Cinta Melukai

Baca Juga

"Kematangan cinta bukanlah tidak adanya rasa sakit, melainkan kemampuan untuk mengubah rasa sakit menjadi kebijaksanaan, dan kebijaksanaan menjadi kasih sayang yang tak bersyarat." (Sumber foto: Arda Dinata).

Oleh: Arda Dinata

INSPIRASI "Luka yang terdalam seringkali menjadi guru terbaik, mengajarkan jiwa untuk menemukan kekuatan yang tak pernah disangka ada."

Pernahkah Anda menonton sinetron di televisi swasta kita? Ah, sinetron! Laboratorium cinta yang paling absurd di muka bumi. Di sana, cinta selalu datang dengan paket lengkap: air mata, darah, pengkhianatan, dan drama berkepanjangan. Tokoh utama harus menderita dulu—ditampar, diusir, difitnah—baru kemudian menemukan kebahagiaan sejati.

Anehnya, kita menikmatinya.

Lebih aneh lagi, kita meniru polanya.

Mengapa manusia begitu terobsesi dengan narasi cinta yang menyakitkan? Mengapa kita percaya bahwa cinta sejati harus diawali dengan penderitaan? Seolah-olah kebahagiaan yang mudah didapat adalah palsu, sedangkan yang sulit diraih adalah asli.

Dalam pewayangan Jawa, ada konsep sedulur papat lima pancer. Empat saudara yang mengelilingi pusat. Nafsu, amarah, serakah, dan iri hati mengelilingi hati yang suci. Untuk mencapai kesucian, manusia harus berhadapan dengan keempat "saudara gelap" ini.

Mungkin di sinilah akar filosofisnya.

Cinta yang melukai dianggap sebagai proses purifikasi jiwa. Seperti emas yang dimurnikan dengan api, jiwa manusia harus dibakar dulu oleh derita untuk mencapai kemurnian. Konsep ini tidak hanya ada di Nusantara, tetapi juga dalam tradisi mistik berbagai agama.

Namun, benarkah demikian?

Riset psikologi modern menunjukkan fakta mengejutkan. Menurut studi dari Journal of Personality and Social Psychology (2019), individu yang mengalami trauma dalam hubungan cinta justru cenderung mengembangkan pola attachment yang tidak sehat. Mereka menjadi anxious atau avoidant dalam hubungan selanjutnya.

Dr. Helen Fisher, antropolog dari Rutgers University, menjelaskan bahwa otak manusia merespons penolakan cinta sama seperti merespons rasa sakit fisik. Area yang sama teraktivasi. Dopamine system tetap bekerja, menciptakan kecanduan terhadap objek cinta yang menolak kita.

Inilah ironi besarnya: kita kecanduan pada yang menyakiti kita.

Dalam budaya populer Indonesia, fenomena ini semakin mengkhawatirkan. Lagu-lagu hits kita dipenuhi lirik tentang cinta yang menyakitkan. "Cinta karena cinta, walau hati terluka." "Aku rela disakiti asal kau bahagia." Narasi yang romantis sekaligus toksik.

Industri hiburan kita memproduksi dan mereproduksi mitos bahwa cinta sejati identik dengan pengorbanan yang berlebihan. Bahwa mencintai berarti rela menderita. Bahwa kebahagiaan dalam cinta itu "terlalu mudah" dan karenanya tidak berharga.

Anak-anak muda kita tumbuh dengan blueprint cinta yang rusak ini.

Mereka percaya bahwa jika tidak ada drama, berarti cintanya tidak "deep enough." Jika tidak ada pertengkaran, berarti hubungannya tidak "passionate enough." Jika tidak ada air mata, berarti perasaannya tidak "real enough."

Padahal, cinta yang sehat justru sebaliknya.

Cinta yang matang adalah yang membawa kedamaian, bukan kekacauan. Yang menumbuhkan, bukan menghancurkan. Yang memberdayakan, bukan melemahkan.

Saya teringat masa kecil di kampung. Ada tetangga yang sudah menikah 40 tahun. Mereka jarang bertengkar. Kalau pun ada masalah, diselesaikan dengan diskusi tenang. Tidak ada drama. Tidak ada sinetron. Hanya ketenangan yang dalam dan saling pengertian.

Anak-anak muda sering mengejeknya: "Ah, cinta mereka sudah mati. Tidak ada api lagi."

Benarkah demikian?

Atau justru itulah cinta yang telah matang? Cinta yang telah melampaui fase "burning passion" dan mencapai "enduring compassion"?

Dalam filosofi Jawa, ada istilah tapa. Bukan penderitaan yang dicari-cari, tetapi proses pembersihan diri yang disadari dan dijalani dengan kesabaran. Bedanya dengan masokisme adalah kesadaran dan tujuan yang jelas.

Cinta yang melukai untuk menyucikan jiwa mungkin ada benarnya—jika luka itu adalah konsekuensi alami dari proses pembelajaran, bukan ditimbulkan secara sengaja atau dipertahankan karena kecanduan drama.

Seperti seorang pelari maraton yang merasakan sakit pada ototnya. Sakit itu adalah efek samping dari proses penguatan tubuh, bukan tujuan utamanya. Tujuan utamanya adalah kesehatan dan kekuatan.

Begitu pula dengan cinta.

Luka dalam cinta bisa menjadi pelajaran berharga—jika kita belajar darinya dan tidak terjebak di dalamnya. Jika kita menggunakan rasa sakit itu untuk tumbuh, bukan untuk berdrama.

Masalahnya, budaya kita sering mengagungkan luka itu sendiri, bukan pembelajaran yang diperoleh darinya. Kita meromantisasi penderitaan, bukan kebijaksanaan yang lahir dari penderitaan.

Akibatnya, generasi muda kita terjebak dalam siklus cinta yang toksik. Mereka mengira bahwa intensitas drama adalah ukuran kedalaman cinta. Mereka salah mengartikan passion sebagai chaos.

Padahal, cinta yang sejati adalah yang membawa kita pada kedamaian batin. Yang membuat kita menjadi versi terbaik dari diri kita. Yang menginspirasi, bukan menghancurkan.

Jadi, apakah cinta harus melukai untuk menyucikan jiwa?

Mungkin. Tapi luka itu harusnya seperti luka operasi—bertujuan untuk penyembuhan, dilakukan dengan presisi, dan tidak diulang-ulang tanpa alasan medis yang jelas.

Bukan seperti luka yang sengaja digores berulang-ulang karena kita kecanduan dengan rasa sakitnya.

"Kematangan cinta bukanlah tidak adanya rasa sakit, melainkan kemampuan untuk mengubah rasa sakit menjadi kebijaksanaan, dan kebijaksanaan menjadi kasih sayang yang tak bersyarat."

Mungkin sudah saatnya kita bertanya pada diri sendiri: apakah kita mencintai seseorang, atau kita mencintai drama yang diciptakan oleh perasaan kita? Apakah kita benar-benar ingin bahagia dalam cinta, atau kita sudah terlanjur nyaman dengan penderitaan yang familiar?

Wallahu a'lam...

Arda Dinata, adalah Blogger, Peneliti, Penulis Buku dan Pendiri Majelis Inspirasi MIQRA Indonesia.

Daftar Pustaka

Fisher, H. (2016). Anatomy of Love: A Natural History of Mating, Marriage, and Why We Stray. W. W. Norton & Company.

Kross, E., Berman, M. G., Mischel, W., Smith, E. E., & Wager, T. D. (2011). Social rejection shares somatosensory representations with physical pain. Proceedings of the National Academy of Sciences, 108(15), 6270-6275.

Simpson, J. A., & Rholes, W. S. (2019). Adult attachment orientations and well-being during the transition to parenthood. Journal of Personality and Social Psychology, 117(4), 832-846.

Suseno, F. M. (2001). Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. PT Gramedia Pustaka Utama.

***

Baca Juga

Jangan ragu untuk memberikan komentar di bawah ini dan mengikuti kami di saluran WhatsApp "ProduktifMenulis.com (Group)" dengan klik link ini: WhatsApp ProduktifMenulis.com (Group) untuk mendapatkan info terbaru dari website ini.

Arda Dinata adalah Penulis di Berbagai Media Online dan Penulis Buku, Aktivitas Kesehariannya Membaca dan Menulis, Tinggal di Pangandaran - Jawa Barat.

www.ArdaDinata.com:  | Share, Reference & Education |
| Sumber Berbagi Inspirasi, Ilmu, dan Motivasi Sukses |
Twitter: @ardadinata 
Instagram: @arda.dinata

Arda Dinata

Arda Dinata is a writer for various online media, lives in Pangandaran - West Java. www.ArdaDinata.com: | Share, Reference & Education | | Source for Sharing Inspiration, Knowledge and Motivation for Success | World of Business, Business, Boss, Rich, Money, Dollars and Success |

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Entri yang Diunggulkan

Cinta Melukai



Toko Sosmed
Klik Di Sini Melihat Koleksi Ebook Karya Arda Dinata Lainnya

A Group Member of:
Toko SosmedToko SosmedToko SosmedWWW.ARDADINATA.COMWWW.ARDADINATA.COMInSanitarianMIQRA INDONESIA


Formulir Kontak

.