SETIAP aktivitas manusia akan menghasilkan limbah. Baik yang berupa limbah padat maupun limbah cair. Dan sebagian besar masyarakat mengenalnya dengan istilah air limbah.
Air limbah (sewage) diartikan sebagai air dan cairan yang merupakan sisa dari kegiatan manusia di rumah tangga, commercial buildy (kegiatan yang dilakukan untuk mendapatkan keuntungan) atau industri.
Dari sini, kita mengenal penggolongan air limbah berupa air limbah industri dan limbah domestik. Air limbah industri itu bersumber dari aktivitas industri, pertanian, dan sejenisnya. Sedangkan kandungan limbah industri ini tergantung pada bahan dan teknologi yang digunakan serta barang hasil produksi yang akan dihasilkan.
Sementara itu, sumber air limbah domestik berasal dari aktivitas rumah tangga, kantor, commercial buildy (hotel, restoran, rumah sakit), dll. Adapun limbah domestik ini memiliki kandungan bahan berupa 99,9 persen air dan 0,1 persen bahan padat.
Dari 0,1 persen bahan padat itu, terdiri dari bahan organik sebanyak 70 persen, yang meliputi karbohidrat (25%), lemak (10%), protein (65%) dan bahan anorganik sebanyak 30 persen, yang terdiri dari logam, tanah, dan pasir.
Melihat kandungan air limbah tersebut, maka produk sisa dari aktivitas manusia ini berpotensi besar terhadap terjadinya penyebaran penyakit dan kesakitan pada manusia, bila air limbah itu tidak dikelola dengan baik. Di sinilah perlunya dilakukan proses pengolahan air limbah terlebih dahulu sebelum dibuang ke badan air atau lingkungan lainnya.
Tipe Pengolahan
Sebelum kita menentukan tipe pengolahan air limbah yang tepat dibagun pada suatu daerah, maka terlebih dahulu kita harus memperhatikan persyaratan lokasi pengolahan air limbah tersebut.
Pada dasarnya, lokasi pengolahan air limbah tergantung pada kondisi suatu daerah. Yakni pada suatu daerah yang tidak memerlukan proses pemompaan untuk mengalirkan air limbahnya. Ini adalah dasar yang pertama.
Kedua, lokasi terpilih hendaknya tidak dekat dengan perumahan. Jarak minimal antara rumah terdekat dengan lokasi pengolahan air limbah adalah 500 meter.
Ketiga, lokasi terpilih harus dipilih sedemikan rupa sehingga air limbah dapat mengalir secara gravitasi dari proses pengolahan yang satu ke proses pengolahan berikutnya.
Keempat, walaupun daerah tersebut dapat mengalir secara gravitasi, tapi lokasi pengolahan air limbah pun, hendaknya tidak berada di daerah banjir.
Kelima, sebaiknya lokasi dipilih pada daerah yang cukup luas, bila dimasa yang akan datang perlu dilakukan pengembangan sarana pengolahan air limbah di lokasi tersebut.
Dari sini, kita mengenal ada dua tipe sistem pengolahan air limbah ini. Pertama, sistem pembuangan setempat (On Site Sanitattion). Pada setiap pembuangan setempat ini, air limbah dialirkan ke tempat pembuangan atau pengolahan yang terletak di sekitar pekarangan rumah atau bangunan. Istilah lain dari sistem setempat ini disebut juga sebagai sistem individual. Adapun jenis sarana yang termasuk tipe ini, misalnya cubluk, septic tank, dll.
Kedua, sistem pembuangan terpusat (Off Site Sanitation). Pada sistem pembuangan terpusat ini, air limbah disalurkan ke saluran air limbah kota yang mengalir menuju pengolahan air limbah kolektif di daerah tertentu. Sistem ini juga dikenal dengan istilah sistem komunal. Jelasnya, pada sistem komunal air limbah dialirkan dari sumbernya menuju ke tempat pengolahan terpusat dengan mempergunakan pipa riol. Adapun riol yang dipakai untuk mengalirkan air limbah tersebut dinamakan dengan Sewerage System.
Dasar Pertimbangan
Dasar-dasar pertimbangan dalam pemilihan teknologi pengolahan (pembungan) air limbah di tiap-tiap daerah umumnya memiliki faktor-faktor yang berbeda. Yang jelas, untuk menetapkan teknologi pengolahan air limbah yang tepat di suatu daerah, ternyata banyak faktor yang harus dipertimbangkan.
Faktor-faktor pertimbangan tersebut, diantaranya berupa: (1) Kepadatan penduduk. Faktor ini dapat menjadi indikator akan tersedia atau tidaknya lahan yang cukup untuk membangun sistem pengolahan setempat (individual). Biasanya, jika kepadatan penduduk lebih dari 300 jiwa/ha, maka sistem setempat sudah tidak sesuai lagi untuk diterapkan. Seperti halnya untuk kondisi Kota Bandung, sistem setempat ini sudah tidak tepat lagi diterapkan.
(2) Penyediaan air bersih. Faktor ini sangat penting diperhatikan, karena kondisi tersedia atau tidaknya air bersih di suatu daerah akan menentukan dari kelancaran operasi sistem pengoahan air limbah. Yang mana, untuk sistem pembungan terpusat itu memerlukan penyediaan air bersih yang relatif lebih terjamin dibandingkan dengan sistem pembungan setempat. Hal ini dikarenakan sistem terpusat memerlukan proses penggelontoran yang baik dan terjamin.
(3) Keadaan tanah. Faktor keadaan tanah yang tidak dapat meresapkan air tidak mungkin diterapkan untuk sistem pembungan setempat, karena sistem ini memerlukan areal peresapan. Dan kondisi tanah seperti itu, sistem peresapannya dapat dipastikan tidak dapat berjalan dengan baik.
(4) Keadaan air tanah. Kondisi air tanah yang dangkal tidak cocok untuk diterapkan pada sistem pembungan air limbah setempat. Hal ini dikarenakan kondisi tersebut menyebabkan sistem peresapan tidak akan berjalan dengan baik. Selain itu, effluent dari sistem pembungan setempat ini akan mencemari air tanah dangkal, terutama jika air tanah tersebut dipergunakan sebagai sumber air minum.
(5) Keadaan tofografi (penampang tanah). Faktor kemiringan tanah ini akan mempengaruhi pemilihan teknologi pengolahan air limbah. Kondisi tanah yang memiliki kemiringan kurang dari 2 persen akan menyulitkan dalam penerapan sistem pembungan terpusat. Hal ini didasarkan penanaman pipa pada bagian hilir akan dalam sekali. Atau jika terpaksa, maka akan dilakukan dengan sistem pemompaan. Dan ini berarti memerlukan investasi dana yang tidak kecil.
(6) Kemampuan membangun. Faktor ini jelas-jelas berkait dengan kemampuan setiap daerah untuk membangun teknologi yang dipilih. Apabila perencanaan yang tidak tepat dan cermat, bisa jadi ada kemungkinan teknologi yang telah dipilih tidak dapat diterapkan karena ketidakmampuan tenaga setempat untuk membangun atau minimal penerapannya akan mundur waktunya hingga kondisi tenaga (SDM) daerah tersebut telah cukup mampu untuk membangun.
(7) Kondisi sosial ekonomi masyarakat. Faktor ini lebih tepat dalam menekankan pada kondisi dan status ekonomi masyarakat setempat. Hal ini tentunya, diperlukan akan adanya pemberdayaan masyarakat setempat berkait dengan pembebanan biaya pembangunan dan operasional penyelenggaraan pengolahan air limbah. Karena tidak mungkin biaya operasional dan pemeliharaan alat-alat pengolahan air limbah terus-terus ditanggung oleh pemerintah daerah setempat. Lebih-lebih saat ini telah dilakukan otonomi daerah.
Dengan memperhatikan faktor-faktor tersebut, setidaknya tiap-tiap daerah mampu merencanakan dan merealisasikan program pengolahan air limbah secara tepat. Bila hal ini tidak segera dibenahi, maka air limbah tersebut siap-siap mengancam keselamatan lingkungan dan manusia itu sendiri. ***
Arda Dinata
Penulis adalah dosen di Akademi Kesehatan Lingkungan (AKL) Kutamaya.