Obat Herbal, Warisan Budaya Bangsa yang Mendunia


Pertumbuhan pasar obat herbal di Indonesia juga menunjukkan peningkatan yang bermakna. Pada tahun 2003 nilai pasar obat herbal di Indonesia sebesar 3 triliun rupiah, meningkat menjadi 5,3 triliun rupiah (2006), dan 7,2 triliun rupiah (2008). Pada tahun 2010 nilai obat herbal Indonesia sudah mencapai 10 triliun rupiah.

Obat Herbal, Warisan Budaya Bangsa yang Mendunia
Oleh: Arda Dinata

Kesehatan itu di antara sendi terpenting dalam kehidupan manusia. Hidup tanpa kondisi sehat, tentu serasa tak bermakna. Paling tidak ada tiga aspek penting dalam kesehatan. Pertama, konsep bahwa menjaga yang sehat menjadi tetap sehat merupakan prinsip utama. Kedua, yang namanya sehat itu bukan hanya kesehatan fisik, tetapi juga kesehatan mental dan kesehatan sosial. Ketiga, kalau memang sudah sakit maka diperlukan usaha untuk menjadi sehat kembali.

Dalam ketiga aspek itu, menurut Prof dr Tjandra Yoga Aditama Sp P(K), MARS, STM&H, DTCE, selaku Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI, maka obat herbal (jamu) punya peran penting tersendiri bagi masyarakat Indonesia. Ada jamu yang membuat orang tetap sehat, ada jamu yang dapat membantu penyembuhan penyakit, dan jamu juga punya konsep holistik, menyeluruh, tidak hanya mengurusi kesehatan fisik saja.

Apalagi, jamu adalah bagian tidak terpisahkan dari budaya bangsa. Sejak masa lalu, sampai masa kini, dan diharapkan dapat terus lestari di masa depan. Sehingga kekayaan budaya jamu sebagai obat herbal perlu terus dijaga menjadi milik nusantara, dan terus dikembangkan untuk mendunia.

Fakta

Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, milik Balitbangkes Kemenkes RI, menunjukkan 30,4% rumah tangga di Indonesia memanfaatkan pelayanan kesehatan tradisional, diantaranya 77,8% rumah tangga memanfaatkan jenis pelayanan kesehatan tradisional keterampilan tanpa alat, dan 49,0% rumah tangga memanfaatkan ramuan. Sementara itu, Riskesdas 2010 menunjukkan 60% penduduk Indonesia di atas usia 15 tahun menyatakan pernah minum jamu, dan 90% diantaranya menyatakan adanya manfat minum jamu.

Selain sudah dalam bentuk jamu atau obat herbal, maka berbagai tanaman obat juga dikenal luas di negara kita sejak lama. Hal ini terbukti, berdasarkan Riset Tumbuhan Obat dan Jamu I (Ristoja) tahun 2012, yang dilakukan Balitbangkes Kemenkes RI, berhasil memperoleh data 1.889 spesies tumbuhan obat, 15.671 ramuan untuk kesehatan, dan 1.183 penyembuh/pengobat tradisional dari 20% etnis (209 dari total 1.128 etnis) Indonesia non Jawa dan Bali.

Sementara itu, menurut WHO itu sendiri, sekitar 25% obat modern atau obat konvensional berasal dari tumbuhan obat, seperti artemisinin untuk obat malaria yang berasal dari tanaman Artemisia annua, yang kini juga sedang dijajaki di Indonesia.

Saintifiksai Jamu, OHT dan Fitofarmaka

Untuk menjamin tersedianya obat herbal dan jamu yang aman, berkhasiat dan bermutu, Pemerintah Indonesia melakukan langkah dan upaya untuk menjamin keamanan obat herbal dan jamu tersebut.

Adapun caranya adalah dengan melakukan program saintifikasi jamu. Yaitu program penelitian berbasis pelayanan yang mencakup pengembangan tanaman obat menjadi jamu saintifik. Tahapannya meliputi: Pertama, studi etnofarmakologi untuk mendapatkan base-line data terkait penggunaan tanaman obat secara tradisional.

Kedua, seleksi formula jamu yang potensial untuk alternatif/komplementer. Ketiga, studi klinik untuk mendapatkan bukti terkait manfaat dan keamanan. Keempat, jamu yang terbukti berkhasiat dan aman dapat digunakan dalam sistem pelayanan kesehatan formal.

Selain jamu saintifik, dikenal juga istilah Obat Herbal Terstandar (OHT) dan fitofarmaka. OHT adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji pra klinik dan bahan bakunya telah distandarisasi. Sedangkan fitofarmaka merupakan sedian obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji pra klinik dan klinik. Bahan baku dan produk jadinya telah distandarisasi. Datanya, sampai Oktober 2014 ada 41 Obat Herbal Terstandar dan 6 Fitofarmaka yang ada dalam daftar Balai POM.

Pasar Obat Herbal

Data tahun 2008, pasar herbal dunia sekitar US$ 60 milyar dengan pasar terbesar adalah Asia (39%), diikuti oleh Eropa (34%), Amerika Utara (22%) dan belahan dunia lainnya sebesar 5%. Nilai pasar tersebut akan terus meningkat dan diperkirakan mencapai US$ 150 milyar pada tahun 2020.

Dari total nilai perdagangan produk herbal tersebut, omzet penjualan produk herbal Indonesia baru mencapai US$ 100 juta per tahun (0,22%) yang tentunya memiliki peluang besar untuk ditingkatkan.

Pertumbuhan pasar obat herbal di Indonesia juga menunjukkan peningkatan yang bermakna. Pada tahun 2003 nilai pasar obat herbal di Indonesia sebesar 3 triliun rupiah, meningkat menjadi 5,3 triliun rupiah (2006), dan 7,2 triliun rupiah (2008). Pada tahun 2010 nilai obat herbal Indonesia sudah mencapai 10 triliun rupiah.

Sementara itu, sampai dengan tahun 2010 tercatat jumlah industri di bidang obat tradisional sebanyak 1908 terdiri dari 79 Industri Obat Tradisional (IOT), 1413 Industri Kecil Obat Tradisional (IKOT) dan 416 industri rumah tangga (PIRT).

Secara demikian, tidaklah berlebihan bila kita menjaga tren obat herbal ini untuk meningkatkan ekonomi rakyat tersebut melalui upaya pengembangan tanaman obat sebagai jamu tradisional (obat herbal) berupa: pembinaan terhadap standarisasi bahan baku; cara pembuatan jamu (obat herbal) yang baik; penggunaan jamu yang aman dan rasional; serta lebih diarahkan pada penggunaan menjaga kesehatan dan pencegahan penyakit.

Akhirnya, agar jamu (obat herbal) dapat meningkat perannya dalam kehidupan masyarakat Indonesia dan dunia, maka setidaknya menurut Tjandra Yoga Aditama (2014), sedikitnya ada lima pihak yang penting perannya.

Pertama, masyarakat itu sendiri. Hal ini tidak sulit, karena kenyataannya sebagian cukup besar memang sudah menggunakan salah satu bentuk jamu dalam rumah tangganya.

Kedua, petugas kesehatan yang berhadapan langsung dengan pasien/ masyarakat. Inilah yang masih butuh tantangan, khususnya bukti ilmiah yang dapat meyakinkan petugas kesehatan, serta aturan yang mendukung.

Untuk mendapatkan bukti ilmiah, maka diperlukan peran aktor ketiga, yaitu peneliti. Baik di lembaga riset seperti Balitbangkes Kemenkes RI, atau juga dari universitas. Pihak keempat yang juga amat penting adalah para penentu kebijakan publik, yang dibutuhkan berupa dukungan politiknya dan juga ketersediaan peraturan per UU-an yang diperlukan.

Sementara itu, pihak kelima yang juga mutlak diperlukan adalah dunia usaha, yang akan membuat jamu sebagai komoditi yang dapat dijumpai secara luas.***

Penulis adalah Peneliti Kesehatan dan Alumni Administrasi Kebijakan Kesehatan FKM Universitas Diponegoro (Undip) Semarang.
BACA ARTIKEL LAINNYA:
Lebih baru Lebih lama