Ketika Kepala Jadi Studio Produksi Drama: Cara Jitu Melawan Overthinking dan Omongan Tetangga

Baca Juga

"Orang bijak itu bukan yang tidak pernah overthinking, tapi yang tahu kapan harus ngasih otak istirahat. Seperti smartphone - kalau terus dipake, ya hang. Kadang perlu di-restart dengan cara tidur atau ngopi sambil ngeliatin kucing tetangga yang lagi drama." (Sumber foto: Arda Dinata).

Oleh: Arda Dinata

INSPIRASI - Merasa kepala seperti studio produksi drama karena overthinking dan omongan orang? Temukan solusi jitu untuk mengatasi trauma dan sakit hati dengan pendekatan yang grounded dan penuh humor.

Hashtag: #StopOverthinking #MentalHealthIndonesia #SelfLove #MotivationIndonesia

"Kepala yang terlalu banyak mikir itu kayak handphone jadul yang kebanyakan aplikasi - lemot, sering hang, dan ujung-ujungnya malah rusak sendiri."

Ada seorang petani yang setiap hari khawatir tentang cuaca. Kalau cerah, dia takut tanaman kekeringan. Kalau mendung, dia takut banjir. Kalau hujan, dia takut tanaman busuk. Suatu hari, cucunya bertanya, "Kek, kapan kakek bahagia?" Sang kakek terdiam. Baru dia sadar, dia sudah lupa kapan terakhir kali menikmati hidup tanpa khawatir.

Begitulah kita. Seringkali terjebak dalam lingkaran setan overthinking. Kepala kita jadi seperti studio produksi drama yang tidak pernah libur. Sutradara di kepala kita selalu membuat skenario terburuk, lengkap dengan soundtrack sedih dan plot twist yang bikin insomnia.

Overthinking bukanlah sekadar kebiasaan berpikir berlebihan. Ini adalah kondisi ketika otak kita menjadi seperti mesin cuci yang tidak pernah berhenti berputar, mencuci-ulang masalah yang sama sampai bersih tidak, kotor malah jadi. Yang lebih parah lagi, ketika ditambah dengan obsesi terhadap omongan orang lain, hidup kita jadi seperti reality show yang diproduksi oleh tetangga sebelah.

Mengapa Otak Kita Jadi Producer Drama Tak Berujung?

Secara psikologis, kecenderungan overthinking berasal dari naluri bertahan hidup manusia purba. Nenek moyang kita harus selalu waspada terhadap bahaya di sekitar mereka. Masalahnya, otak kita belum update sistem operasinya. Jadi, ketika bos kita mengirim pesan "Tolong ke ruangan saya," otak kita langsung mengaktifkan mode survival seperti ada harimau sabertooth yang mau menyerang.

Fenomena ini diperparah dengan kehadiran media sosial yang membuat kita terus-menerus terpapar dengan highlight reel kehidupan orang lain. Kita jadi seperti penonton yang tidak pernah naik panggung, hanya bisa mengkritik pertunjukan dari belakang layar. Akibatnya, kita jadi ahli dalam menganalisis kehidupan orang lain tapi buta dengan drama di kepala sendiri.

Yang membuat overthinking semakin parah adalah ketika kita mulai peduli berlebihan dengan omongan orang. Seolah-olah hidup kita adalah sinetron yang harus mendapat rating tinggi dari para tetangga. Padahal, kebanyakan orang yang suka komentar tentang hidup kita sendiri belum tentu berhasil menata hidupnya sendiri.

Ketika Mulut Tetangga Jadi Remote Control Hidup Kita

Pernah tidak sih, merasa hidup kita dikontrol oleh remote control yang dipegangnya tetangga? Mereka pencet channel drama, kita langsung sedih. Mereka pencet channel komedi, kita malah tersinggung. Mereka pencet mute, kita jadi bingung harus ngapain. Lucu ya, tapi miris juga.

Saya ingat masa-masa ketika setiap komentar kecil dari orang lain bisa membuat saya tidak tidur berhari-hari. "Kok kamu kurus banget sih?" kata seorang tante di acara keluarga. Malam itu saya googling segala macam penyakit yang gejalanya badan kurus. Besoknya saya ke dokter, ternyata sehat-sehat saja. Dokternya malah bilang, "Yang sakit itu pikiran kamu, bukan badan kamu."

Itulah masalahnya. Kita sering lupa bahwa omongan orang itu seperti angin - kadang sepoi-sepoi, kadang badai, tapi semuanya akan berlalu. Yang abadi hanya dampaknya di hati kita kalau kita terus menyimpannya. Seperti menyimpan sampah di rumah, lama-lama rumah kita sendiri yang bau.

Self-Talk yang Toxic: Ketika Musuh Terbesar Ada di Cermin

Yang lebih berbahaya dari omongan orang lain adalah self-talk kita sendiri. Suara di kepala yang lebih kejam dari hater di internet. Lebih sadis dari sinetron jam 7 malam. Suara yang selalu bilang kita tidak cukup baik, tidak cukup pintar, tidak cukup cantik, tidak cukup sukses.

Saya dulu punya inner critic yang lebih galak dari satpam mall. Setiap mau melakukan sesuatu, dia selalu bilang, "Lu mah mana bisa!" Sampai suatu hari saya sadar, ini suara siapa sih sebenarnya? Ternyata campuran dari berbagai komentar negatif yang pernah saya dengar sejak kecil, yang sudah mengkristal jadi default setting di otak.

Proses mengenali dan mengubah self-talk ini seperti mengubah playlist lama yang isinya lagu sedih semua. Butuh waktu untuk mengganti dengan lagu-lagu yang lebih uplifting. Tidak mudah, tapi sangat mungkin dilakukan.

Tips dan Trik: Dari Overthinking Jadi Overthinking-in Solusi

Pertama, praktikkan teknik "Stop-Drop-Roll" versi mental. Ketika pikiran mulai overthinking, bilang "STOP!" keras-keras dalam hati. Lalu "DROP" - turunkan ekspektasi bahwa kita harus punya jawaban untuk semua hal. Terakhir, "ROLL" - alihkan perhatian ke aktivitas fisik yang membuat kita grounded.

Kedua, buat aturan "24 Jam Rule" untuk omongan orang. Berikan waktu 24 jam untuk meresapi komentar yang menyakitkan. Setelah itu, tanyakan pada diri sendiri: apakah ini masih penting? Biasanya, setelah 24 jam, kita menyadari bahwa masalahnya tidak sebesar yang kita kira.

Ketiga, praktikkan "Journaling Therapy" dengan twist humor. Tulis semua pikiran negatif, lalu baca ulang dengan suara karakter kartun favorit. Dijamin, drama di kepala langsung jadi komedi absurd. Masalah yang tadinya terasa berat mendadak jadi ringan karena kita melihatnya dari perspektif yang berbeda.

"Orang bijak itu bukan yang tidak pernah overthinking, tapi yang tahu kapan harus ngasih otak istirahat. Seperti smartphone - kalau terus dipake, ya hang. Kadang perlu di-restart dengan cara tidur atau ngopi sambil ngeliatin kucing tetangga yang lagi drama."

Hidup ini terlalu pendek untuk dihabiskan mengkhawatirkan hal-hal yang sebagian besar tidak akan pernah terjadi. Terlalu berharga untuk diserahkan kontrol remotenya ke tangan orang lain. Dan terlalu indah untuk dinikmati sambil terus-menerus memutar ulang playlist drama di kepala. Sudah saatnya kita jadi sutradara dalam hidup sendiri, bukan sekadar penonton yang gelisah di kursi belakang. Wallahu a'lam...


Arda Dinata, adalah Blogger, Peneliti, Penulis Buku dan Pendiri Majelis Inspirasi MIQRA Indonesia.


Daftar Pustaka:

  1. Nolen-Hoeksema S. Rethinking rumination. Perspect Psychol Sci. 2008;3(5):400-424.
  2. Harvey AG, Watkins E, Mansell W, Shafran R. Cognitive Behavioural Processes Across Psychological Disorders. Oxford: Oxford University Press; 2004.
  3. Wells A. Metacognitive Therapy for Anxiety and Depression. New York: Guilford Press; 2009.
***

Baca Juga

Jangan ragu untuk memberikan komentar di bawah ini dan mengikuti kami di saluran WhatsApp "ProduktifMenulis.com (Group)" dengan klik link ini: WhatsApp ProduktifMenulis.com (Group) untuk mendapatkan info terbaru dari website ini.

Arda Dinata adalah Penulis di Berbagai Media Online dan Penulis Buku, Aktivitas Kesehariannya Membaca dan Menulis, Tinggal di Pangandaran - Jawa Barat.

www.ArdaDinata.com:  | Share, Reference & Education |
| Sumber Berbagi Inspirasi, Ilmu, dan Motivasi Sukses |
Twitter: @ardadinata 
Instagram: @arda.dinata

Arda Dinata

Arda Dinata is a writer for various online media, lives in Pangandaran - West Java. www.ArdaDinata.com: | Share, Reference & Education | | Source for Sharing Inspiration, Knowledge and Motivation for Success | World of Business, Business, Boss, Rich, Money, Dollars and Success |

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama


Toko Sosmed
Klik Di Sini Melihat Koleksi Ebook Karya Arda Dinata Lainnya

A Group Member of:
Toko SosmedToko SosmedToko SosmedWWW.ARDADINATA.COMWWW.ARDADINATA.COMInSanitarianMIQRA INDONESIA


Formulir Kontak

.