Oleh: ARDA DINATA
KEHIDUPAN di dunia ini ibarat sebuah roda pedati, kadangkala berada di atas dan kadangkala berada di bawah. Maka tidak aneh, kalau diri kita kadang-kadang mendapati kesenangan atau kesusahan. Keselamatan atau bencana. Itu merupakan bagian romantika kehidupan manusia di dunia yang fana ini. Masalahnya, mengapa bencana itu datang menimpa kita?
Kita sadar bahwa keselamatan dan bencana itu hanya milik Allah. Kalau Dia menghendaki keselamatan atau bencana menimpa diri kita, maka itu merupakan hak perogatif Allah. Kita tidak bisa menghindarinya. Tapi, yang jelas Allah menimpakan keselamatan dan bencana itu dengan sesuatu sebab yang pasti (berdasarkan hukum Allah).
Ada empat hal yang menyebabkan terjadinya bencana atau kecelakaan pada diri seseorang. Sebagaimana yang telah disinyalir oleh Nabi Muhammad Saw, “Termasuk bencana atau kecelakaan adalah empat hal: (1) kekerasan hati, (2) kebekuan mata, (3) keserakahan, dan (4) panjang angan-angan”.
* *
BELAKANGAN ini, berbagai cobaan yang cukup berat dari Sang Penguasa Hidup, telah dialami bangsa Indonesia yang sebagian besar penghuninya adalah Muslim. Musibah demi musibah datang silih berganti. Di mulai dari musim kemarau panjang, kebakaran hutan dan serangan asap, penjarahan, dukun santet, pembunuhan, krisis moneter dan krisis ekonomi yang berkepanjagan serta ‘perang’ antar partai politik.
Apa artinya semua itu, bagi mahluk bernama manusia yang diciptakan Allah dengan empat unsur ini (tanah, air, api dan angin), ditambah akal pikiran. Tidak lain, kita harus introspeksi dan berpikir. Mungkin selama ini, Saya, Anda dan penghuni bangsa ini telah lalai dengan aturan-aturan dan ketentuan yang telah ditetapkanNya. Atau barangkali pada diri kita terdapat ‘hati yang keras’, ‘kebekuan mata’, keserakahan, dan panjang angan-angan.
Pertama, hati yang keras. Mempunyai makna, hati kita sudah tidak memperdulikan lagi nasehat-nasehat yang benar. Bahkan, ia membantah dan melawan sekaligus menunjukkan kesombongan diri.
Dalam arti lain, hati yang sulit untuk dicerna dan dilumatkan agar larut dalam kebajikan. Begitu kasadnya hati kita, sampai-sampai tidak membekas rasa takut kepada siksaan Allah SWT. “Sejauh-jauh sesuatu hal dari Allah adalah hati yang kasad.” (Al-Hadist).
Pada dasarnya, mengerasnya hati seseorang disebabkan oleh lika-liku perbuatan dosa yang dilakukannya secara berkesinambungan, tanpa diselingi dengan upaya tobat, sembah sujud, sungkem kepada Allah SWT. “Barangsiapa yang melakukan perbuatan dosa, maka nampaklah bintik-bintik dalam hatinya, jika ia bertobat maka hilanglah bintik kotoran tersebut. Dan kembali cemerlang hatinya. Dan sebaliknya jika ia enggan bertobat bahkan ditumpuknya dengan dosa yang lain, makin bertambah banyaklah bintik-bintik itu sehingga tertutuplah seluruh hatinya menjadi pekat”. (Al-Hadist).
Dalam Alquran bintik-bintik tersebut dinamakan ‘Rona’, yaitu daki tebal atau karet yang menghitam, sebentar lagi akan hancur. Karena ketebalannya itulah, hatinya tidak ‘terbuka’ dan menjadi menutup (Qs. 83: 14).
Kedua, kebekuan mata. Hakekat dari mata yang beku, bukan dalam artian matanya menjadi beku sehingga tidak dapat melihat sesuatu. Tetapi, mata yang beku di sini berarti buta dari nilai-nilai kebenaran. Walaupun secara lahir matanya dapat membedakan mana miliknya dan mana milik orang lain. Mana yang ‘merah’ dan mana yang ‘putih’, namun ia tidak perduli.
Berawal dari kebekuan mata, sehingga matanya menjadi ‘kering’. Artinya tak ada rasa penderitaan apapun yang sempat meruntuhkan kantong air matanya, sebagai ungkapan rasa iba dan tersentuh terhadap sesuatu peristiwa yang terjadi di sekitarnya. Karena pribadinya telah dikuasai oleh rasa egois yang terlalu kuat.
Ketiga, Keserakahan. Apabila butir-butir keserakahan mulai menempeli pola pikir dan perbuatan kita, ini berarti hidup kita telah dibayangi oleh sesuatu bencana. Bencana cinta dunia, menghalalkan segala cara untuk memperoleh kepuasan nafsunya dan lain-lain.
Kadang-kadang harta benda yang telah didapatnya selalu dijaga secara berlebihan, sehingga hidupnya selalu dalam keadaan cemas. “Jangan-jangan, jangan-jangan,... (yang bersifat negatif)” selalu mengganggu pikirannya. Di sini terlihat jelas perilaku orang-orang yang serakah itu, bukannya ia menikmati hasil jerih payah itu dan mensyukurinya, tetapi ia malah diperbudak oleh hasil usahanya sendiri.
Orang yang serakah, hidupnya diperbudak oleh nafsu ketamakan yang tidak pernah mengenal kata puas dan tidak akan terpuaskan sebelum tubuhnya dimakan oleh cacing-cacing tanah. “Dan tidaklah keinginan terpuaskan kecuali jika sudah menjadi santapan cacing-cacing tanah”. (Al-Hadist).
Keempat, panjang angan-angan. Angan-angan tidak sama dengan sebuah cita-cita. Kalau angan-angan, ia tumbuh dari seorang yang pemalas. Sedangkan cita-cita itu tumbuh dari jiwa seseorang yang sadar, kreatif, inovatif dan konstruktif.
Hidup seorang Muslim memang harus memiliki landasan cita-cita yang jelas dan mulia. Dengan segala kesungguhan, cita-cita tersebut harus kita perjuangkan dan wujudkan dalam bentuk yang nyata. Inilah salah satu motivasi dalam hidup seorang Muslim, bukannya panjang angan-angan dan berkhayal mengharapkan sesuatu secara tiba-tiba.
Hidup adalah gerak. Bergerak berarti maju. menghadapi dan mengatasi situasi yang tidak pasti seperti saat ini, seharusnya kita bukannya berdiam diri dan berkeluh kesah. Tapi yang harus dilakukan adalah selalu berusaha dan bekerja lebih keras lagi.
Kalau kita mampu melakukannya dengan berlari, maka lakukanlah dengan berlari. Apabila kita mampu dengan berjalan, maka lakukanlah dengan berjalan. Jika kita hanya mampu dengan merangkak, maka lakukanlah sesuatu itu dengan merangkak. Tetapi, yang jelas kita jangan berdian diri. Diam berarti bunuh diri.
Sebenarnya Allah SWT mengajarkan kepada kita untuk selalu berpikir dan belajar (membaca). Bukan hanya belajar dan membaca Alquran dan Al-Hadits (tertulis), tetapi juga belajar dari alam beserta isinya.
Coba kita perhatikan mahluk yang bernama Semut. Ia penuh produktivitas dalam bekerja, selalu disiplin, saling tegur-sapa, memiliki rasa kekeluargaan dan kebersamaan yang tinggi, dan lain-lain. Mengapa, kita tidak belajar dari mahluk yang satu ini?
Edward De Bono, berpendapat bahwa mahluk yang paling rasional itu bukan manusia, melainkan hewan. Hal ini, didukung pula oleh Syekh Nadim Al Jisr, yang mengatakan, “Manusia itu lebih sedikit ‘ilmunya’ dari hewan.”
Fenomena tersebut, belakangan ini sering terjadi pada pola pikir manusia Indonesia. Coba saja perhatikan, kadang-kadang keputusan yang katanya dipikirkan secara rasional, tapi pada kenyataannya tidak rasional. Begitu juga, masalah perilaku dan pengetahuan manusia, kita banyak belajar dari perilaku hewan. Ini, merupakan salah satu bukti barangkali, yang dikatakan Syekh Nadim Al Jisr tersebut.
* *
SEMOGA dengan terjadinya beberapa cobaan dan bencana yang menimpa bangsa ini, menyadarkan kita agar selalu berusaha mendekatkan diri kepada Sang Penguasa Hidup dan dapat memetik hikmahnya.
Kaitannya dengan penyebab bencana seperti diungkap di atas (hati yang keras), sebenarnya ada yang jauh lebih parah bahayanya dari hati yang keras (al-qolbu qosi). Yaitu yang dinamakan hati yang lalai (al-qolbul ghofil). Apa yang membedakan antara keduanya?
Kalau hati yang keras berarti hati yang melawan, hati yang menentang, hati yang punya reaksi dan ‘keras’. Jika kekerasan hati bisa diarahkan kepada hal-hal yang positif (baik), maka mereka akan menjadi orang-orang kuat yang gigih mempertahankan keyakinan.
Kejadian tersebut, pernah terjadi pada para sahabat Nabi Saw. Awalnya begitu keras hatinya dengan membenci dan memusuhi Islam, namun dengan petunjuk Allah kekerasan dan sifat anti patinya berbalik menjadi sangat positif. Yaitu keras dalam menentang kelaliman dan kemungkaran. Merekalah singa-singa Allah!
Berbeda halnya dengan hati yang lalai. Hatinya menjadi dingin, jumud, beku, acuh tak acuh. Apapun yang didengarnya tidak sampai menyentuh dan tidak punya dampak (bekas) sama sekali. Hatinya telah mati.
Memang mereka yang memiliki hati yang lalai (mati), tidak akan melawan atau membantah. Benar atau salah, lurus atau bengkok, positif atau negatif. baginya sama saja. Hatinya sudah membeku. Semua macam peringatan atau ancaman Allah SWT, baginya tidak lebih dari angin lalu yang tidak ada artinya. “Ketahuilah! Allah tidak menerima doa dari hati yang lalai”. (Al-Hadist). Dan di dalam Alquran sendiri Allah memperingatkan bagi orang-orang yang hatinya lalai, diantaranya dapat dibaca dalam Qs. 7: 205; 18: 28; dan 26: 87- 89. Wallahu a’lam bish-shawab.***
Arda Dinata adalah pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia, http://www.miqra.blogspot.com.
KEHIDUPAN di dunia ini ibarat sebuah roda pedati, kadangkala berada di atas dan kadangkala berada di bawah. Maka tidak aneh, kalau diri kita kadang-kadang mendapati kesenangan atau kesusahan. Keselamatan atau bencana. Itu merupakan bagian romantika kehidupan manusia di dunia yang fana ini. Masalahnya, mengapa bencana itu datang menimpa kita?
Kita sadar bahwa keselamatan dan bencana itu hanya milik Allah. Kalau Dia menghendaki keselamatan atau bencana menimpa diri kita, maka itu merupakan hak perogatif Allah. Kita tidak bisa menghindarinya. Tapi, yang jelas Allah menimpakan keselamatan dan bencana itu dengan sesuatu sebab yang pasti (berdasarkan hukum Allah).
Ada empat hal yang menyebabkan terjadinya bencana atau kecelakaan pada diri seseorang. Sebagaimana yang telah disinyalir oleh Nabi Muhammad Saw, “Termasuk bencana atau kecelakaan adalah empat hal: (1) kekerasan hati, (2) kebekuan mata, (3) keserakahan, dan (4) panjang angan-angan”.
* *
BELAKANGAN ini, berbagai cobaan yang cukup berat dari Sang Penguasa Hidup, telah dialami bangsa Indonesia yang sebagian besar penghuninya adalah Muslim. Musibah demi musibah datang silih berganti. Di mulai dari musim kemarau panjang, kebakaran hutan dan serangan asap, penjarahan, dukun santet, pembunuhan, krisis moneter dan krisis ekonomi yang berkepanjagan serta ‘perang’ antar partai politik.
Apa artinya semua itu, bagi mahluk bernama manusia yang diciptakan Allah dengan empat unsur ini (tanah, air, api dan angin), ditambah akal pikiran. Tidak lain, kita harus introspeksi dan berpikir. Mungkin selama ini, Saya, Anda dan penghuni bangsa ini telah lalai dengan aturan-aturan dan ketentuan yang telah ditetapkanNya. Atau barangkali pada diri kita terdapat ‘hati yang keras’, ‘kebekuan mata’, keserakahan, dan panjang angan-angan.
Pertama, hati yang keras. Mempunyai makna, hati kita sudah tidak memperdulikan lagi nasehat-nasehat yang benar. Bahkan, ia membantah dan melawan sekaligus menunjukkan kesombongan diri.
Dalam arti lain, hati yang sulit untuk dicerna dan dilumatkan agar larut dalam kebajikan. Begitu kasadnya hati kita, sampai-sampai tidak membekas rasa takut kepada siksaan Allah SWT. “Sejauh-jauh sesuatu hal dari Allah adalah hati yang kasad.” (Al-Hadist).
Pada dasarnya, mengerasnya hati seseorang disebabkan oleh lika-liku perbuatan dosa yang dilakukannya secara berkesinambungan, tanpa diselingi dengan upaya tobat, sembah sujud, sungkem kepada Allah SWT. “Barangsiapa yang melakukan perbuatan dosa, maka nampaklah bintik-bintik dalam hatinya, jika ia bertobat maka hilanglah bintik kotoran tersebut. Dan kembali cemerlang hatinya. Dan sebaliknya jika ia enggan bertobat bahkan ditumpuknya dengan dosa yang lain, makin bertambah banyaklah bintik-bintik itu sehingga tertutuplah seluruh hatinya menjadi pekat”. (Al-Hadist).
Dalam Alquran bintik-bintik tersebut dinamakan ‘Rona’, yaitu daki tebal atau karet yang menghitam, sebentar lagi akan hancur. Karena ketebalannya itulah, hatinya tidak ‘terbuka’ dan menjadi menutup (Qs. 83: 14).
Kedua, kebekuan mata. Hakekat dari mata yang beku, bukan dalam artian matanya menjadi beku sehingga tidak dapat melihat sesuatu. Tetapi, mata yang beku di sini berarti buta dari nilai-nilai kebenaran. Walaupun secara lahir matanya dapat membedakan mana miliknya dan mana milik orang lain. Mana yang ‘merah’ dan mana yang ‘putih’, namun ia tidak perduli.
Berawal dari kebekuan mata, sehingga matanya menjadi ‘kering’. Artinya tak ada rasa penderitaan apapun yang sempat meruntuhkan kantong air matanya, sebagai ungkapan rasa iba dan tersentuh terhadap sesuatu peristiwa yang terjadi di sekitarnya. Karena pribadinya telah dikuasai oleh rasa egois yang terlalu kuat.
Ketiga, Keserakahan. Apabila butir-butir keserakahan mulai menempeli pola pikir dan perbuatan kita, ini berarti hidup kita telah dibayangi oleh sesuatu bencana. Bencana cinta dunia, menghalalkan segala cara untuk memperoleh kepuasan nafsunya dan lain-lain.
Kadang-kadang harta benda yang telah didapatnya selalu dijaga secara berlebihan, sehingga hidupnya selalu dalam keadaan cemas. “Jangan-jangan, jangan-jangan,... (yang bersifat negatif)” selalu mengganggu pikirannya. Di sini terlihat jelas perilaku orang-orang yang serakah itu, bukannya ia menikmati hasil jerih payah itu dan mensyukurinya, tetapi ia malah diperbudak oleh hasil usahanya sendiri.
Orang yang serakah, hidupnya diperbudak oleh nafsu ketamakan yang tidak pernah mengenal kata puas dan tidak akan terpuaskan sebelum tubuhnya dimakan oleh cacing-cacing tanah. “Dan tidaklah keinginan terpuaskan kecuali jika sudah menjadi santapan cacing-cacing tanah”. (Al-Hadist).
Keempat, panjang angan-angan. Angan-angan tidak sama dengan sebuah cita-cita. Kalau angan-angan, ia tumbuh dari seorang yang pemalas. Sedangkan cita-cita itu tumbuh dari jiwa seseorang yang sadar, kreatif, inovatif dan konstruktif.
Hidup seorang Muslim memang harus memiliki landasan cita-cita yang jelas dan mulia. Dengan segala kesungguhan, cita-cita tersebut harus kita perjuangkan dan wujudkan dalam bentuk yang nyata. Inilah salah satu motivasi dalam hidup seorang Muslim, bukannya panjang angan-angan dan berkhayal mengharapkan sesuatu secara tiba-tiba.
Hidup adalah gerak. Bergerak berarti maju. menghadapi dan mengatasi situasi yang tidak pasti seperti saat ini, seharusnya kita bukannya berdiam diri dan berkeluh kesah. Tapi yang harus dilakukan adalah selalu berusaha dan bekerja lebih keras lagi.
Kalau kita mampu melakukannya dengan berlari, maka lakukanlah dengan berlari. Apabila kita mampu dengan berjalan, maka lakukanlah dengan berjalan. Jika kita hanya mampu dengan merangkak, maka lakukanlah sesuatu itu dengan merangkak. Tetapi, yang jelas kita jangan berdian diri. Diam berarti bunuh diri.
Sebenarnya Allah SWT mengajarkan kepada kita untuk selalu berpikir dan belajar (membaca). Bukan hanya belajar dan membaca Alquran dan Al-Hadits (tertulis), tetapi juga belajar dari alam beserta isinya.
Coba kita perhatikan mahluk yang bernama Semut. Ia penuh produktivitas dalam bekerja, selalu disiplin, saling tegur-sapa, memiliki rasa kekeluargaan dan kebersamaan yang tinggi, dan lain-lain. Mengapa, kita tidak belajar dari mahluk yang satu ini?
Edward De Bono, berpendapat bahwa mahluk yang paling rasional itu bukan manusia, melainkan hewan. Hal ini, didukung pula oleh Syekh Nadim Al Jisr, yang mengatakan, “Manusia itu lebih sedikit ‘ilmunya’ dari hewan.”
Fenomena tersebut, belakangan ini sering terjadi pada pola pikir manusia Indonesia. Coba saja perhatikan, kadang-kadang keputusan yang katanya dipikirkan secara rasional, tapi pada kenyataannya tidak rasional. Begitu juga, masalah perilaku dan pengetahuan manusia, kita banyak belajar dari perilaku hewan. Ini, merupakan salah satu bukti barangkali, yang dikatakan Syekh Nadim Al Jisr tersebut.
* *
SEMOGA dengan terjadinya beberapa cobaan dan bencana yang menimpa bangsa ini, menyadarkan kita agar selalu berusaha mendekatkan diri kepada Sang Penguasa Hidup dan dapat memetik hikmahnya.
Kaitannya dengan penyebab bencana seperti diungkap di atas (hati yang keras), sebenarnya ada yang jauh lebih parah bahayanya dari hati yang keras (al-qolbu qosi). Yaitu yang dinamakan hati yang lalai (al-qolbul ghofil). Apa yang membedakan antara keduanya?
Kalau hati yang keras berarti hati yang melawan, hati yang menentang, hati yang punya reaksi dan ‘keras’. Jika kekerasan hati bisa diarahkan kepada hal-hal yang positif (baik), maka mereka akan menjadi orang-orang kuat yang gigih mempertahankan keyakinan.
Kejadian tersebut, pernah terjadi pada para sahabat Nabi Saw. Awalnya begitu keras hatinya dengan membenci dan memusuhi Islam, namun dengan petunjuk Allah kekerasan dan sifat anti patinya berbalik menjadi sangat positif. Yaitu keras dalam menentang kelaliman dan kemungkaran. Merekalah singa-singa Allah!
Berbeda halnya dengan hati yang lalai. Hatinya menjadi dingin, jumud, beku, acuh tak acuh. Apapun yang didengarnya tidak sampai menyentuh dan tidak punya dampak (bekas) sama sekali. Hatinya telah mati.
Memang mereka yang memiliki hati yang lalai (mati), tidak akan melawan atau membantah. Benar atau salah, lurus atau bengkok, positif atau negatif. baginya sama saja. Hatinya sudah membeku. Semua macam peringatan atau ancaman Allah SWT, baginya tidak lebih dari angin lalu yang tidak ada artinya. “Ketahuilah! Allah tidak menerima doa dari hati yang lalai”. (Al-Hadist). Dan di dalam Alquran sendiri Allah memperingatkan bagi orang-orang yang hatinya lalai, diantaranya dapat dibaca dalam Qs. 7: 205; 18: 28; dan 26: 87- 89. Wallahu a’lam bish-shawab.***
Arda Dinata adalah pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia, http://www.miqra.blogspot.com.