Baca Juga
"Setiap buku adalah jembatan waktu. Penulisnya mungkin sudah tiada, tapi jiwa mereka tetap hidup di setiap halaman yang kita baca." (Sumber foto: Arda Dinata).
Karya: Arda Dinata
INSPIRASI - "Kadang, yang mengubah hidup kita bukan gemuruh petir, tapi bisikan halus dari halaman-halaman usang."
"Bu, buku ini kenapa dibuang?"
Ibu menoleh dari tumpukan kardus. Matanya menatap buku lusuh di tanganku. Sampul biru pudarnya sudah robek di beberapa bagian.
"Ah, itu buku lama Ibu. Sudah tidak berguna."
Aku membolak-balik halaman yang menguning. Judul "Sepucuk Angpao Merah" tertulis dengan font kuno. Bau kertas lembap tercium ketika kubuka halaman pertama.
"Boleh aku baca dulu, Bu?"
Ibu tersenyum sambil melanjutkan membereskan lemari. "Terserah kamu, Nak. Tapi jangan lupa bantu Ibu."
Malam itu, di bawah lampu kamar yang redup, aku tenggelam dalam cerita tentang anak yatim yang berjuang untuk sekolah. Setiap kalimat seperti cermin yang memantulkan hidupku sendiri. Kami memang tidak kaya, tapi aku baru menyadari betapa beruntungnya memiliki kedua orangtua.
"Kenapa menangis?"
Suara Ibu mengagetkanku. Ternyata air mata sudah membasahi pipi tanpa kusadari.
"Ceritanya sedih, Bu. Tokohnya mirip seperti aku, tapi dia tidak punya ibu."
Ibu duduk di tepi kasur. Tangannya mengusap rambutku pelan.
"Tahukah kamu siapa yang menulis buku itu?"
Aku menggeleng.
"Nenek buyutmu. Dia menulis cerita itu ketika masih muda, terinspirasi dari kehidupan tetangganya."
Jantungku berdegup keras. "Nenek buyut bisa menulis?"
"Dia seorang guru di zaman kolonial. Buku itu satu-satunya karya yang tersisa." Ibu mengambil buku dari tanganku. "Nenek buyut selalu bilang, 'Menulis itu seperti menanam. Kita tidak tahu kapan benihnya akan tumbuh di hati orang lain.'"
Aku terdiam. Kata-kata itu bergema di kepalaku.
"Bu, aku ingin belajar menulis."
"Kenapa?"
"Agar bisa menanam benih seperti nenek buyut. Agar ceritaku bisa menghibur orang lain yang sedih."
Ibu memelukku erat. "Kalau begitu, mulai sekarang kamu harus rajin membaca dan menulis setiap hari."
Sejak malam itu, hidupku berubah. Setiap sore sepulang sekolah, aku menulis cerita kecil di buku tulis lusuh. Tentang kucing tetangga, tentang penjual es keliling, tentang mimpi-mimpi sederhana.
Lima belas tahun kemudian, ketika cerpen pertamaku dimuat di majalah, aku kembali membaca "Sepucuk Angpao Merah." Kali ini dengan mata berkaca-kaca karena bahagia.
Di halaman terakhir, kutemukan tulisan tangan nenek buyut: "Untuk cucu-cucuku yang akan datang, semoga kalian menemukan kebahagiaan dalam kata-kata."
Ternyata dia sudah menanam benih untukku sejak puluhan tahun lalu.
Aku mengerti sekarang. Buku pertama yang mengubah hidupku bukan hanya tentang cerita di dalamnya, tapi tentang benang merah yang menghubungkan generasi melalui kata-kata.
"Setiap buku adalah jembatan waktu. Penulisnya mungkin sudah tiada, tapi jiwa mereka tetap hidup di setiap halaman yang kita baca."
Arda Dinata, lahir di Indramayu, 28 Oktober 1973, penyuka cerita fiksi mini, prosa dan pendiri Majelis Inspirasi MIQRA Indonesia. Buku prosa terbarunya: Epos Aurora (novel, Juni 2024), Retakan (Kupcer, Maret 2025), dan Pecahan Cinta (Kupcer, Maret 2025). Kini bermukim di Pangandaran. Yuk baca cerpen karya Arda Dinata di link ini: https://blog.ardadinata.com/search/label/Cerpen
***
Baca Juga
Jangan ragu untuk memberikan komentar di bawah ini dan mengikuti kami di saluran WhatsApp "ProduktifMenulis.com (Group)" dengan klik link ini: WhatsApp ProduktifMenulis.com (Group) untuk mendapatkan info terbaru dari website ini.
Arda Dinata adalah Penulis di Berbagai Media Online dan Penulis Buku, Aktivitas Kesehariannya Membaca dan Menulis, Tinggal di Pangandaran - Jawa Barat.