Oleh: ARDA DINATA
CINTA, merupakan kata yang mudah diucapkan dan orang tidak akan merasa jera untuk membicarakannya. Semakin lama seseorang mengenal cinta, maka orang tersebut akan mengatakan pada ego-nya, bahwa hidup ini sangat berarti karena ke-pelik-an, ke-unik-an dan ke-plus-an dari pada nilai yang terkandungnya.
Pernah ada kejadian yang penulis temui tentang seseorang yang merasa risih, alergi, atau pura-pura alergi apabila mendengar pembicaraan masalah cinta. Dalam pikiran penulis saat itu melintas sebuah tanda tanya?? Mungkinkah orang itu belum sadar, bahwa cinta merupakan hal yang suci dan fitrah bagi diri manusia.
Cinta adalah fitrah alamiah manusia yang didasarkan atas akal yang sehat, bukan berdasarkan insting seperti makhluk lainnya (hewan). Atas dasar dan pondasi inilah, kita melihat dengan “mata telanjang”, bahwa setiap manusia tertarik kepada individu lain dalam kelompok karena adanya suatu kekutan internal (baca: magnet bathiniah).
Jadi, “makanan bathiniah” ini harus kita penuhi dan hendaknya di antara kita, setiap individu dalam ketertarikannya dalam kelompok-kelompok harus mampu membangun hubungan persaudaraan, menjaga keharmonisan, kelanggengan dalam lingkungan di mana kita berada sehingga bermanfaat secara sosial.
Untuk itu, kita selayaknya dalam kepastian untuk mengakui akan eksitensi dari cinta itu sendiri. Cinta merupakan landasan dari rasa aman dan senang. Kata dengan lima huruf ini (baca: C.I.N.T.A) merupakan kebutuhan rohani yang paling dapat dirasakan dan tumbuh berkembang bersama waktu. Tidak ada yang bernilai di kosmos ini, bila dibandingkan lebih dari pada CINTA (kepada Allah).
Bagi orang-orang yang segala “predikat cintanya” didasarkan atas dasar mencintai-Nya, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya. Allah berfirman dalam Alquran, yang artinya: “Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali ‘Imran: 31).
Tali penyambung yang terbaik antara individu-individu dalam komunitas, tidak lain adalah ikatan yang dibangun atas dasar perasaan dan cinta hakiki. Suatu keharmonisan yang ada antara dua jiwa akan berproyeksi membuat mereka berpadu dalam dunia cinta dan persatuan. Tentunya, dari sinilah landasan kebahagiaan yang ‘kekal’ itu tumbuh dan berkembang seperti merebaknya sebuah bunga di taman.
Kadang-kadang kita bertanya-tanya, apa sebenarnya kesengsaraan dan penderitaan dari sebuah cinta yang bisa menjadi “buah simalakama” (malapetaka) itu, bila kita tidak hati-hati? Kesengsaraan dan penderitaan yang berasal dari perasaan kehilangan sesuatu yang dicintainya merupakan suatu malapetaka. Jiwa kita butuh teman untuk berlindung dalam “dekapan kedamaian,” atau kita akan dicabik-cabik oleh tangan-tangan panjang ketidak-aman-an dan ke-gelisah-an serta menjadi tumbal penindasan dunia kita sendiri.
Untuk itu, dalam konteks ini kita harus yakin bahwa “Rahasia kebahagiaan adalah memelihara hubungan persaudaraan dengan dunia kita dengan tidak menciptakan kekacauan. Orang-orang yang tidak dapat mencintai sesamanya, tidak dapat hidup bebas dari kegelisahan dan ketidakamanan.” Jadi, manfaatkanlah potensi cinta-kasih yang ada dalam jiwa kita, tidak lain semata-mata untuk mengharap cinta-Nya. Semoga kita semua termasuk di dalamnya. Amin. Wallahu’alam.***
Arda Dinata adalah pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia, http://www.miqra.blogspot.com/.
CINTA, merupakan kata yang mudah diucapkan dan orang tidak akan merasa jera untuk membicarakannya. Semakin lama seseorang mengenal cinta, maka orang tersebut akan mengatakan pada ego-nya, bahwa hidup ini sangat berarti karena ke-pelik-an, ke-unik-an dan ke-plus-an dari pada nilai yang terkandungnya.
Pernah ada kejadian yang penulis temui tentang seseorang yang merasa risih, alergi, atau pura-pura alergi apabila mendengar pembicaraan masalah cinta. Dalam pikiran penulis saat itu melintas sebuah tanda tanya?? Mungkinkah orang itu belum sadar, bahwa cinta merupakan hal yang suci dan fitrah bagi diri manusia.
Cinta adalah fitrah alamiah manusia yang didasarkan atas akal yang sehat, bukan berdasarkan insting seperti makhluk lainnya (hewan). Atas dasar dan pondasi inilah, kita melihat dengan “mata telanjang”, bahwa setiap manusia tertarik kepada individu lain dalam kelompok karena adanya suatu kekutan internal (baca: magnet bathiniah).
Jadi, “makanan bathiniah” ini harus kita penuhi dan hendaknya di antara kita, setiap individu dalam ketertarikannya dalam kelompok-kelompok harus mampu membangun hubungan persaudaraan, menjaga keharmonisan, kelanggengan dalam lingkungan di mana kita berada sehingga bermanfaat secara sosial.
Untuk itu, kita selayaknya dalam kepastian untuk mengakui akan eksitensi dari cinta itu sendiri. Cinta merupakan landasan dari rasa aman dan senang. Kata dengan lima huruf ini (baca: C.I.N.T.A) merupakan kebutuhan rohani yang paling dapat dirasakan dan tumbuh berkembang bersama waktu. Tidak ada yang bernilai di kosmos ini, bila dibandingkan lebih dari pada CINTA (kepada Allah).
Bagi orang-orang yang segala “predikat cintanya” didasarkan atas dasar mencintai-Nya, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya. Allah berfirman dalam Alquran, yang artinya: “Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali ‘Imran: 31).
Tali penyambung yang terbaik antara individu-individu dalam komunitas, tidak lain adalah ikatan yang dibangun atas dasar perasaan dan cinta hakiki. Suatu keharmonisan yang ada antara dua jiwa akan berproyeksi membuat mereka berpadu dalam dunia cinta dan persatuan. Tentunya, dari sinilah landasan kebahagiaan yang ‘kekal’ itu tumbuh dan berkembang seperti merebaknya sebuah bunga di taman.
Kadang-kadang kita bertanya-tanya, apa sebenarnya kesengsaraan dan penderitaan dari sebuah cinta yang bisa menjadi “buah simalakama” (malapetaka) itu, bila kita tidak hati-hati? Kesengsaraan dan penderitaan yang berasal dari perasaan kehilangan sesuatu yang dicintainya merupakan suatu malapetaka. Jiwa kita butuh teman untuk berlindung dalam “dekapan kedamaian,” atau kita akan dicabik-cabik oleh tangan-tangan panjang ketidak-aman-an dan ke-gelisah-an serta menjadi tumbal penindasan dunia kita sendiri.
Untuk itu, dalam konteks ini kita harus yakin bahwa “Rahasia kebahagiaan adalah memelihara hubungan persaudaraan dengan dunia kita dengan tidak menciptakan kekacauan. Orang-orang yang tidak dapat mencintai sesamanya, tidak dapat hidup bebas dari kegelisahan dan ketidakamanan.” Jadi, manfaatkanlah potensi cinta-kasih yang ada dalam jiwa kita, tidak lain semata-mata untuk mengharap cinta-Nya. Semoga kita semua termasuk di dalamnya. Amin. Wallahu’alam.***
Arda Dinata adalah pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia, http://www.miqra.blogspot.com/.