Oleh:
ARDA DINATA
BARU-BARU ini, kita dikagetkan dengan
kasus kematian dan penderitaan warga Teluk Buyat. Salah satu korbanya adalah
Andini Lenzun (5 bulan), putra Hendrik Lenzun dan Salma Stirman, yang tinggal
di Desa Ratatotok Timur, Pantai Buyat, Kabupaten Minahasa Selatan. Ia meninggal
(3 Juli 2004) diduga menderita penyakit minamata. Menurut penuturan
keluarganya, sejak lahir, kulit di sekujur tubuh Andini bersisik warna hitam,
selain menderita sesak napas dan kejang.
Kasus tersebut, tentu mengungkap
penasaran kita akan hubungan kematiannya dengan telah terjadinya pencemaran
oleh logam-logam berat di Teluk Buyat. Betulkah hal ini ada hubungannya? Lalu,
bagaimana sebenarnya cara penanganan pencemaran logam berat (baca: merkuri)
itu?
Teracuni logam-logam berat tentu
sangat berbahaya. Inilah yang dialami oleh lebih dari 100 warga Buyat,
Ratatotok, Kabupaten Minahasa Selatan, Provinsi Sulawesi Utara, yang menderita
penyakit Minamata, mereka diduga terkontaminasi oleh logam berat arsen dan
merkuri yang mencemari Teluk Buyat. Logam-logam berat ini di duga berasal dari
limbah penambangan emas PT Newmont Minahasa Raya/NMR. (Kompas, 21/7/04).
Dalam dunia kesehatan lingkungan,
penyakit minamata dikenal sebagai penyakit gangguan sistem saraf pusat akibat
mengonsumsi ikan/kerang yang terkontaminasi logam berat arsen dan merkuri dalam
jumlah banyak.
Bila dilihat kondisinya, pada
penderita minamata terjadi degenerasi sel-sel saraf di otak kecil yang
menguasai koordinasi saraf dan degenerasi sarung selaput saraf, yang akhirnya
bisa menyebabkan kelumpuhan dan kematian. Serangan juga terjadi pada bagian
otak yang mengatur penglihatan berupa berkurangnya luas wilayah pandang.
Gejala orang yang terkena
keracunan merkuri, biasanya ditandai dengan sakit kepala, sukar menelan,
penglihatan menjadi kabur, dan daya dengar menurun. Selain itu, orang yang
terkena keracunan merkuri merasa tebal di bagian kaki dan tangannya, mulut
terasa tersumbat oleh logam, gusi membengkak dan disertai pula dengan diare.
Kematian dapat terjadi karena kondisi tubuh yang makin melemah. Wanita yang
sedang hamil akan melahirkan bayi yang cacat apabila ia keracunan merkuri.
Kasus keracunan merkuri ini,
sebetulnya tidak hanya terjadi pada masyarakat Buyat, Kabupaten Minahasa
Selatan. Namun sebelumnya juga keracunan merkuri pernah terjadi di beberapa
tempat, bahkan untuk beberapa kasus menjadi isu lingkungan yang besar seperti
di Teluk Minamata Jepang (1953-1960). Selain itu, pernah juga terjadi di Irak
(1961), Pakistan Barat (1963), Guatemala (1966), Nigata Jepang (1968).
Keracunan di daerah tersebut terutama disebabkan oleh konsumsi ikan yang
tercemar merkuri atau mengonsumsi biji-bijian yang diberi perlakuan dengan
merkuri.
Berkait dengan mekanisme
keracunan merkuri ini, menurut Pramudya Sunu (2001) dalam karyanya “Melindungi
lingkungan dengan menerapkan ISO 14001”, menyebutkan bahwa mekanisme keracunan
merkuri di dalam tubuh belum diketahui dengan jelas, namun untuk daya racun
merkuri dapat diinformasikan sebagai berikut. Pertama, kerusakan tubuh yang
disebabkan oleh merkuri pada umumnya bersifat permanen.
Kedua, masing-masing komponen
merkuri mempunyai perbedaan karakteristik yang berbeda seperti daya racunnya,
distribusi, akumulasi atau pengumpulan, dan waktu retensinya (penyimpanan) di
dalam tubuh.
Ketiga, semua komponen merkuri
dalam jumlah cukup, maka akan beracun terhadap tubuh.
Keempat, merkuri dapat
berpengaruh terhadap tubuh, karena dapat menghambat kerja enzim dan menyebabkan
kerusakan sel. Sifat-sifat membran dari dinding sel akan rusak karena
pengikatan dengan merkuri, sehingga aktivitas sel dapat terganggu.
Kelima, tranformasi biologi dapat
terjadi pada lingkungan atau di dalam tubuh, di mana komponen merkuri diubah
menjadi bentuk lain.
Penanganan Pencemaran Merkuri
Terjadinya keracunan merkuri,
tentu bukan hal yang sepele. Lebih-lebih bila kondisinya sudah akut akan dapat
menyebabkan kerusakan perut dan usus, gagal kardiovaskular (jantung dan
pembuluhnya), dan gagal ginjal akut yang dapat menyebabkan kematian.
Sebetulnya, terjadinya pencemaran
merkuri di lingkungan itu dapat dideteksi dari industri-industri yang menggunakan
merkuri didalam prosesnya. Adapun untuk melakukan penanganan pencemaran
merkuri, maka sebaiknya terlebih dahulu kita mengetahui sifat-sifat dari
merkuri itu sendiri.
Berikut ini sifat-sifat yang umum
dari merkuri, yaitu: (1) Berbentuk cair sehingga mudah menyebar di permukaan
air dan sulit dikumpulkan; (2) Bersifat mudah berubah menjadi gas dan uap
(volatil) sehingga dapat mencemari lingkungan; (3) Dapat diubah oleh
mikroorganisme yang terdapat di dalam air (laut, sungai atau danau) menjadi
komponen metil merkuri yang sangat beracun, di mana dengan adanya rantai
makanan memungkinkan terkumpul di dalam tubuh hewan dan manusia; (4) Merkuri
mengalami pemindahan tempat (translokasi) di dalam tanaman dan hewan.
Berdasarkan sifat-sifat itu, maka
pencemaran merkuri ini akan tetap terjadi pada lumpur di dasar pantai, sungai
atau danau. Sehingga untuk menangani kasus pencemaran merkuri ini, kita tentu
bisa belajar dari percobaan yang telah dilakukan Negara Swedia, yaitu
menggunakan metode dekontaminasi merkuri. Metode ini meliputi: Pertama, sedimen
pada dasar pantai, sungai atau danau ditutupi dengan bahan-bahan yang mempunyai
kemampuan absorbsi tinggi.
Kedua, sedimen pada dasar pantai,
sungai atau danau ditutupi dengan bahan anorganik yang tidak bereaksi. Dan ketiga,
sedimen yang mengandung merkuri dihilangkan dengan cara dikeruk atau dipompa.
Akhirnya, lebih dari itu untuk
mencegah terjadinya pencemaran merkuri, maka negara kita sebaiknya mengikuti
apa yang telah direkomendasaikan EPA (Environmental Protection Agency), bahwa
semua industri yang menggunakan merkuri harus membuang limbah industrinya
dengan terlebih dahulu mengurangi jumlah merkuri sampai batas normal.
Pertanyaannya adalah sudahkah hal ini dilakukan oleh PT NMR tersebut?***
Penulis adalah dosen di Akademi
Kesehatan Lingkungan (AKL) Kutamaya.