Taman Kebahagiaan Manusia
Oleh
ARDA DINATA
“Kenyamanan jasad adalah dengan sedikit makan; kenyamanan jiwa adalah dengan sedikit dosa; kenyamanan hati adalah dengan sedikit keinginan; dan kenyamanan lisan adalah dengan sedikit berbicara.” (Tsabit Qurrah).
Semua itu mengandung arti bahwa dengan merawat taman, berarti kita sejatinya tengah mengungkapkan rasa syukur atas nikmat mempunyai rumah. Apalagi jika taman-taman itu terpelihara dengan baik. Ia akan memancarkan kebeningan berupa kesejukan bagi setiap orang yang memandangnya, membuat nyaman dan tenang bagi mereka yang berada di lingkungan taman tersebut.
Begitu pun dengan manusia. Ia ibarat sebuah rumah. Dan sebagai taman-tamannya adalah perilaku kesehariannya yang merupakan cerminan dari kondisi hatinya. Dr. Ahmad Faried menggambarkan hubungan hati dengan organ-organ tubuh lainnya, laksana raja yang bertahta di atas singgasana yang dikelilingi para punggawanya. Seluruh anggota punggawa bergerak atas perintahnya. Dengan kata lain, bahwa hati itu adalah sebagai reaktor pengendali atau remote control sekaligus pemegang komando terdepan (utama). Makanya, semua anggota tubuh berada di bawah komando dan dominasinya. Di hati inilah anggota badan lainnya mengambil keteladannya, yakni berupa inspirasi dalam ketaatan atau penyimpangan.
Jadi, betapa indahnya bila kecerdasan inspirasi hati kita ini tetap terjaga. Yaitu suatu suasana kehidupan manusia yang selalu diselimuti kebeningan hati, sehingga ia akan selalu mengkonsulkan segala aktivitas hidupnya dengan indera perasa (kebenaran) dan suara hati nuraninya. Sebab, adakah yang lebih jujur dari hati nurani, ketika ia menyadarkan kita tanpa butiran kata-kata. Adakah yang lebih tajam dari mata hati, saat ia menghentak kita dari beragam kesalahan dan alpa. Lalu, bagaimana sesungguhnya langkah-langkah yang dapat kita lakukan untuk membangun dan membangkitkan perilaku bahagia dalam hidup manusia?
Setiap manusia, dapat dipastikan mengharapkan kebahagiaan dalam hidupnya. Sehingga pantas bila Syaikh Syarbashi pernah berkata, “Semua manusia yang hidup di dunia ini berlomba-lomba mencari kebahagiaan dan ingin bisa meraihnya walaupun dengan harga yang tinggi.”
Kebahagiaan itu, ternyata di mata orang-orang bodoh dan pendusta adalah dianggap sebagai lafaz yang tidak berhakikat dan merupakan khayalan fatamorgana yang tiada nyata. Sungguh ini adalah sesuatu yang kontradiksi dengan kenyataan bahwa Allah SWT telah menciptakan segala sesuatu di dunia ini penuh dengan kebaikan, kenikmatan dan keberkahan. Lebih-lebih Allah telah menurunkan Alquran sebagai petunjuk hidup manusia agar titak susah. “Kami tidak menurunkan Alquran ini kepadamu (Muhammad) agar engkau menjadi susah.” (QS. Thaha: 2).
Kenyataan berpikir model orang-orang bodoh dan pendusta itulah, sesungguhnya awal penyebab terjadinya kegagalan menggapai kebahagiaan hidup manusia. Untuk itu, sangat tepat bila setiap kita melakukan kontemplasi terhadap sikap hidup yang telah kita lakukan selama ini. Sebab, tanpa melakukan “penilaian” terhadap sikap hidup dirinya sendiri, maka jangan harap “kemulusan” kebahagiaan itu menghampiri kita.
Terkait
dengan itu, seorang dokter Muslim, Tsabit Qurrah, memberikan perhatian melalui
fatwa dan tipsnya yang dapat mengantarkan seseorang kepada kebahagiaan. Beliau
mengatakan, “Kenyamanan jasad adalah
dengan sedikit makan; kenyamanan jiwa adalah dengan sedikit dosa; kenyamanan
hati adalah dengan sedikit keinginan; dan kenyamanan lisan adalah dengan
sedikit berbicara.”
Secara
demikian, yang membuat seseorang dapat menapaki jalan kebahagiaan itu, rahasianya
ada dalam perilaku dan sikap hidupnya sendiri. Yakni berupa bagaimana keyakinan
kita memperlakukan jasad, jiwa, hati, dan lisannya itu secara benar. Dan di
sini, kata kuncinya ada pada sikap “sedikit” terhadap makan, dosa, keinginan,
dan berbicara.
Pertama, kebahagiaan jasad dengan sedikit makan. Jasad ini seperti sebuah mesin dan bahan bakarnya adalah makanan. Artinya, kita hendaknya mempergunakan bahan bakar itu secara wajar, sebab jika berlebihan ia bisa lebih berbahaya daripada api. Begitu juga dengan jasad, bila tidak dikekang dari keinginan nafsunya, ia akan berbahaya bagi orang lain dan menghilangkan citra kemunisaannya. Hebatnya lagi, ia bisa lebih buas dari binatang yang cenderung membuat keonaran dan kerusakan.
Kedua, kebahagiaan jiwa dengan sedikit dosa. Hal ini dapat dipahami, sebab jiwa itu cenderung memerintahkan untuk berbuat jelek (ammarah bissu), maka jika ia terbebas dari ikatannya, ia akan lari bergabung dengan setan. Dan konsekuensinya, ia akan berkolusi, korupsi, menipu, dan berbuat sewenang-wenang yang melapaui batas. Oleh karena itu, musuh paling berat manusia adalah hawa nafsunya sendiri. Bagi siapa yang menturutkan hawa nafsunya, ia akan celaka. Al-Busyiri berkata dalam sebuah syairnya, “Jiwa itu bagaikan anak kecil. Jika kamu memanjakannya, hingga tumbuh dewasa pun ia akan tetap menyusu kepada ibunya. Akan tetapi, jika kamu menyapihnya maka ia akan berhenti menyusu.” Jadi, jauhilah hawa nafsu, dan berhati-hatilah untuk tidak memperturutkannya.
Ketiga, kebahagiaan hati dengan sedikit keinginan.
Langkahnya yaitu dengan meminimalkan rasa duka, rasa takut, dan rasa resah. Hal
ini didasari karena di dalam hati yang resah sesungguhnya akan terbuka pintu-pintu
kelemahan dan ketidak menentuan. Dan kondisi seperti ini membuat hati
dihadapkan pada dua pilihan pintu masuk, yaitu pintu keresahan atau pintu
keberkahan. Walau demikian, hanya dengan modal insting yang kuat dan berani ia
akan mampu mempertahankan yang terbaik. Islam sendiri, dalam hal ini telah
mengajarkan pada pemeluknya bagaimana cara memilih kebahagiaan dan ketenangan
hati itu, seperti disebutkan dalam QS. Ar-Ra’d: 28, Orang-orang yang beriman
dan hati mereka merasa tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan
mengingat Allah-lah hati menjadi tentram.
Keempat, kebahagiaan lisan dengan sedikit berbicara. Alasanya, semakin sering seseorang berbicara (yang tidak berguna), semakin besar peluangnya orang tersebut akan tergelincir. Lisan yang terbiasa mengucapkan perkataan-perkataan yang tidak pantas akan membahayakan orang lain. Dalam hal ini, Ibn Abbas pernah berkata, “Ucapkanlah perkataan yang baik-baik, niscaya kamu akan beruntung. Jagalah perkataan-perkataan yang kotor, niscaya kamu akan selamat. Jika tidak, niscaya kamu akan menyesal kemudian.”
Akhirnya, pastikan dalam
menghadapi kehidupan ini, tubuh kita terjaga dari makanan yang
berlebih-lebihan, jiwa terhindar dari perbuatan dosa, hati terjaga dari
keinginan yang tidak terkendali, dan lisan terjaga dari perkataan yang kotor. ***
Penulis adalah Pendiri Majelis Inspirasi Al-Quran
& Realitas Alam (MIQRA) Indonesia, www.miqraindonesia.com