EMBUN pagi masih belum mengering. Rombongan ibu-ibu bergerombol sibuk di
pancuran tempat penampungan air yang ada di belakang Rumah Panjang. Jaraknya
sekira 100 meter. Suasana ini terjadi tiap pagi dan sore hari. Mereka selain
mandi, juga mencuci piring dan baju. Dan pulangnya tidak ketinggalan ibu-ibu
tersebut membawa air. Ada yang menggunakan ember dan kent (drigen). Yang khas adalah cara membawanya dengan mengikatkan
talinya di atas kepala.
Ketika ditanya, kenapa para ibu yang mengambil air? “Karena ibu-ibu yang merasa butuh air untuk keperluan di dapur. Kalau tidak ada bapak, iya ibu yang ambil air. Kalau ada bapak, iya dibantu bapak ambil airnya,” ujar ibu Fernadeta yang suaminya sekarang terkena stroke ini.
Saya pun masih menikmati obrolan ringan itu sambil gosok gigi, bersih-bersih tangan dan kaki. Dengan bahasa khas Suku Dayak Kanayatn terlihat ibu-ibu tersebut asyik dengan obrolan paginya di lingkungan pancuran air yang digunakan secara bergantian itu. Mereka pun tidak berebutan. Begitu penuh rasa toleransi. Saling menunggu bergantian.
Tiba-tiba dari arah selatan datang seorang ibu-ibu yang sedang hamil 9 bulan membawa drigen ukuran 5 literan untuk mengangkut air di sisi kiri dan kanannya. Walau ibu tersebut dalam kondisi hamil, ia masih melakukan yang sering dilakukan ibu-ibu suku Dayak Kanayatn pada umumnya. Alasannya, biar ada gerak dan biar tetap lancar saat mau melahirkannya. “Angkut air tiap pagi dan sore,” katanya.
**
Matahari pun sudah menari-nari tanpa malu-malu, mulai memperlihatkan keperkasaannya. Siang ini, saya jalan-jalan melihat bagian Rumah Panjang termasuk kondisi lingkungan pada bagian belakangnya.
Rumah yang saya tinggali ini bersatu dengan penghuni rumah lainnya. Makanya bentuk rumahnya kalau dilihat dari depan bentuknya panjang sekali. Radakng atau rumah panjang ini berada di Desa Saham, Kecamatan Sengah Temila, Kabupaten Landak, Provinsi Kalimantan Barat yang merupakan salah satu Rumah Panjang dari Suku Dayak Kanayatn. Rumah ini merupakan cagar budaya dan sering dapat bantuan dari pemerintah. Sehingga kadang kala menjadi jalan keirian masyarakat yang tinggal di luar Rumah Panjang. Padahal mereka masih satu dusun.
“Tiap tahun mereka yang di rumah panjang itu selalu mendapat bantuan dari Pemda Kab. Landak. Sedangkan yang di bawahnya tidak dapat bantuan. Sehingga muncul kecemburuan,” kata A Musmuliadi, Kepala Desa Saham dengan logat ahe’ yang mendayu-dayu.
Radakng (Rumah Panjang) ini memiliki ciri khas yang ditampilkan dari bentuk atap dan dekorasi bagian-bagiannya. Bentuk fisiknya memiliki panjang 180 meter, lebar 12 meter, serambi 5,2 meter dengan tinggi dek ialah 2,5 meter.
Saya pun melihat lebih jauh dari beberapa bagian yang ada di rumah panjang ini. Kalau dilihat bagian-bagiannya setiap petak rumah tersebut adalah sama. Yang membedakan hanya besarnya ukuran ruangan bilik di dalamnya. Bagian-bagian dalam bangunan tersebut terdiri dari: tangga naik (tanga’ naik); pante (tempat menjemur); pene (tempat duduk-duduk santai) yang menyatu dengan sami’ atau ruang tamu pada waktu dulu (sekarang fungsi rungan tamu ini sudah menggunakan salah satu ruangan bilik); kamar keluarga (bilik) yang terdiri dari kamar-kamar sesuai kebutuhan; dapur; dan jungkar.
Kalau dilihat dari bahan bangunannya. Rumah Panjang hampir semua bagiannya terbuat dari bahan kayu, kecuali pada bagian atapnya. Karena rumahnya berbentuk panggung, maka sebetulnya kondisi sirkulasi udara tidak menjadi masalah. Cuman untuk pencahayaan pada bagian-bagian tertentu masih ada yang gelap. Apalagi bila aliran listrik mati. Terutama pada bagian bilik yang dipakai sebagai kamar tidur. Pada beberapa petak rumah bagian biliknya tidak ada jendela. Padahal kalau saja ada jendela atau pakai kaca di atasnya, maka matahari dari arah timur pada pagi hari akan masuk menyinari ruang bilik ini. Sedangkan untuk kamar tidur dan lorongnya sudah ada jendela. Jadi, kalau jendelanya dibuka maka cahaya matahari akan masuk menyinari ruangan ini.
“Fungsi rumah panggung ini menurut nenek moyang kita dulu adalah baik. Yaitu agar tidak kotor. Kebersihannya terjaga karena posisinya tinggi dari atas tanah. Namun, sekarang kondisi Rumah Panjang kurang dijaga kebersihannya,” kata pengakuan Frorensius Pandus. D, selaku Sekretaris Desa Saham yang juga tinggal di Rumah Panjang ini.
Saya melihat di bagian bawah Rumah Panjang ada sampah-sampah plastik berserakan, terutama sampah bekas bungkus snak dan bungkus jajanan lainnya. Belum lagi akibat kurang ditatanya saluran pembuangan air kotor dari bilik kamar mandi dan dapur. Hal ini membuat bagian bawah Rumah Panjang kondisinya lembab dan ada beberapa genangan air. Sehingga kondisi ini dapat dijadikan sarang Parungakng (nyamuk). Termasuk pada bagian jungkar (halaman belakang) yang kelihatannya jarang dibersihkan. Masih ada sampah daun-daun juga yang banyak berserakan.
Kondisi tersebut, tentu menjadi kurang menyehatkan dan mengganggu keindahan Rumah Panjang. Apalagi hewan (laok) peliharaan dan ternak banyak yang tidak dikandangkan. Seperti manok (ayam), jalu (babi) dan asu’ (anjing) bebas berkeliaran di bawah Rumah Panjang. Bahkan untuk asu’ ini naik ke Rumah Panjang pada bagian pate dan sami’.
**
Sore hari ini, saya cukup beruntung. Sebab, ketika keluar dari bilik rumah yang saya gunakan sebagai tempat tinggal selama di Rumah Panjang ini, saya menemukan sosok remaja putri. Kalau dilihat dari bentuk tubuh dan wajahnya, anak ini kira-kira masih duduk di SMA. Saya tidak mensia-siakan kesempatan berharga ini untuk bertanya berbagai hal.
Eh..... tepat deh perkiraan saya. Remaja itu, bernama Clara N.L. Ia masih sekolah dan sekarang duduk di SMA kelas dua. Usianya masih 17 tahun. Setelah basa-basi bertanya tentang Suku Dayak dan Rumah Panjang ini, saya langsung tanya terkait tema penelitian di Suku Dayak ini terutama masalah masa remaja atau pra nikah.
Yang pertama saya tanyakan adalah masalah informasi seks pra nikah. Menurut pengakuan Clara, demikian temen-temennya memanggil, ia mendapatkan informasi masalah seksual dan norma adat pergaulan masa remaja ini dari orang tua, guru, dan kakek-neneknya.
“Remaja di sini masih memegang adat. Dan kita bergaul dengan sesama remaja tidak sembarangan. Harus ikut aturan adat. Misalnya ngak boleh berdua-dua. Sebab, nanti kalau terjadi hamil di luar nikah. Kena hukum adat,” tuturnya.
Clara ini, kalau dilihat dari respon dia menjawab pertanyaan-pertanyaan yang saya ajukan, terlihat antusias sekali. Dan kelihatannya seneng banget berdiskusi. Kondisi ini saya manfaatkan untuk mengetahui lebih banyak lagi terkait acara adat budaya dan terutama bahasa yang dipakai Suku Dayak Kanayatn.
Bener saja. Terkait bahasa sehari-hari yang digunakan Suku Dayak ini, saya mencatat banyak sekali kata-kata baru yang didapat. Dan tentu, saya minta dengan arti maupun padanan katanya dalam bahasa Indonesia. “Luar biasa.....! Tidak terasa lebih dari seratus kata telah saya gali dan dicatat tentunya. Ini bisa jadi kamus kata Suku Dayak kecil-kecilan. Makasih banyak Clara... atas semuanya,” pikirku dengan sangat senang.
**
Kesenangan dan kegembiraan saya hari ini, tidak berhenti sampai di sini. Menjelang senja hari, saya disuguhi pemandangan yang betul-betul indah menakjubkan dan menyejukan mata di atas langit Rumah Panjang. Sehingga begitu spontan naluriku untuk menuliskan syair tentang apa yang dilihat dan dirasakan.
Senja indah dilapisi pelangi warna-warni. Aku terpana dibuatnya. Indah nian senja yang penuh warna. Liukan warna pelangimu menari-nari dalam kebahagian bumi.
Anak-anak pun riang gembira. Ia terus berlari ke sana ke mari. Tak perduli dengan kaki yang telanjang tak berasalkan pelindung diri.
Mereka bebas berkejaran tanpa beban. Begitu lepas dengan raga diri yang riang gembira. Bercanda, berteriak melepaskan kegembiraan hati yang tak terbendung asa. Ia bermain menikmati senja yang bertaburan pelangi. Senja yang indah mempesona.
Rumah Panjang, 11 Mei 2014
@ardadinata