kenaikan cukai tembakau. Bila keenam langkah ini dilaksanakan secara
komprehensif melibatkan berbagai pihak akan dapat mengendalikan dampak
penggunaan tembakau.
Daftar Pustaka
Azkha, N. (2013). Studi Efektivitas Penerapan Kebijakan Perda
Kota Tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) Dalam Upaya Menurunkan Perokok Aktif Di
Sumatera Barat Tahun 2013. Jurnal
Kebijakan Kesehatan Indonesia, 2(04).
Daroji, M., Prabandari, Y. S.,
& Paramastri, I. (2012). Peran
Petugas Puskesmas dalam Promosi Kesehatan Berhenti Merokok pada Pasien dan
Masyarakat. Berita Kedokteran
Masyarakat (BKM), 27(2),
83.
Wipfli, H., & Samet, J. M. (2016). One Hundred Years In The Making: The Global Tobacco Epidemic. Annual review of public health, 37, 149-166.