BERBICARA tentang wanita tidak akan pernah ada habisnya, bagaikan sebuah oase yang tidak membosankan, semakin dibicarakan akan semakin terbuai olehnya. Napoleon Bonaparte pernah mengatakan bahwa kemajuan wanita adalah sebagai ukuran kemajuan negeri kaum ibu yang dapat menggoyangkan buaya dengan tangan kirinya, dapat pula menggoyangkan dunia dengan tangan kanannya.
Berkait dengan itu, timbul satu pertanyaan dalam menyikapi kondisi keterpurukan bangsa Indonesia saat ini. Yakni, apakah ada yang salah dari perilaku kaum wanita di Indonesia, bila kita kaitkan dengan kondisi bangsa ini?
Di zaman ini, ada kecenderungan yang sangat kuat di kalangan wanita, dari lapisan apapun, untuk bekerja. Begitu seorang wanita menyelesaikan pendidikannya, maka yang terbayang dalam benaknya adalah dunia kerja. Bekerja untuk mendapatkan upah atau gaji. Intinya bekerja di luar rumah (Suharsono, 2002:23).
Menyikapi kecenderungan itu (baca: wanita yang menghilangkan kodrat sebagai ibu), patut kita renungkan apa yang dipertanyakan Said Hawa, bahwa bukankah lebih terhormat bagi wanita, jika segala keperluan dan pembiayaan hidupnya dijamin oleh suaminya, daripada mesti bekerja di luar rumah dan mengerjakan pekerjaan yang tidak sesuai dengan karakternya? Apakah pertumbuhan anak lebih baik di dalam asuhan ibunya, atau di dalam asuhan tempat penitipan?
Menyikapi fenomena tersebut, ada tiga tekad yang dilahirkan kaum wanita pada kongres pertamanya di Yogyakarta 22 Desember 1928, yakni menggalang persatuan, tampil seiring dengan kaum pria dalam merebut kemerdekaan, serta meneruskan cita-cita untuk memperoleh hak hidup dalam kodratnya sebagai wanita. Ternyata masih relevan dengan makna perjalanan pembangunan dalam mengisi kemerdekaan saat ini.
Menurut H.M. Hembing Wijayakusuma (1995: 426), tiga tekad wanita Indonesia terus diperjuangkan, terutama menyangkut hak hidup sesuai kodratnya. Tapi satu hal yang pantang diremehkan, yakni peran kaum ibu sebagai ibu rumah tangga. Kaum bapak sungguhpun ada kekecualian, tapi pengabdiannya di kantor, atau di tempatnya menggantungkan hidup bersama keluarga untuk mencari nafkah, akan banyak dipengaruhi oleh peran istri dalam rumah tangga. Agama Islam mengajarkan bahwa surga itu berada ditelapak kaki ibu. Dapatkah kaum ibu menghayati makna ajaran ini sehingga senantiasa menjadi anutan sang anak dan curahan kasih sayang suami? Itulah pedoman paling berharga untuk bisa tampil sebagai madu pemanis rumah tangga dan pengharum bangsa dengan gelar ibu.
Dalam bahasa lain, Suharsono (2002: 25-26) mengungkapkan bahwa tampaknya kita perlu merenungi sebuah pernyataan yang disabdakan Nabi Saw, “Surga di bawah telapak kaki ibu.” Bila kita simak baik-baik pernyataan ini kita patut bertanya, “Apakah setiap (tipologi) ibu dapat mensurgakan anaknya?” Apakah tipologi ibu dalam perspektif budaya patriarkhi, yang hanya bergerak dari dapur sampai tempat tidur dapat mensurgakan anak-anaknya? Atau sebaliknya, ibu-ibu dalam perspektif feminisme dewasa ini, yang mampu mensurgakan anak-anaknya.
Lebih jauh diungkapkan, jika Islam sangat menghargai harkat wanita, seperti dinyatakan Alquran surat Luqman: 14 dan Ahqaf: 15, bukanlah bertujuan agar perempuan itu menjadi laki-laki, dengan cara persamaan hak kerja, profesi dan sebagainya, tetapi untuk menjadi ibu. Islam tidak mengatur masalah kerja profesional bagi perempuan, apalagi jika kerja itu dilakukan di luar rumah, karena memang tidak ada kewajiban perempuan untuk mencari nafkah. Tetapi sebaliknya, Islam mengatur secara rinci bagaimana mestinya perempuan menjadi ibu.
Menurut Sukarti H. Manan (1999), yang menjadi kenyataan sekarang ini adalah muncul istilah emansipasi wanita yang sering disalah artikan. Penulis teringat pada Kartini yang dengan gigihnya memperjuangkan derajat wanita agar sejajar dengan kaum pria. Ketika wanita memperoleh kesempatan “berkiprah” di dunia luar selain rumah tangganya, ada kalanya mereka secara tidak sadar melupakan kodrat kewanitaan-nya, rumah tangga, termasuk anak dan suami. Bekerja melebihi waktu, sehingga anak justru “terdidik” oleh orang lain (pembantu) dan memunculkan perasaan “bersih” pada diri suami.
Untuk itu, pemaknaan emansipasi wanita ini harus segera kita luruskan agar tidak membuat keterpurukan bangsa ini menjadi berlarut-larut. Dalam nada pertanyaan, Elvira W & Eva R (1997),mengungkapkan bahwa satu fenomena (gejala) yang tidak bisa kita pungkiri lagi bahwa semakin banyak perempuan yang menghiasi percaturan perpolitikan tidak menutup suatu kemungkinan menunjukkan bahwa semakin banyak wanita yang terlibat dalam dunia kejahatan. Jadi apakah semua merupakan suatu keberhasilan dari peran ganda wanita atau hanya fatamorgana belaka??..
Dalam hal ini, Maurice Bardeche, pakar dari negara Prancis yang dinilai sebagai pelopor yang mengumandangkan semboyan “kebebasan dan persamaan”, dalam bukunya “Hestoire des Femmers”memperingatkan janganlah hendaknya kaum ibu meniru kaum bapak, karena jika demikian akan lahir bahkan telah lahir jenis manusia ketiga sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab dalam bukunya “Lentera Hati”. Dikatakannya bahwa “baik dan terpuji apabila seorang ibu atau istri melayani suaminya, membersihkan dan mengatur rumah tempat tinggalnya, tetapi itu bukan merupakan kewajibannya”. (Widaningsih, 2000).
Sementara itu, diungkapkan Dadang Kusnandar, jika wanita secara tulus melakukan tugas-tugas rumah tangganya, boleh jadi konsep rumah tangga Islam: Baiti Jannati, dengan sendirinya akan lebih mudah terbina. Sebab pendidikan yang paling mulia bagi anak tidak lain bermula dari ibu. Maka anak-anak langsung memperoleh pendidikan dan kasih sayang seorang ibu, lebih terjamin akhlaknya. Anak-anak akhirnya lebih terkendali dan bersosialisasi di tengah pergaulan masyarakat. Mereka tidak mudah terjerat pada sekian penyimpangan dari perilaku chaos serta tawaran-tawaran nilai “baru” untuk melakukan pengingkaran norma-norma sosial, terutama moral serta etika agama.
Sebaliknya, wanita yang menyerahkan pendidikan anaknya kepada orang lain tanpa keterlibatan langsung dan penuh dari ibunya ketika ia remaja tampak lebih lentur dalam menerima “paradigma” di kalangan remaja, terutama di kota-kota. Katakanlah ia menjadi terasing dari lingkungannya, malah dengan keluarga sendiri kerap menjadi amat individualis. Dan sulit dihindari kenyataan menujukkan adanya sejumlah dekonstruksi moral dan etika sosial, sering bermula dari ketidak harmonisan hubungan keluarga.
Di sinilah pentingnya sebuah kesadaran untuk menjadi seorang ibu. Kesadaran ini, tentu berkenaan dengan masalah-masalah reproduksi perempuan sebagaimana yang menjadi wacana feminisme. Tetapi, dalam pandangan Suharsono (2002), persoalannya tidaklah cukup dengan “melahirkan” lalu menjadi ibu dan selesai. Menjadi ibu melibatkan pengertian dan kesadaran baru yang harus dimiliki bagi setiap perempuan.
Di samping resiko beratnya melahirkan, menjadi ibu berarti memiliki kesadaran penuh untuk membekali diri dalam rangka mendidik anak-anaknya. Tugas untuk menjadi ibu dalam pengertian seperti ini, membutuhkan bobot spiritual dan intelektualitas yang memadai. Para ibu adalah guru pertama anak-anaknya sendiri. Orang pertama yang akan menjadi sandaran bagi anak-anaknya, tempat bertanya, mengadukan halnya dan juga perlindungannya. Jawaban-jawaban yang diberikan serta kepedulian seorang ibu bagi anak-anaknya, sangat menentukan bagi masa depan anak-anaknya.
Untuk itu, semoga para wanita penghuni bangsa ini tidak melupakan kodratnya, yakni menjadi seorang ibu yang baik. Aamiin.
Salam sukses selalu….. Bagaimana menurut pendapat Anda?***
Arda Dinata adalah Pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia.
< HOME>
Arda Dinata, pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam/ MIQRA Indonesia, www.miqraindonesia.com