- / / : 081284826829

Idealisme dan Kreativitas

MUSTAFA AL-RAFI’IE menggambarkan masa muda dengan mengatakan bahwa pemuda adalah kekuatan, sebab matahari tidak dapat bersinar di senja hari seterang ketika di waktu pagi. Pada masa muda ada saat ketika mati dianggap sebagai tidur, dan pohon pun berbuah ketika masih muda dan sesudah itu semua pohon tidak lagi menghasilkan apa pun kecuali kayu (Ashur Ahams; 1978).



Idealisme dan Kreativitas

MUSTAFA AL-RAFI’IEmenggambarkan masa muda dengan mengatakan bahwa pemuda adalah kekuatan, sebab matahari tidak dapat bersinar di senja hari seterang ketika di waktu pagi. Pada masa muda ada saat ketika mati dianggap sebagai tidur, dan pohon pun berbuah ketika masih muda dan sesudah itu semua pohon tidak lagi menghasilkan apa pun kecuali kayu (Ashur Ahams; 1978).

Bagi pemuda, realitas kehidupan yang dihadapinya sering kali dipersepsikan sebagai kenyataan yang membatasi idealisme dan hasrat yang mendominasi pikirannya. Sehingga perlu disadari bahwa kedewasaan merupakan tahap kehidupan yang pasti dijalaninya. Bila pada tahap muda dapat dicapai afeks pertumbuhan fisikis, maka dalam tahap dewasa terjadi kematangan pertumbuhan psikik. Arti lainnya, kedewasaan seseorang itu minimal harus memenuhi enam syarat, yaitu memiliki kemampuan “lebih banyak diam daripada berbicara”; memiliki empati yang tinggi; bersikap waro; memiliki sikap amanah; menjadi suritauladan; dan bertindak adil.

Dalam hal ini, Dr. M. Manzoor Alam (1989), menyebutkan ada sifat-sifat dasar yang dituntut dari pemuda Islam itu, diantaranya berupa percaya dan hanya menyembah kepada Allah; baik terhadap orang tua; jujur dan bertanggung jawab; persaudaran dan kasih sayang; serta harus berpegang kepada bermusyawarah dan mentaati norma-norma permusyawarahan.

Keberadaan sifat-sifat dasar itu mesti dibangun oleh setiap pemuda Islam sebagai sebuah idealismenya. Dari komitmen itu akan melahirkan profil pemuda ideal sebagai generasi Rabbi Rodhiya. Adapun parameter yang bisa kita amati dari generasi model ini, diantaranya berupa:

v  Pertama, mempunyai keterikatan pada Ilahi. Di dalamnya terhujam rasa cinta yang membara kepada Allah dan melangkahkan kaki sesuai dengan kehendak Allah, sebagai kekasihnya. Satu-satunya alternatif dalam hidupnya adalah untuk mengabdi kepada Allah SWT. (QS. 6: 162 dan QS. 3: 31).

v  Kedua, memiliki keberanian untuk berjihad dengan harta dan jiwa demi tegaknya kalimatullah(QS. 9: 41).

v  Ketiga, berserah diri secara total (kafah) kepada Allah dengan harapan mendapat petunjuk dan keridhoan-Nya (QS. 2: 128).

v  Keempat, memberikan penghormatan kepada kedua orang tuanya sebagai salah satu alternatif untuk mendapatkan keridhoan Allah (QS. 17: 23-24 dan QS. 31: 14).

v  Kelima, membina diri untuk selalu menegakkan sholat, berakhlak bijaksana dalam da’wah serta memiliki kesabaran dalam menghadapi cobaan. Dan rendah hati, tidak takabbur, dan tidak ingin pujian serta membantu orang yang lemah dengan harapan mendapat cinta Allah (QS. 31: 17).

v  Keenam, gandrung akan ilmu pengetahuan, peka terhadap lingkungan, banyak berdzikir dan pandai membaca situasi dan kondisi yang berkembang (QS. 39:91).

v  Ketujuh, memiliki perkataan dan tingkah laku yang lemah lembut, sangat kuat pendiriannya terhadap kebenaran, bagaikan bangunan yang berdiri kokoh, sehingga ia tidak takut dan berduka cita (QS. 46: 13-14).

v  Kedelapan, gemar membaca Alquran dan menjadikannya sebagai sistem kehidupan. Dengan Alquran ia dapat membedakan antara haq dan bathil, cara berpikir dan bertindaknya didasari pada Alquran dan Sunah Nabi. Ia berusaha untuk menjadi Quran yang hidup dan ia tidak suka kalau hanya bicara tanpa beramal, karena Allah memang tidak suka pada yang demikian. (QS. 2: 44 dan QS 61: 2-3).

Berpikir Kreatif

Untuk mengaktualisasikan karakteristik generasi Rabbi Rodhiya tersebut, maka di sini diperlukan sebuah pola pikir kreatif. Berbicara kreativitas, kita tidak akan terlepas dari fungsi otak manusia. Para ahli jiwa mengatakan, otak manusia dibagi menjadi dua bagian, yaitu otak kiri dan otak kanan. Otak kiri merupakan pusat fungsi intelektual seperti daya ingat, bahasa, logika perhitungan, daya analisis, dan pemikiran konvergen (cara berpikir searah). Dan otak kanan berfungsi mengandalkan mental dengan melibatkan intuisi, sikap, emosi, gambar, musik dan irama, gerak dan tari, serta pikiran divergen (menyebar/bercabang).

Namun, menurut Yogy RY (Remaja Kreatif Hindari Penggangguran; 2000), disebutkan kenyataannya kebanyakan orang cenderung hanya menggunakan otak kiri jika menghadapi persoalan. Padahal, jika diseimbangkan dengan memfungsikan otak kanan, orang akan berpikir lebih jernih dalam memecahkan persoalan.

Untuk itu, bagi yang mampu berpikir benar (berpikir dengan otak kiri dan kanan), maka mereka (baca: pemuda) sudah punya pola berpikir kreatif. Karenanya ia sanggup memelihara suatu virus dalam dirinya yang dinamakan N-ach (virus mental yang sanggup mengkondisikan manusia selalu dalam keadaan kreatif).

Kreativitas sendiri merupakan suatu bidang kajian yang sulit. Menimbulkan berbagai perbedaan pandangan. Definisi kreativitas menurut Dedi Supriadi (Kreativitas, Kebudayaan & Perkembangan Iptek; 1994), digolongkan menjadi definisi secara konsensual dan konseptual. Definisi konsensual menekankan segi produk kreatif yang dinilai derajat kreativitasnya oleh pengamat yang ahli.

Sedangkan definisi konseptual bertolak dari konsep tertentu tentang kreativitas yang dijabarkan ke dalam kriteria tentang apa yang disebut kreatif. Meskipun tetap menekankan segi produk, definisi ini tidak mengandalkan semata-mata pada konsensus pengamat dalam menilai kreativitas, melainkan didasarkan pada kriteria tertentu. Amabile (1983: 33), secara konseptual melukiskan bahwa suatu produk dinilai kreatif apabila: (a) produk tersebut bersifat baru, unik, berguna, benar, atau bernilai dilihat dari segi kebutuhan tertentu; (b) lebih bersifat heuristik, yaitu menampilkan metode yang masih belum pernah atau jarang dilakukan oleh orang lain sebelumnya.

Jadi, unsur idealisme dan kreativitas ini dalam kehidupan manusia merupakan sesuatu yang menjadi salah satu kunci sukses seseorang. Dan orang sukses bukan berarti tanpa mengalami kegagalan. Kalah-menang akan silih berganti. Tapi, di sinilah justru letak perbedaan antara orang berjiwa besar (dewasa) dan berjiwa biasa (tidak dewasa).

Bagi orang yang dewasa, kekalahan yang dialaminya akan dimanfaatkan sebagai pendorong untuk lebih maju. Tapi bagi orang yang tidak dewasa, setiap kekalahan yang dialaminya, akan dianggap sebagai halangan untuk mencapai tujuan. Thamrin Nasution (1980), menyebutkan timbulnya kekalahan adalah disebabkan kurangnya pengetahuan yang mendalam mengenai masalah yang dihadapi itu. Dan hal ini akan dapat diatasi dengan memperdalam pengetahuan tentang masalahnya.***

Bagaimana menurut Anda?

Arda Dinata, pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam/ MIQRA Indonesia, www.miqraindonesia.com 
WWW.ARDADINATA.COM