Baca Juga
"Setiap tetes air wudhu yang mengalir di tengah malam adalah tangga tak kasat mata yang membawa jiwa naik menuju hadirat-Nya. Dan di sana, semua langkah kebaikan akan bertemu dalam satu symphony surgawi yang tak pernah terputus.". (Sumber foto: Arda Dinata).
Cerpen: Arda Dinata
INSPIRASI - "Suara yang paling indah di telinga Allah adalah suara hamba-Nya yang memanggil dari kesunyian malam, ketika dunia tertidur dan hanya Dia yang terjaga."
"Aku mendengar langkah kakimu di surga, wahai Bilal. Apa yang membuatmu begitu istimewa?" Nabi bertanya kepada muazin berkulit gelap itu. Bilal menjawab dengan tulus, "Aku selalu berwudhu dan shalat sunnah setelahnya, ya Rasulullah." — (HR. Bukhari dan Muslim)
Malam ini, seperti malam-malam sebelumnya selama empat puluh tahun terakhir, Pak Bilal bangun menjelang subuh. Namanya memang Bilal—bukan kebetulan, kata ibunya dulu, karena ia lahir tepat ketika azan subuh berkumandang dari masjid kampung. "Semoga kelak engkau menjadi penyeru kebaikan seperti Bilal bin Rabah," do'a sang ibu yang kini telah tiada.
Kaki tuanya yang keriput melangkah pelan di atas lantai kayu rumah panggung yang sudah lapuk. Setiap papan mengeluarkan bunyi berderit, seolah ikut bangun untuk menyaksikan ritual yang tak pernah terlewat ini. Di luar, kabut tipis menyelimuti kampung nelayan di pesisir utara Jawa, dan suara ombak masih terdengar samar-samar berpadu dengan desir angin pagi.
Pak Bilal bukan muazin. Ia hanya seorang nelayan tua yang sudah tak mampu lagi melaut karena rematik yang menggerogoti sendi-sendinya. Namun, ada sesuatu dalam dirinya yang selalu memaksanya bangun sebelum azan, seolah ada panggilan tak kasat mata yang menariknya menuju tempat wudhu.
Air sumur di belakang rumah terasa dingin menyentuh kulit. Setiap tetes yang mengalir di wajah dan tangannya seolah membawa berkah yang tak terhingga. Pak Bilal selalu berwudhu dengan khusyuk, mengingat setiap sunnah yang pernah ia pelajari dari ustaz kampung. Setelah wudhu, ia tak langsung tidur seperti orang kebanyakan. Ia selalu mengambil sajadah lusuh warisan ayahnya dan menggelar shalat sunnah.
"Kenapa Bapak selalu shalat lagi setelah wudhu tengah malam?" tanya Sari, anak perempuannya yang kebetulan pulang dari Jakarta dan melihat kebiasaan ayahnya.
"Entahlah, Nak. Rasanya ada yang kurang kalau tidak melakukannya. Seperti ada yang memanggil," jawab Pak Bilal sambil melipat sajadah.
Sari mengangguk tidak mengerti. Baginya, ayahnya memang selalu aneh. Sejak kecil, ia ingat Pak Bilal selalu bangun malam, berwudhu, lalu shalat lagi. Padahal tak ada yang mengajarkan, tak ada ustaz yang menyuruh. Kebiasaan itu muncul begitu saja, seperti naluri yang sudah terpatri dalam jiwa.
Suatu malam, ketika hujan deras mengguyur kampung, Pak Bilal tetap bangun untuk melakukan rutinnya. Kaki tuanya terpeleset di lantai basah, dan ia terjatuh cukup keras. Sari yang mendengar suara bantingan langsung berlari ke kamar ayahnya.
"Pak, kenapa sih ngotot bangun malam-malam begini? Usianya sudah tua, kondisi badan juga sudah tidak fit. Kalau kenapa-kenapa gimana?"
Pak Bilal terdiam lama. Matanya menatap langit-langit rumah yang sudah menguning. "Sari, ayah pernah bermimpi aneh. Dalam mimpi itu, ayah melihat seseorang berkulit gelap sedang berjalan di sebuah taman yang sangat indah. Setiap langkahnya mengeluarkan bunyi yang merdu, seperti musik surga. Orang itu tersenyum kepada ayah dan berkata, 'Langkahmu juga terdengar di sini, saudaraku.' Ayah tidak tahu siapa dia, tapi hati ayah merasa hangat sekali."
Sari mengernyitkan dahi. "Mimpi apa itu, Pak?"
"Entahlah. Tapi sejak mimpi itu, ayah selalu merasa ada yang menarik untuk bangun malam dan berwudhu. Seolah setiap tetes air wudhu itu mengalir tidak hanya di wajah ayah, tapi juga di tempat yang jauh di sana."
Keesokan harinya, Sari pergi ke masjid kampung dan bertanya kepada Ustaz Mahmud tentang kebiasaan ayahnya. Ustaz tua itu tersenyum lebar ketika mendengar cerita Sari.
"Anakku, ayahmu melakukan sunnah yang sangat mulia. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW pernah bertanya kepada Bilal bin Rabah tentang amalan apa yang membuatnya istimewa hingga langkah kakinya terdengar di surga. Bilal menjawab bahwa ia selalu berwudhu dan shalat sunnah setelahnya."
Sari terpana. "Jadi, kebiasaan ayah itu..."
"Subhanallah, tanpa sadar ayahmu mengikuti jejak sahabat mulia itu. Mungkin Allah memberikan petunjuk melalui mimpinya."
Malam itu, Sari menemani ayahnya bangun. Ia melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana Pak Bilal berwudhu dengan penuh khusyuk, lalu shalat sunnah dengan ketenangan yang luar biasa. Ada aura kedamaian yang memancar dari wajah ayahnya, seolah ia sedang berkomunikasi dengan dimensi lain.
"Pak," bisik Sari setelah ayahnya selesai shalat, "apakah Bapak merasakan sesuatu ketika melakukan ini?"
Pak Bilal menoleh dengan mata yang berkaca-kaca. "Nak, setiap kali ayah berwudhu dan shalat seperti ini, ayah merasa dekat sekali dengan Tuhan. Seperti ada jembatan tak kasat mata yang menghubungkan ayah dengan surga. Dan yang anehnya, ayah selalu merasa ada yang berjalan bersamaku—langkah-langkah yang ringan tapi bermakna."
Musim berganti, dan kesehatan Pak Bilal semakin menurun. Namun, rutinnya tak pernah terlewat. Bahkan ketika ia harus dirawat di rumah sakit, ia meminta Sari untuk membangunkannya di tengah malam agar bisa berwudhu dan shalat sunnah.
"Pak, istirahat saja. Allah Maha Pengampun," kata Sari dengan mata berkaca-kaca.
"Nak, mungkin ini terakhir kalinya ayah bisa melakukan ini. Izinkan ayah menyelesaikan perjalanan ini dengan langkah yang sama seperti dulu."
Malam terakhir sebelum Pak Bilal wafat, ia bermimpi lagi. Kali ini, ia melihat sosok berkulit gelap itu berdiri di gerbang taman surga, tersenyum lebar sambil mengulurkan tangan.
"Selamat datang, saudaraku. Langkahmu telah sampai."
"Siapa engkau?" tanya Pak Bilal dalam mimpi.
"Aku Bilal bin Rabah. Dan engkau... engkau adalah saudaraku yang mengikuti jejak yang sama tanpa pernah tahu bahwa kami berdua berjalan di jalan yang sama menuju Tuhan."
Pak Bilal tersenyum dalam tidurnya. Akhirnya ia tahu mengapa selama ini ia merasa ada yang berjalan bersamanya. Langkah-langkah wudhu dan shalat sunnahnya ternyata bergema hingga ke surga, berpadu dengan langkah-langkah sang muazin berkulit gelap yang telah mendahuluinya ratusan tahun silam.
Pagi itu, Pak Bilal wafat dengan wajah tenang dan senyum tipis di bibirnya. Sari menemukan secarik kertas di samping tempat tidur ayahnya. Tulisan tangan yang bergetar itu berbunyi: "Nak, ayah sudah bertemu Bilal yang sebenarnya. Ternyata selama ini kami berjalan bersama-sama menuju rumah yang sama. Jaga rutinmu dengan Tuhan, karena setiap langkah kecil menuju-Nya akan terdengar hingga ke surga."
"Setiap tetes air wudhu yang mengalir di tengah malam adalah tangga tak kasat mata yang membawa jiwa naik menuju hadirat-Nya. Dan di sana, semua langkah kebaikan akan bertemu dalam satu symphony surgawi yang tak pernah terputus."
Arda Dinata, lahir di Indramayu, 28 Oktober 1973, penyuka prosa dan pendiri Majelis Inspirasi MIQRA Indonesia. Buku prosa terbarunya: Epos Aurora (novel, Juni 2024), Retakan (Kupcer, Maret 2025), dan Pecahan Cinta (Kupcer, Maret 2025). Kini bermukim di Pangandaran. Yuk baca cerpen karya Arda Dinata di link ini: https://blog.ardadinata.com/search/label/Cerpen
***
Baca Juga
Jangan ragu untuk memberikan komentar di bawah ini dan mengikuti kami di saluran WhatsApp "ProduktifMenulis.com (Group)" dengan klik link ini: WhatsApp ProduktifMenulis.com (Group) untuk mendapatkan info terbaru dari website ini.
Arda Dinata adalah Penulis di Berbagai Media Online dan Penulis Buku, Aktivitas Kesehariannya Membaca dan Menulis, Tinggal di Pangandaran - Jawa Barat.