KESEJUKAN keluarga melahirkan
ketenangan. Ibarat sebuah telaga yang menawarkan rasa nyaman. Dalam
realitasnya, telaga itu
semacam danau kecil di mana cuma ada riak-riak saja. Permukaannya bening
membuat sinar matahari bahkan dapat mencapai dasarnya. Ia bagaikan cermin yang
membuat langit dan keadaan sekitarnya dapat berkaca.
Lalu, bagaimana agar kehidupan keluarga kita dapat menghadirkan kesejukan layaknya sebuah telaga? Jawabnya, seluruh anggota keluarga baik suami, istri dan anak-anak harus jadi telaga. Dalam hal ini, Miranda mengingatkan kalau ketelagaan manusia tentu tidak ada di balik bajunya. Ketelagaan seorang manusia ada di balik hatinya. Dan, betapa kecilnya telaga itu. Ia dapat saja kering ketika kemarau panjang datang.
Bagaimana menurut Anda?
(Arda Dinata, motivator di Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam/MIQRA Indonesia).***
Simbolisasi
telaga sungguh melegakan pikiran. Siapa pun Anda ketika dirasuki rasa lelah,
telaga menjanjikan tempat istirahat. Ketika rasa haus didera terik matahari,
telaga adalah ‘peri’ pemberi kesejukan air dan semilir angin. Jika Anda merasa
hampa, telaga pun dapat dijadikan cermin tempat ditemukannya kembali keindahan
makna hidup. Ia adalah inspirasi yang akan merangsang munculnya ingatan-ingatan
indah di masa lalu.
Menurut Miranda Risang Ayu, dalam Permata Rumah Kita (2002), personifikasi telaga dapat bermacam-macam. Bisa orangtua, pasangan hidup, atau sahabat. Sebagian dari mereka adalah tamsil yang nyata tentang telaga. Namun, sebagian yang lain dari mereka juga adalah orang-orang yang menuntut agar telaga terpersonifikasikan senyata-nyatanya.
Menurut Miranda Risang Ayu, dalam Permata Rumah Kita (2002), personifikasi telaga dapat bermacam-macam. Bisa orangtua, pasangan hidup, atau sahabat. Sebagian dari mereka adalah tamsil yang nyata tentang telaga. Namun, sebagian yang lain dari mereka juga adalah orang-orang yang menuntut agar telaga terpersonifikasikan senyata-nyatanya.
Lalu, bagaimana agar kehidupan keluarga kita dapat menghadirkan kesejukan layaknya sebuah telaga? Jawabnya, seluruh anggota keluarga baik suami, istri dan anak-anak harus jadi telaga. Dalam hal ini, Miranda mengingatkan kalau ketelagaan manusia tentu tidak ada di balik bajunya. Ketelagaan seorang manusia ada di balik hatinya. Dan, betapa kecilnya telaga itu. Ia dapat saja kering ketika kemarau panjang datang.
Memang, romantisme kehidupan keluarga
bisa saja diterjang badai ketidakcocokan. Namun, bukan lantas kita menghalalkan
untuk tidak berusaha merangkai kembali keharmonisan yang hilang. Di sini,
kuncinya ada pada kesadaran hati akan tali kasih yang pernah dijanjikan bersama
pada awal pernikahan. Kita harus berusaha sekuat tenaga belajar melihat sisi
positif dari pasangan kita. Jadilah keluarga pembelajar.
Menjadi keluarga pembelajar ini
merupakan langkah tepat untuk menghidupkan dan menumbuhkan rasa cinta kasih
dalam keluarga. Sebab, meminjam bahasa Dwi Budiyanto (2007), ia adalah telaga yang mampu menumbuhkan benih potensi kekasih
kita. Ia akan mengalir melalui parit-parit kesempatan yang diberikan kepadanya.
Suami harus mampu menyingkirkan sampah-sampah yang akan menggenangi parit,
sehingga menyumbat laju air telaga.
Bagi suami, makna yang terkandung dari
ungkapan itu ialah usaha memberi kesempatan kepada istri untuk
mengaktualisasikan diri. Yakni jalan agar tidak ada yang tertekan dan merasa
dikekang dalam keluarga. Atmosfir inilah yang coba selalu dibangun dalam
mengkokohkan ikatan keharmonisan cinta dalam keluarga. Dalam hal pendidikan, anak-anak
dipacu untuk selalu cinta ilmu, begitu pun istri tidak ketinggalan untuk
menambah keilmuanya.
Singkatnya, membangun telaga kesejukan
keluarga tidak lain adalah mempertahankan ikatan keluarga yang telah terbentuk
dan tidak boleh diceraikan. Bila serat-serat perkawinan itu diceraikan, maka
telaga kesejukan keluarga akan terusik. Dan ini alamat akan terjadinya
riak-riak yang tidak diinginkan.
Untuk menggapai kesejukan keluarga, maka
paling tidak ada dua komitmen perilaku yang patut dilakukan. Pertama, tiap
anggota keluarga harus mengutamakan perilaku apa yang baik untuk semua, di atas
apa yang baik untuk sendiri. Misalnya dalam mengambil keputusan mesti
memikirkan kepentingan semua anggota keluarga.
Kedua, mengutamakan belajar dari keluarga, di
atas mengajarkan kepada keluarga. Sebagai orangtua, buang jauh-jauh anggapan
bahwa kitalah yang paling benar. Sebab, anggota keluarga ialah sumber pembelajaran
terbaik. Seperti diakui Steven W Vannoy dalam ucapannya, ”Hidupku, seperti
kebayakan yang lain, telah diubah oleh anugerah berharga yang ditawarkan
anak-anak setiap hari, andai saja kita mau melihat, mendengarkan, dan belajar
dari pelajaran yang mereka berikan: Anak-anak itu mencintai, menyukai, berbagi,
berteriak, bermain, menangis, dan hidup. Mengapa kita orang dewasa tidak bisa
begitu lepas, nyaman, sederhana, dan jujur?”Bagaimana menurut Anda?
(Arda Dinata, motivator di Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam/MIQRA Indonesia).***