#Fiksimini : Lukisan Kenangan

Baca Juga

"Lukisan terbaik bukanlah yang sempurna secara teknik, tetapi yang mampu menggores hati dan membangkitkan kenangan terindah dalam jiwa." (Sumber foto: Arda Dinata).

Karya: Arda Dinata

INSPIRASI - "Setiap goresan kuas menyimpan serpihan waktu yang tak bisa kembali, namun selalu hadir dalam setiap detik kita bernapas."

"Lihat, Bu! Aku bisa melukis pohon mangga di halaman!"

Suara riang Kirana, putri kecilku yang berusia tujuh tahun, memecah keheningan sore. Tangannya yang masih mungil menggenggam kuas cat air, bergerak lincah di atas kertas putih.

"Wah, bagus sekali, sayang. Tapi kenapa pohonnya berwarna ungu?" tanyaku sambil duduk di sampingnya.

"Karena Kirana suka ungu! Lagipula, Mama bilang melukis itu bebas, kan? Kirana boleh pakai warna apa saja."

Aku tersenyum. Betapa polosnya dunia anak-anak. Bagi mereka, semua mungkin terjadi. Pohon boleh berwarna ungu, langit boleh hijau, dan rumah boleh terbang.

"Mama, kenapa kalau melukis, Kirana jadi ingat hal-hal yang sudah lama?" tanyanya tiba-tiba.

"Maksud Kirana bagaimana, sayang?"

"Waktu Kirana melukis pohon mangga tadi, Kirana ingat waktu Mama ngajarin Kirana panjat pohon. Terus waktu Kirana melukis kupu-kupu kemarin, Kirana ingat waktu kita ke taman bunga sama Papa."

Aku terdiam sejenak. Kata-kata polos Kirana mengingatkanku pada sesuatu yang pernah kudengar. Bahwa melukis adalah cara jiwa berbicara dengan masa lalu.

"Itu karena lukisan bisa menyimpan kenangan, Kirana. Setiap warna yang kita pilih, setiap garis yang kita buat, sebenarnya adalah bagian dari ingatan kita."

"Berarti kalau Kirana melukis Papa, Papa bisa pulang lagi?"

Pertanyaan itu menohok dadaku. Sudah dua tahun Papa Kirana pergi untuk selamanya. Kecelakaan di jalan tol saat pulang kerja mengambil nyawanya. Sejak itu, Kirana sering melukis sosok laki-laki tinggi dengan senyum hangat.

"Papa sudah ada di tempat yang indah, sayang. Tapi Papa selalu ada di sini," kataku sambil menunjuk dadanya. "Dan setiap kali Kirana melukis Papa, itu berarti Kirana masih ingat betapa Papa sayang sama Kirana."

Kirana mengangguk pelan. Tangannya kembali menggerakkan kuas, kali ini melukis sosok familiar yang selalu muncul dalam setiap karyanya.

"Mama, nanti kalau Kirana sudah besar, lukisan-lukisan Kirana masih ada nggak?"

"Tentu saja. Mama akan simpan semuanya. Suatu hari nanti, kalau Kirana sudah dewasa dan punya anak sendiri, Kirana bisa ceritakan kenangan-kenangan indah ini pada mereka."

"Kirana mau ngajarin anak Kirana melukis juga!"

"Pasti. Dan ceritakan juga tentang kakek mereka yang suka tertawa keras kalau lihat lukisan Kirana."

Sore itu, kami melukis bersama sampai matahari tenggelam. Kirana melukis keluarga kecil kami – dia, aku, dan sosok Papa yang selalu hadir dalam setiap goresan kuasnya. Aku melukis pemandangan taman belakang rumah, tempat kami sering bermain bersama.

Tiba-tiba Kirana bertanya, "Mama, kenapa orang dewasa jarang melukis?"

"Mungkin karena mereka lupa bahwa melukis bisa membuat kenangan jadi hidup lagi."

"Kasihan ya, mereka nggak bisa simpan kenangan di kertas."

Malam ini, setelah Kirana tertidur, aku menatap lukisan-lukisannya yang berjejer di dinding kamar. Setiap karya menyimpan cerita. Setiap warna berbicara tentang hari-hari yang telah berlalu.

Aku menyadari bahwa Kirana tidak hanya melukis dengan cat air. Dia melukis dengan ingatan, dengan kerinduan, dengan cinta yang tak terbatas pada sosok yang sudah tiada.

Di sudut meja, ada lukisan terakhir Papa sebelum dia pergi. Sketsa wajah Kirana yang sedang tertawa. Di pojok kanan bawah, tertulis kalimat pendek: "Untuk putri kecilku, lukislah selalu kebahagiaan."

Aku tersenyum dalam air mata. Ternyata Papa sudah tahu. Melukis bukan sekadar menggores kuas di kanvas. Melukis adalah cara kita menjaga kenangan tetap hidup, meski waktu terus berjalan.

"Lukisan terbaik bukanlah yang sempurna secara teknik, tetapi yang mampu menggores hati dan membangkitkan kenangan terindah dalam jiwa."


Arda Dinata, lahir di Indramayu, 28 Oktober 1973, penyuka cerita fiksi mini, prosa dan pendiri Majelis Inspirasi MIQRA Indonesia. Buku prosa terbarunya: Epos Aurora (novel, Juni 2024), Retakan (Kupcer, Maret 2025), dan Pecahan Cinta (Kupcer, Maret 2025). Kini bermukim di Pangandaran. Yuk baca cerpen karya Arda Dinata di link ini: https://blog.ardadinata.com/search/label/Cerpen

***

Baca Juga

Jangan ragu untuk memberikan komentar di bawah ini dan mengikuti kami di saluran WhatsApp "ProduktifMenulis.com (Group)" dengan klik link ini: WhatsApp ProduktifMenulis.com (Group) untuk mendapatkan info terbaru dari website ini.

Arda Dinata adalah Penulis di Berbagai Media Online dan Penulis Buku, Aktivitas Kesehariannya Membaca dan Menulis, Tinggal di Pangandaran - Jawa Barat.

www.ArdaDinata.com:  | Share, Reference & Education |
| Sumber Berbagi Inspirasi, Ilmu, dan Motivasi Sukses |
Twitter: @ardadinata 
Instagram: @arda.dinata

Arda Dinata

Arda Dinata is a writer for various online media, lives in Pangandaran - West Java. www.ArdaDinata.com: | Share, Reference & Education | | Source for Sharing Inspiration, Knowledge and Motivation for Success | World of Business, Business, Boss, Rich, Money, Dollars and Success |

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Entri yang Diunggulkan

#FiksiMini : Jejak di Margin



Toko Sosmed
Klik Di Sini Melihat Koleksi Ebook Karya Arda Dinata Lainnya

A Group Member of:
Toko SosmedToko SosmedToko SosmedWWW.ARDADINATA.COMWWW.ARDADINATA.COMInSanitarianMIQRA INDONESIA


Formulir Kontak

.