Benarlah apa yang dikatakan Solikhin Abu Izzuddin dalam “Happy Ending Full Barokah” bahwa kebahagiaan yang mulus itu bukan karena fulus. Dan kebahagiaan sejati itu adalah ketika dibagi malah bertambah.
Rahasia Kebahagiaan Suami Istri
Oleh ARDA DINATA
KEBAHAGIAANitu dambaan bagi setiap orang. Termasuk di antara pasangan suami istri, pasti mendambakan hidup bahagia. Dalam hal ini, Syaikh Syarbashi pernah mengatakan, “Semua manusia yang hidup di dunia ini berlomba-lomba mencari kebahagiaan dan ingin bisa meraihnya, walaupun dengan harga yang tinggi.”
Sejatinya, arti kebahagiaan itu terletak pada pikiran, sikap, dan perilaku diri kita dalam menyikapi tiap masalah kehidupan yang dihadapinya. Artinya, bagi pasangan suami istri agar perkawinan yang dibinanya mencapai kebahagiaan, maka hubungan di antara suami istri tersebut harus dilakukan atas dasar perilaku lulus karena tulus, tulus dalam memberi, tulus dalam berbagi, dan tidak ada tendensi apapun saat membantu di antara suami istri.
Perihal kebahagian ini, Ahmad Rofi’ Usmani dalam “Kado Cinta Untuk Muslimah”, menceritakan suatu saat Yazid ibn Mu’awiyah ibn Abu Sufyan, penguasa kedua Dinasti Umawiyyah di Damaskus, Suriah, pernah bertanya kepada orang-orang yang menghadiri majelisnya, “Siapakah yang paling bahagia hidupnya di dunia ini?”
“Engkau, wahai Amirul Mukminin!”
“Lantas, bagaimana halnya dengan anak keturunan Quraisy?”
“Bukankah engkau sendiri anak keturunan Quraisy, wahai Amirul Mukminin?”
“Lalu, bagaimana dengan orang Khawarij?”
Hadirin pun diam. Kemudian, mereka balik bertanya, “Lantas, bila demikian, siapakah orang yang paling bahagia, wahai Amirul Mukminin?”
“Seorang Muslim yang memiliki seorang istri Muslimah dan keduanya dikaruniai kehidupan berkecukupan. Sang istri rida kepada suaminya. Sebaliknya, sang suami juga rida kepada istrinya,” jawab penguasa kedua Dinasti Umawiyyah itu.
Rida kunci kebahagiaan
Menyimak isi dari cerita di atas, dapat dikatakan kalau kunci kebahagiaan hubungan suami istri adalah ada pada sikap rida di antara pasangan suami istri.
Rida itu adalah rela. Rela sendiri diartikan sebagai perilaku bersedia (sudi) dengan ikhlas hati. Memberikan dengan ikhlas dan melepaskan (menyerahkan) dengan tulus hati. Rela juga berarti perilaku dengan senang atau suka hati. Rasa suka ini dilakukan dengan kehendak dan atau atas kemauan sendiri. Tidak ada paksaan dari pasangan suami istri.
Terkait dengan itu, seorang dokter Muslim, Tsabit Qurrah, memberikan perhatian melalui fatwa dan tipsnya yang dapat mengantarkan seseorang kepada kebahagiaan. Beliau mengatakan, “Kenyamanan jasad adalah dengan sedikit makan, kenyamanan jiwa adalah dengan sedikit dosa, kenyamanan hati adalah dengan sedikit keinginan, dan kenyamanan lisan adalah dengan sedikit berbicara.”
Secara demikian, yang membuat pasangan suami istri dapat menapaki jalan kebahagiaan itu, kuncinya ada pada perilaku dan sikap hidupnya sendiri. Yakni berupa bagaimana keyakinan pasangan suami istri memperlakukan jasad, jiwa, hati, dan lisannya itu secara benar.
Adapun, langkah yang dapat dilakukan oleh pasangan suami istri dalam merintis dan membangun kebahagiaan tersebut adalah paling tidak ada tiga hal. Pertama, bahagiakanlah diri dengan rangkaian prestasi kecil yang dihargai dan dirawati oleh pasangan suami istri. Kedua, merintis bahagia dari hal-hal kecil di antara suami istri. Langkahnya, yang ada, manfaatkanlah dengan baik. Yang bisa dilakukan, lakukanlah secara bijak. Dan yang dilarang, tinggalkanlah. Ketiga, jangan bosan untuk selalu menggali inspirasi membangun keluarga dengan karakter pribadi-pribadi mulia.
Akhirnya, benarlah apa yang dikatakan Solikhin Abu Izzuddin dalam “Happy Ending Full Barokah” bahwa kebahagiaan yang mulus itu bukan karena fulus. Dan kebahagiaan sejati itu adalah ketika dibagi malah bertambah. Semoga!
(Arda Dinata, pengasuh Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam/MIQRA Indonesia).***